Minggu, 27 April 2008

asingnya si binatang jalang

Saat Chairil Anwar menulis Aku, dunia sastra Indonesia terperangah. Permainan bahasa baru Chairil, seakan mendestruktif apa yang telah dirintis Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan lewat angakatan Pujangga Baru. Kosa kata seperti binatang jalang, Beta Patirajawane, atau sekadar mengulang-ulang diri sebagai Aku dan Kau, membuat Chairil terasa asing di antara karya-karya sastra Indonesia saat itu. Karya-karya Chairil benar-benar seperti syairnya; asing dan terbuang.

Banyak yang mencoba menghubungkan kelugasan karya-karya Chairil dengan pengalamannya hidup di jalanan Jakarta. Meski salah satu pamannya pernah menjabat sebagai perdana menteri Indonesia, Chairil lebih nyeleneh dan memilih hidup di jalanan. Dia tak pernah punya rumah dan bisa tidur di mana pun. Mulai dari becak di pinggir jalan sampai menumpang seenaknya di rumah teman. Bahkan H.B Jassin yang mengorbitkan Chairil, hapal benar dengan kebiasaan menggelandang si binatang jalang ini.

Memang tak bisa diingkari jika pergaulan bohemian Chairil berpengaruh besar pada emosi karyanya. Bahkan salah satu sumbangan kata Chairil Anwar yang tertera dalam poster Affandi; Bung Ayo Bung!; konon dipungutnya dari rayuan para pelacur Jakarta. Demikian pula karya-karyanya yang terkenal seperti Aku, Karawang-Bekasi atau Persetujuan dengan Bung Karno; merupakan hasil pergesekan Chairil dengan kehidupan jelata awal kemerdekaan.

Kata baru

Chairil yang hidup di jalan, tentu akrab dengan tulisan-tulisan Merdeka atau Mati! atau seruan-seruan Bung Karno lainnya di gerbong-gerbong kereta. Namun karya-karya Chairil tak hanya mengulas semangat di awal-awal kemerdekaan semata. Banyak pula karyanya yang religius bahkan romantis. Karakter karya Chairil bukan terdapat pada semangat kekerasan ala perang awal kemerdekaan; tapi lebih pada penggunaan kata-kata baru yang asing didengar khalayak sastra Indonesia saat itu. Bahkan kata-kata baru yang dianggap melanggar norma santun saat itu.

“Setelah kemerdekaan Indonesia, karya-karya Chairil menjadi penting karena dia telah mengutak-atik bahasa,” kata Sapardi Djoko Damono. Menurut penyair yang kemudian melanjutkan pembaharuan bahasa ala Chairil ini; utak-atik bahasa si binatang jalang terjadi secara sederhana.

Sejak masih bersekolah di HIS setingkat SD sekarang; Chairil mempelajari sastra secara otodidak lewat aneka majalah kebudayaan. Berbagai bahasa dilahapnya, mulai dari bahasa Belanda, Inggris, Melayu hingga Jerman. Lahir di antara keluarga terpandang Minangkabau; menjamin Chairil menjaring ilmu lewat buku-buku asing. Tanpa bayaran apa pun, Chairil iseng menerjemahkan berbagai karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa penyair kegemarannya berkisar dari Rainer M. Rilke, WH. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff hingga penyair Belanda, Edgar du Perron yang lahir dan besar di Jatinegara, Jakarta.

Pertemuan dengan aneka bahasa ini, menyadarkan Chairil atas kurangnya kosa kata dalam bahasa Indonesia yang masih baru. Berbeda dengan sastra Barat yang telah bergerak beratus tahun, sastra Indonesia saat itu masih merangkak maju. Chairil hadir saat sastra Indonesia masih berusaha menemukan citra dirinya, lewat nasionalisme yang gencar diusung Angkatan Pujangga Baru. Para sastrawan 30-an hingga di zaman Chairil, masih berusaha melepaskan akar kedaerahan mereka demi menuju modernisasi ala Barat. Mereka berusaha menyatakan pada dunia; sebuah bentuk sastra Indonesia yang berlatar keilmuan Barat dan lepas dari akar tradisi.

Sesuai semangat 1930-an ini, Chairil pun manut mengikuti arah perubahan modernisasi Barat ala Sutan Takdir Alisyahbana. Namun alih-alih memuja kata-kata puitis; Chairil justru mengagumi lirik prosa bebas bergelora ala Rilke, atau karya-karya yang berkaitan erat dengan isu-isu moral dan politik relijius dramatis ala WH Auden. Pengaruh asing ini begitu kuat, sampai-sampai Chairil tergerak membuat terjemahan bebas puisi The Young Dead Soldier karya Archilbal dMacleish ke dalam Karawang Bekasi. Lewat proses ini, secara bersamaan Chairil menemukan kenyataan Bahasa Indonesia yang masih muda; ternyata tak memiliki kata-kata yang cukup untuk mencurahkan pikiran dan semangatnya.

“Dari situ Chairil sadar dia harus menciptakan kosa katanya yang baru,” kata Sapardi.

Dicaci-maki

Kata-kata serapan Chairil ini membuatnya tak luput dari caci-maki. Syair-syairnya dinilai terlalu keras, merusak struktur bahasa Indonesia yang tengah diperjuangkan Angkatan Pujangga Baru. Tapi di saat yang bersamaan, hasil eksperimen binatang jalang ini justru memperkaya bahasa Indonesia. Sapardi menyatakan karya-karya Chairil saat itu telah menjadi patokan dimulainya era puisi modern nusantara.

Pengaruh penyair-penyair modern Eropa kegemaran Chairil semakin menariknya menjauhi tata bahasa modern namun santun ala 1930-an. Chairil lebih banyak membahas ke-aku-annya, ketimbang sibuk berbicara tentang antusiasme nasionalis ala Sutan Takdir Alisyahbana. Isu-isu bangsa seperti kemerdekaan; justru diseret Chairil dalam kerangka pola pikir pribadi. Kontras dengan apa yang diusung Pujangga Baru.

”Chairil itu seniman yang tidak neko-neko. Dia tidak pernah membuat esai atau pikiran apa pun. Dia murni hanya berkarya sesuai keinginannya,” kata Sapardi mengomentari “keegoisan” seorang Chairil Anwar. Sang binatang jalang mengubah cara pandang nasionalisme saat itu. Alih-alih berbicara dalam konteks luas sebagai negara, Chairil justru menyempitkannya ke dalam sudut pandang pribadi yang lebih humanis modernis. Teriakan aku ini binatang jalang misalnya, kerap dipandang sebagai simbolisme rakyat Indonesia yang bergelora berteriak ingin merdeka.

Chairil juga tak segan berbicara tentang apa saja; mulai menyoal kemerdekaan, romansa, relijiusitas hingga cikal bakal kematiannya sendiri. Nyelenehnya Chairil ini mendobrak tembok pembatas yang tanpa sengaja didirikan Pujangga Baru yang tradisional. Segala fase hidup Chairil yang tertuang secara lugas dan bebas, membuatnya jadi mahluk asing di sastra Indonesia saat itu.

Bahkan di saat menderita akibat malaria, sifilis dan TBC; Chairil masih mempertahankan keasingannya. Terinspirasi puisi Rainer Maria Rilke saat sekarat; Chairil yang berjuang di rumah sakit Ciptomangunkusumo, sempat menulis puisi tentang masa depannya ”di perkuburan” umum Karet, Jakarta. Sejak ditemukan oleh HB Jassin, hingga menghembuskan napas terakhirnya; sang binatang jalang bertahan mengenalkan puisi modern yang lugas dan apa adanya di sastra Indonesia. Tanpa neko-neko; Chairil telah meninggalkan jejak puisi baru yang bebas berekplorasi; yang kini terus diemban Sapardi, Sutardji Calzoum Bachri, bahkan penyair-penyair muda Indonesia era 2000-an.

Veby Mega Indah

Sumber : Jurnal Nasional, 30 Maret 08

ilmu (pecundang dan pemenang)

Seorang pecundang tak tahu apa yang akan dilakukannya bila kalah, tetapi sesumbar apa yang akan dilakukannya bila menang. Sedangkan, pemenang tidak berbicara apa yang akan dilakukannya bila ia menang, tetapi tahu apa yang akan dilakukannya bila kalah.

(Eric Berne)

naskah(membaca benda-benda dan keterpecahan)

Memberontaki gabungan kata yang lazim; bisa saja bait tentang kisah cinta, disahuti cerita tentang keramik China.

Ketika para pendahulunya masih bertumpu pada pengertian-pengertian konvensional, entah itu dalam bentuk pemilihan kata ataupun frasa, Afrizal Malna lebih suka menyilakan para pembacanya membuat medan permainan sendiri.

Pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1957 ini mencuat dalam percaturan sastra Indonesia, melalui distribusi kata-kata yang seolah tiada beraturan, deret paradigmatik yang melompat-lompat dan kombinasi sintagmatik yang mengejutkan. Hubungan tiap kalimat seakan tanpa kausalitas. Bisa saja bait tentang kisah cinta, disahuti oleh cerita tentang keramik buatan China pada bait berikutnya.

“Kalau Chairil hanya bermain dengan diversi apa yang dibalik, Afrizal telah mencoba keluar dari pengertian konvensional misalnya makan harus diartikan makan atau terbakar harus diartikan terbakar,” kata Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Ibnu wahyudi kepada Jurnal Nasional, Minggu (13/4).

Penulis kumpulan puisi Masih Bersama Musim ini menilai, bentuk puisi Afrizal cendrung prosaik, bukan lagi mempertahankan tifografi seperti puisi biasa. Afrizal, kata dia, mencoba memberontak melalui pemanfaatan gabungan kata yang tidak lazim.

Dikuasai benda-benda

Bait dalam puisi Afrizal, menurut Ibnu, banyak menggambarkan imajinasi yang terkadang bertabrakan secara konvensional. “Dia menggambarkan kekacauan manusia urban, dimana orang-orang banyak yang belum siap menghadapi perubahan yang begitu cepat,” ujar pria kelahiran Ampel, Boyolali, 24 Juni 1958.

Pendapat Ibnu diamini oleh Ribut Wijoto, perbedaan puisi Afrizal dengan para pendahulunya memang terletak pada pemilihan diksi. Selain itu, kata Ribut, beda Afrizal juga terdapat pada pandangan terhadap hidup dan kemanusiaan. “Afrizal memandang manusia dikuasai benda-benda, dimana perkembangan teknologi telah mengubah konsepsi kemanusiaan. Pada zaman sebelum afrizal hal seperti itu belum terakomodasi,” ujarnya.

Sementara itu dimata Maman S Mahayana, Puisinya Afrizal merupakan paparan kenyataan post moderenisme serta sebuah gambaran ketidakteraturan. Melalui puisinya, kata Maman, Afrizal mencoba menghantam logika-logika formal dan menjangkau kehidupan modern yang teralienasi. “Memahami Afrizal adalah memahami keterpecahan” tutur Maman.

Keriuhan kaum urban dalam puisi Afrizal, kata Ibnu, dilatarbelakangi oleh kehidupan sosialnya yang lahir dan hidup di kota besar seperti Jakarta. Di mana, lanjut dia, Afrizal berusaha menuangkan pertanggungjawabannya di bidang sosial dalam bentuk puisi. “Semuanya berawal dari keprihatinan Afrizal terhadap kehidupan kota besar di mana terjadi kesenjangan kaum miskin dan kaum kaya,” tutur Ibnu.

Komentar itu digenapkan oleh Ribut, menurutnya, apa yang ditulis oleh Afrizal merupakan representasi dari apa yang dilihat olehnya sehari-hari, sebuah kehidupan metropolitan yang konsumtif serta dikuasai benda-benda. “Afrizal berbicara tentang kesehariannya, nah keseharian Afrizal adalah keseharian dunia metropolitan pada umumnya,” kata Ribut.

Maman mengatakan, saat penyair lain tengah diliputi semangat kembali ke sumber dengan puisi tasawuf, Afrizal malah tidak mengungkap sisi religiusitas dalam puisinya. “Keberhasilan Afrizal mencuatkan hal tersebut membuat ia menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia,” papar Maman.

Senada dengan Maman, Ribut Wijoto menilai Afrizal sebagai salah satu tokoh yang memberikan tradisi baru dalam dunia sejarah puisi Indonesia. Ribut memandang, nama Afrizal layak disejajarkan dengan Amir Hamzah lewat puisi melayunya, Chairil Anwar yang merombak puisi menjadi bahasa keseharian dan Sutardji yang memasukkan mahzab mantra dalam puisi indonesia.

Tradisi baru

Menurut Ribut, puisi Afrizal sangat kosmopolit di mana ia memasukkan unsur pembaharuan yang sebelumnya sulit untuk diterima. “Kontribusinya dalam puisi indonesia sangat besar. Kalau Goenawan Mohamad maupun Sapardi hanya melakukan pendalaman dari tradisi puisi yang sudah, Afrizal menciptakan tradisi baru.” Nah, tradisi baru yang ditawarkan Afrizal itulah yang membuat munculnya Afrizalian. Sederet nama seperti Arief B. Prasetyo, Adi Wicaksono, Agus Sarjono, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Abdul Wahid, dan Diro Aritonang masuk di antaranya.

Ibnu memandang, Afrizalian sebagai sebuah epigonisme, bentuk keterpukauan terhadap gaya Afrizal yang memang berbeda dari yang lain. “Ada kecenderungan penulis untuk bergantung secara tidak langsung kepada penyair sebelumnya, sehingga muncullah Afrizalian, Chairilan atau Sapardian,” kata Ibnu.

Ia menilai Afrizalian adalah sebuah hal yang sehat sebagai proses sosialisasi sastra dan bagian dari pencarian jadi diri. “Kalaupun ada Afrizalian jumlahnya juga tidak dominan. Nah jika telah menjadi sesuatu yang dominan, dalam arti hampir semua penulis puisi Indonesia seperti Afrizal itu baru berbahaya dalam arti tidak sehat,” jelas Ibnu.

Ribut mengatakan, tradisi sosialisasi puisi di Indonesia menggunakan pola belajar dari pola puisi yang ada. “Biasanya penyair baru yang tidak belajar pada tradisi yang sudah ada susah untuk menulis puisi yang bagus,” kata dia.

Menurut Ribut, duplikatif pada awal proses penulisan adalah sesuatu yang wajar. “Setiap penyair punya pengalaman sendiri, ketika itu dimasukkan dalam puisi pasti ada perbedaan hasil” tukas Ribut.

Setelah munculnya Afrizal, Ribut melihat belum ada lagi penyair yang menciptakan tradisi baru di dunia sastra Indonesia. “Kalau saya perhatikan, saat ini banyak puisi bagus, namun yang memberikan kontribusi baru belum ada,” ujarnya.

Senada dengan Ribut, Ibnu juga melihat para penyair hanya membuat puisi, kemudian mempublikasikannya dan selesai. Hal itupun, kata dia, ditanggapi dingin oleh dunia pendidikan maupun pemerintah yang memandang sudah seharusnya seperti itu.

Ibnu membandingkan kenyataan tersebut dengan yang terjadi di negara lain, di mana puisi bisa didapati di kartu telepon bahkan di Brazil ada uang yang bertuliskan puisi seorang penyair terkenal. “Tapi kita tidak punya yang seperti itu.”

Jika meneropong lebih jauh, menurut Ibnu, hal itu mungkin disebabkan karena sastra tidak terpinggirkan di Indonesia, diam-diam orang masih membaca atau menulis sastra. Contohnya, kata dia, pelajaran sastra diajarkan di sekolah mulai dari tingkat SD sampai SMU. “Mungkin ada yg tidak begitu menyukai tapi setidaknya mereka mengenal sastra,” ujarnya.

Grathia Pitaloka
pitaloka@jurnas.com
Sumber : Jurnal Nasional, 20 April 08

Kamis, 24 April 2008

sastra dan budaya

varian_varian ideologis komunitas sastra

Di Indonesia, belakangan muncul juga komunitas yang berbasis gerakan literasi, seperti Rumah Dunia, 1001 Buku dan Indonesia Membaca.

Komunitas sejenis ini dimotori oleh individu yang memiliki kepedulian tentang kurangnya akses buku bagi kalangan tertentu. Mereka membangun rumah bacaan di masyarakat lokal, atau mencari donasi buku untuk disalurkan kepada rumah bacaan di berbagai daerah.

Komunitas pemasaran penerbit dan komunitas gerakan literasi itu penting, karena telah memperluas dimensi wacana komunitas sastra.

Keenam jenis komunitas sastra di atas jelas merangkul orientasi ideologis yang bebeda-beda. Misalnya, sejak penerbitan menjadi
industri yang menguntungkan, banyak pribadi dan komunitas sastra
mampu memutar dana dari hasil penjualan buku untuk membiayai
kegiatan yang lain.

Hal itu memunculkan kepentingan bagi komunitas sastra untuk
menerbitkan buku yang laku, yang melahirkan ideologi mem- prioritaskan laba di luar mutu dan estetika dalam sastra, seperti terlihat dengan kemunculan SMSlit, teenlit dan chiclit yang laku keras di pasar kalangan muda. Ini juga menciptakan ideologi bahwa sastra adalah komoditas untuk mengekspresikan gaya hidup.

Kedua ideologi tersebut mendukung makna buku sebagai benda, dan mempopulerkan kegiatan orang membeli, membawa, membaca buku, sertamengikuti komunitas sastra sebagai gaya hidup.

Perluasan dan perbanyakan sarana sastra itu memperlemah kekuasaan redaksi atau kritik sastra sebagai “paus sastra” yang selama ini dianggap mutlak untuk menilai sastra. Keadaan ini memunculkan ideologi egalitarianisme dan anti-elitisme dalam sastra. Namun, ideologi yang menjunjung kebebasan ekspresi juga melahirkan rasa waspada terhadap kebebasan itu sendiri.

Sekarang, hilangnya sesuatu yang harus ditakuti, entah itu paus
sastra atau lembaga sensor negara, menyebabkan masyarakat kemudian menciptakan batas kebebasan sendiri, dengan menggunakan ideologi seperti anti-liberalisme atau anti-eksploitasi seksualitas dalam sastra.

Namun, banyak aksi pemberdayaan masyarakat melalui buku muncul karena ideologi bahwa buku adalah alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Ini berarti bahwa aktivitas sastra mampu menghadapi masalah nyata di masyarakat, dengan mengkaitkan persoalan buku dengan kepedulian masyakat terhadap kalangan yang tidak mampu.

Relasi ideologi

Variasi ideologi di atas saling terkait dalam relasi yang berbeda-
beda. Peningkatan kebebasan ekspresi dan jenis aktivitas komunitas sastra menciptakan ideologi seperti anti-imperialisme ataupun pro dan kontra eksplorasi seksualitas sebagai satu variasi dari ekspresi wacana sastra. Namun, ini adalah sebuah antitesis dari kebebasan ekspresi itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi muncul dari implikasi realita sosial yang berbeda dan saling bertentangan.

Sedangkan, ideologi aktivisme sastra untuk pemberdayaan juga muncul sebagai satu varian dari perkembangan wacana sastra mutakhir. Ideologi ini didukung oleh inovasi teknologi informasi, sebab komunitas ini tidak bisa beroperasi tanpa alat komunikasi elektronik untuk menyalurkan buku ke berbagai wilayah.

Di samping itu, ideologi tersebut juga membagi sikap dengan ideologi anti-liberalisme dalam pendekatan yang mengaitkan sastra dengan keadilan sosial. Lebih jauh, ideologi ini berpotensi bekerja- sama dengan ideologi komersialisasi industri buku, dalam persoalan mengatasi masalah jaringan distribusi buku.

Gambaran tersebut memperlihatkan pluralitas ideologi dan relasi di
antaranya yang kadang saling melengkapi dan bekerjasama, atau
bersebelahan.

Keberadaan ideologi seperti itu persis seperti pembahasan Foucault
yang menganggap ideologi seperti “sarang laba-laba”, tersebar ke
seluruh masyarakat dengan jaringan yang kadang ke satu arah, kadang ke berarahan. Juga, ini bisa dikaitkan dengan konsep post-Marxis, yang menggarisbawahi keberadaan manusia yang memerlukan ideologi untuk menemukan sosok diri (Self) atau yang lain (the Other) dalam pandangan dunianya.

Fungsi ideologi tersebut bisa menjadi pandangan alternatif
dibandingkan dengan konsep ideologi Marxis klasik yang membatasi
pemahaman ideologi dalam relasi dialektik seperti konflik antar-
kelas ataupun antara kapitalisme dan komunisme.

Jika kita menggunakan konsep ideologi post-Marxis ini, perilaku
manusia yang “bergabung” ke (ideologi) komunitas sastra secara
temporer untuk tujuan masing-masing tampak sebagai hal yang wajar. Kemudian, komunitas bisa menjadi suatu ruang fleksibel sebagai sumber ideologi yang plural, untuk menemukan beragam ideologi dalam dialog.

Demikian, daripada terjebak pada mitos bahwa ideologi komunitas
adalah kaku dan harus dipilih satu di antara yang lain, kita
harusnya bisa menerima perbedaan ideologi di dalam/antara komunitas sebagai sumber kekayaan wacana sastra.

Kesimpulan
Tulisan ini mengulas bagaimana keragaman ideologi di komunitas
sastra pada pasca-Orde Baru dilahirkan melalui interaksi dengan
kondisi sosialnya, dan masing-masing ideologi mempunyai aspek yang terbuka terhadap interpretasi yang berbeda-beda.

Di samping itu, telah diobservasi bahwa keanekaragaman ideologi itu didukung oleh karakter komunitas sastra yang merangkul ambiguitas dalam batas ideologi dan keanggotaannya. Ambiguitas ini membuat sarana komunitas sebagai peluang untuk menyiasati berbagai dimensi ideologi untuk tujuan yang berbeda.

Di sini, kolektivitas komunitas tampil sebagai sarana untuk
berpolitik secara personal, dalam artian setiap pelakunya selalu
mengidentifikasikan diri melalui relasi dengan komunitas ataupun
berbagai pihak lain.

Fokus kepada sifat politis di tingkat personal itu masih belum
dieksplorasi banyak dalam pembahasan ideologi komunitas sastra,
karena politik ideologi yang kaku di antara kelompok yang bermusuhan yang selama ini dirujuk dalam pembahasan ideologi komunitas sastra, seperti terlihat dalam konflik di antara kelompok Lekra dan non-Lekra pada zaman Orde Lama.

Tentu, hal itu juga suatu pola berpolitik komunitas sastra melalui
ideologi, namun zaman telah berubah dan paradigma pembahasan
ideologi pun mulai bergeser, sehingga sifat berpolitik kaku tersebut
bukan satu-satunya sumber penggunaan ideologi.

Maka, lingkup penyelidikian tentang sifat politis itu seharusnya
mulai bergeser dari sisi makro ke mikro-sosial, dengan memper- hatikan proses dan konteks pelaku sastra dalam mendapatkan identitas melalui ideologi yang terdapat secara relasional dengan berbagai pihak yang lain.

Secara singkat, tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa
istilah “komunitas sastra” adalah sebuah ideologi tersendiri, dengan
mengandung prasangka seperti komunitas memiliki solidaritas yang
monolitis dan statis. Padahal, komunitas sastra adalah entitas yang bisa merangkul solidaritas yang longgar oleh beragam individu, yang keanekaragaman dimensinya akan memperbanyak sudut pembahasan dan memperkaya wacana ideologi sastra ke berbagai arah.

Begitulah harapan tulisan ini terhadap perkembangan pembahasan
tentang ideologi komunitas sastra ke masa depan. Semoga kita bisa membuat pembahasan ideologi sebagai hal yang lebih nyata, lebih komunikatif dan lebih dekat dengan persoalan kehidupan kita sehari-hari. ( )

Sumber : Republika, 16 Maret 2008

sastra dan budaya

jejak shoeharto dalam sastra indonesia

Karya sastra Indonesia modern, bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, cenderung mengarah pada perlawanan. Resistensi pada kekuasaan menjadi wacana dari waktu ke waktu. Sementara fungsi media massa sebagai kontrol sosial dan politik jadi melemah karena ditempel secara ketat oleh penguasa. Pada kondisi inilah sastra yang bernaung di bawah konvensi fiksi menemukan dunianya dalam membangun perlawanan terselubung.

Sebagai presiden, Soeharto adalah figur penting di era Orde Baru. Pribadi Soeharto, gaya kepemimpinan, serta karakter birokrasi negara yang dipimpinnya menjadi fenomena yang khas. Soeharto akhirnya menjadi sumber inspirasi penciptaan sastra yang tak habis-habisnya dieksplorasi dan dieksploitasi. Sastra yang mengangkat tema kritik sosial politik, baik secara langsung maupun tak langsung, begitu banyak yang mengarah ke Soeharto, baik secara pribadi maupun birokrasi. Interpretasi sosiologis menemukan rujukan signifikan antara simbolisasi sastra dan kenyataan.

Dalam dunia cerita pendek Indonesia, khususnya antara tahun 1990-2000, sangat banyak karya yang mengarah pada simbolisasi Soeharto. Sebagian besar pengarang pada tahun-tahun itu, dari YB Mangunwijaya hingga Joni Ariadinata, pernah menjadikan Soeharto sebagai sumber inspirasi. Aspek ke-Soeharto-an dalam cerita pendek dapat dilacak secara timbal balik dari unsur penokohan seperti penggunaan nama, penampilan fisik, sifat moral dan psikologis beserta citranya, penggunaan istilah serta plesetan; sistem pengendalian kekuasaan, keterlibatan dalam korupsi, kolusi, nepotisme, hingga peristiwa tuntutan dan mundurnya Soeharto.

Pada tahun-tahun tersebut dominasi tema kritik sosial politik menjadi sangat kuat. Hukum aksi-reaksi dapat menerangkan hal ini. Ketika aksi politik dan kekuasaan semakin menekan, reaksi sastra pun semakin menampakkan perlawanan. Hukum kekekalan energi dalam fisika dapat pula menganalogikan hal ini. Energi tak dapat dimusnahkan, tetapi dia hanya akan berubah bentuknya. Energi perlawanan terhadap cengkeraman politik dan kekuasaan tak akan musnah, tetapi dia akan menjelma menjadi karya sastra.

Ketika Soeharto masih berkuasa, simbolisasi terhadapnya masih menjadi pertimbangan penting bagi pengarang. Artinya, keberadaan Soeharto berusaha disamarkan sedemikian rupa dalam wadah politik sastra. Meski sasaran tembaknya jelas, perhitungan estetiknya dipertimbangkan benar oleh pengarang. Cerpen Menembak Banteng (F. Rahardi, 1993), Bapak Presiden Yang Terhormat (Agus Noor, 1993), Paman Gober (Seno Gumira Ajidarma, 1996), Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil, 1996) adalah contoh cerita pendek yang ditulis ketika Soeharto masih sangat kuat. Sedangkan karya-karya yang ditulis menjelang dan sesudah Soeharto jatuh, simbolisasinya semakin jelas dan berani.

Jejak Soeharto dalam cerita pendek Indonesia memang nyata. Dari rentang waktu sepuluh tahun sebelum dan sesudah kejatuhannya, dia menjadi sasaran kritik yang memesona. Sekian banyak pengarang mengaku pernah menjadikan Soeharto sebagai sumber inspirasi mereka. Mereka menyebut Soeharto dengan berbagai cara.

Dalam cerpen Saran ’Groot Majoor’ Prakosa (karya YB Mangunwijaya) yang mengisahkan gerakan massa saat reformasi, nama Soeharto disebut secara langsung. Pada cerpen-cerpen Agus Noor: Senotaphium, Bapak Presiden Yang Terhormat, Dilarang Bermimpi Jadi Presiden, dan Celeng, nama Soeharto disebut sebagai “Papa Hartanaga”, “Bapak Presiden”, “Presiden”, dan “makhluk jadi-jadian yang bermukim di Jalan Cendana”. Aprinus Salam dalam cerpen Pemilihan Kades menyebut “Ir. Suhartono” untuk Soeharto. Sedangkan cerpen Puteri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Joni Ariadinata) dan Situs (Gus Tf Sakai), Soeharto disebut sebagai “Tuan Presiden” dan “Presiden”. Ada sebutan “Bapak Kepala Desa” dalam cerpen Bukan Titisan Semar karya Bonari Nabonenar.

Di samping menyebut nama yang mirip dan jabatannya, ada pula nama yang benar-benar berbeda dengan Soeharto. Tetapi, deskripsi cerpen tersebut sangat jelas mengarah kepadanya. Tokoh “Paman Gober” dalam cerpen yang berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma, dideskripsikan sebagai “Milyarder No.1″, “umurnya sudah cukup uzur. Untuk kuburannya sendiri ia sudah membeli sebuah bukit dan membangun mausoleum”, “sering muncul di televisi”, “kamera tak berani putus”, “Apa mungkin aku menolak untuk dicalonkan?”, “Apakah pemimpin itu memang bisa diganti”, “punya buku autobiografi”, dan masih banyak lagi deskripsi yang mengarah ke Soeharto.

Soeharto juga dinamai sebagai tokoh “Jenderal Purnawirawan Basudewo” dalam cerpen Menembak Banteng (F. Rahardi), “Kaki Druhun” dalam Kaki Druhun (Bonari), “Pak Rambo” dalam Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil), “Paman Saddam di kampung kami” dalam Paman Saddam, (Yudhistira ANM Massardi), “Pak Mulawarman” dalam Orang Besar (Jujur Prananto), “Abilawa” dalam Masuklah ke Telingaku, Ayah (Triyanto Triwikromo), “Maharaja Rahwana” dalam Gadis Kecil dan Mahkota Raja (Sunaryono Basuki Ks), serta “Jawad” dalam Monolog Kesunyian (Indra Tranggono).

Simbolisasi penokohan Soeharto dalam cerpen Indonesia, selain dari nama dan jabatan, dapat pula dilihat dari penampilan fisik. Yang paling kasat mata terlihat pada ilustrasi cerpen yang berfungsi sebagai pendamping teks saat dimuat media. Sosok Soeharto sebagai ilustrasi cerpen terdapat pada Senotaphium (Jawa Pos), Saran ’Groot Majoor’ Prakosa (Kompas), dan Puteri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Sastra).

Sementara ciri fisik Soeharto dengan senyumnya yang khas serta kondisi fisiknya yang tua juga dideskripsikan dalam cerpen Bapak Presiden Yang Terhormat, Tembok Pak Rambo, Senotaphium, Gadis Kecil dan Mahkota Raja, Situs, Paman Gober, Bukan Titisan Semar, serta Masuklah ke Telingaku, Ayah. Beberapa di antara cerpen di atas juga mendeskripsikan makam keluarga Soeharto di Astana Giri Bangun, rumahnya di Jalan Cendana, dan desa kelahirannya Argo Mulyo.

Simbolisasi Soeharto dari sifat moral dan psikologis mengarah pada dua motivasi, yaitu motivasi kekuasaan dan motivasi ekonomi. Motivasi kekuasaan diperlihatkan dengan berbagai dorongan pada diri tokoh untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, termasuk akibat-akibat yang dimunculkan dari hilangnya kekuasaan. Motivasi tersebut mendorong tokoh-tokoh yang ada berwatak keras, kejam, dan culas.

“Menolak permintaan Pak Rambo pula sama artinya membenturkan muka ke tembok sampai hancur. Bagaimana tidak, Pak Rambo bukan orang kecil,” begitulah cuplikan dari Tembok Pak Rambo.

Cerpen-cerpen yang telah disebut di atas juga menujukkan motivasi ini, termasuk tiga cerpen karya Seno Gumira: Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, Grhhh, serta Menari di Atas Mayat karya Indra Tranggono.

Motivasi ekonomis adalah dorongan untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Tokoh yang menduduki jabatan penting ini mempergunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan ekonomis dengan cara melaksanakan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam jajaran birokrasi. Motivasi ekonomis juga membuat para tokohnya berwatak keras seperti diperlihatkan dalam cerpen Paman Gober, Situs, Tembok Pak Rambo, atau Senotaphium. Tak heran jika para tokoh ini dilukiskan sebagai pribadi yang kaya raya seperti digambarkan dalam Situs: “Tak heran bila penguasa tertinggi-presiden yang sehari-harinya lebih berlaku serupa raja adalah pengusaha yang sangat sukses bersama keluarga, sanak, dan segenap familinya.”

Tokoh-tokoh yang mengambil sumber inspirasi keberadaan Soeharto umumnya berwatak statis atau hitam putih, yakni keras, kejam, dan culas.. Model karakter demikian dipakai oleh pengarang untuk mempertajam kritik dan pesan cerita. Cerpen-cerpen yang telah disebut di atas memperlihatkan watak yang demikian, baik yang bermotif kekuasaan maupun ekonomis. Para tokoh ini sangat stereotipe, baik secara pribadi maupun kolektif. Cerpen Diam karya Moes Loindong dan Negeri Angin karya M. Fudoli Zaini adalah contoh yang menunjuk ke tokoh kolektif dan stereotipe.

Tokoh utama sebagai protagonis memegang peran terpenting dalam cerita. Tokoh yang mengambil inspirasi dari Soeharto umumnya menampilkan tokoh protagonis secara tunggal yang sebagian namanya juga dijadikan judul cerpen. Tokoh ini digerakkan oleh pengarang dari berbagai segi sesuai dengan persoalan yang mengarah pada keberadaan Soeharto. Seorang tokoh utama dikepung oleh massa dan pengarang memberi karakter tokoh ini lewat reaksi tokoh-tokoh lain dan deskripsi dari pengarang. Meski berkedudukan sebagai protagonis, tokoh-tokoh yang menyimbolkan Soeharto umumnya berwatak buruk. Konvensi hero yang berlaku untuk tokoh protagonis dalam cerita-cerita tradisional ternyata tidak berlaku di sini. Protoganis yang menyimbolkan Soeharto dapat diibaratkan seperti binatang buas yang dilempari, dikejar-kejar, dan diteriaki kata-kata kotor oleh massa.

Sementara itu tokoh-tokoh pecundang atau antagonis yang mengarah ke Soeharto juga ditampilkan berwatak dan berperilaku buruk seperti tokoh Pak Rambo, Pak Mulawarman, dan Celeng. Tokoh antagonis yang lain ada yang ditampilkan sebagai aktor di balik layar atau dalang yang menyebabkan tokoh lain bergerak seperti halnya dalam Penembakan Misterius-nya Seno Gumira.

Peristiwa-peristiwa dalam cerpen memiliki kaitan dengan kehidupan nyata. Meski dalam teori hermeneutik ditekankan adanya otonomi teks dan keinginan untuk melepsakan diri dari konteks sosial tertentu, model seperti ini hampir tidak mungkin diterapkan sepenuhnya karena baik teks maupun interpretator merupakan produk sosial. Simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen akan dicari referensinya dalam peristiwa, pengalaman, dan kehidupan nyata. Cerpen yang mengambil sumber inspirasi dari keberadaan Soeharto, seperti teori Umar Junus, dapat bersifat melaporkan peristiwa, menghubungkan peristiwa, memfiktifkan peristiwa, mereaksi peristiwa, serta menyublimasi peristiwa. Sebuah cerita pendek ada kemungkinan bagian-bagiannya dapat mewakili hal-hal tersebut.

Aspek-aspek sosiologis yang menunjukkan adanya hubungan antara isi cerita pendek dengan keadaan nyata di Indonersia umumnya berkaitan dengan masalah sosial politik yang bermuara ke sepak terjang Soeharto. Aspek-aspek sosiologis yang menonjol berkaitan dengan strategi Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan, keterlibatan Soeharto dalam masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatan serta pengunduran diri Soeharto sangat mudah kita temui di sekitar masa reformasi. Gejolak emosi pengarang saat itu memang memuncak sehingga terjadi ledakan ekspresi. Karya-karya dengan tema protes sosial politik jadi membanjir, bahkan harian Republika menyediakan kolom khusus untuk sajak-sajak reformasi.

Apa pun yang terjadi, sastra adalah saksi zaman. Soeharto adalah bagian dari perjalanan zaman. Rekaman peristiwa dalam sastra, seperti halnya sejarah, agar kita sebagai pembaca dapat berbuat lebih arif. Sastra memang bukan sekadar refleksi, tapi lebih dari itu sastra diharapkan dapat memberikan katarsis atau pencucian bagi jiwa. Soeharto adalah model simbolik, pembaca yang lain mungkin punya penafsiran berbeda. Tetapi, sebagai rekaman jejak manusia, sastra akan tetap relevan dengan kehidupan. Soeharto telah menjadi sumber inspirasi yang subur bagi perjalanan sastra Indonesia. Untuk itu, secara pribadi, saya telah memaafkan Soeharto. (*)


M. Shoim Anwar
, editor buku Soeharto dalam Cerpen Indonesia
Sumber : Jawa Pos, 27 Jan 2008

sastra dan budaya

perjalan hidup manusia lewat pantun

Pemantun asal Bali tampil membawakan Upacara Nelu Bulanin pada Festival Pantun Nusantara 2007 di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (9/12). Nelu Bulanin merupakan tradisi memberi nama bayi di Bali.

Kematian dan kelahiran telah menjadi siklus kehidupan manusia. Jika kematian dihadapi dengan isak tangis kehilangan orang kita cintai, maka kelahiran disambut dengan wajah bahagia. Itulah kehidupan. Emosi, hanyalah ekspresi, mungkin memang tidak perlu dilebih-lebihkan.

Pesan inilah yang ingin disampaikan sutradara panggung, Nano Riantiarno dalam acara Festival Pantun Nusantara yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, baru-baru ini. Nano mengatakan, lewat kesenian pantun, dia mencoba merangkai siklus kehidupan yakni kematian dan kelahiran. Dua hal yang menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.

Kematian, lanjut Nano, menjadi hal yang sangat menakutkan bagi manusia. Tidak heran, air mata kesedihan selalu mewarnai momen ini. Sementara, kelahiran selalu dihujani dengan perasaan bahagia. Bagaimana pun, takdir ini selalu mendampingi kehidupan manusia, dan tidak bisa dihindari.

Menurut Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Depbudpar), Mukhlis Paeni menjelaskan, Festival Pantun Nusantara merupakan agenda Depbudpar yang mencoba memperlihatkan pada masyarakat perjalanan hidup manusia mulai dari lahir hingga kematian melalui pantun.

Masyarakat, ujar Mukhlis, dapat melihat fase kehidupan manusia. Terutama kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak nilai budaya dan tradisi. Setiap fase kehidupannya berdampingan dengan adat istiadat.

“Inilah perjalanan hidup manusia, lahir dan mati. Pada dasarnya tiap fase kehidupan manusia selalu di- penuhi dengan ritual-ritual. Terutama masyarakat Indonesia, yang memiliki begitu banyak tradisi dan adat istiadat sepanjang kehidupannya. Ritual maupun adat istiadat yang mendampingi perjalanan kehidupan manusia pun bukan tanpa maksud. Selalu ada pesan dan harapan yang mengikutinya,” tutur Mukhlis.

Pesan ini terlihat dari rangkaian pantun yang dipersembahkan oleh 12 komunitas yang berasal dari 10 daerah di seluruh Nusantara, antara lain Jakarta, Aceh, Bali, Palembang, Kalimantan, Kepulauan Riau, Riau, dan Ambon.

Festival diawali Kajang dengan nyanyian dan suling yang dikenal dengan Basing. Sayup-sayup, Basing mengantar penonton dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi. Syairnya merupakan ungkapan kebaikan dan jasa almarhum semasa hidupnya, serta harapan agar yang meninggalkan mendapat tempat layak di hadapan sang pencipta. Nyanyiannya juga merupakan ekspresi ratapan dari keluarga yang ditinggalkan.

Tak lama kemudian, kebahagiaan digambarkan lewat kelahiran seorang anak manusia. Pada festival itu, Bali mempersembahkan pantun bertajuk Upacara Nelu Bulanin, merupakan upacara saat bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Tradisi ini lekat dengan budaya masyarakat Bali dan bernapaskan Hindu.

Pesta Perkawinan

Sementara, Kuantan Riau mempersembahkan Kayat, yakni tradisi lisan non-naratif yang dibawakan dua pemain gendang dan seorang pemain biola. Kemudian, Riau melanjutkan acara dengan prosesi lamaran lewat Pantun Meminang. Sebagai bagian dari adat perkawinan Melayu, meminang merupakan acara ketiga dari enam proses perkawinan.

Siklus kehidupan manusia tidak berhenti, masih ada fase berikut seperti yang diperlihatkan Gayo lewat ratapan anak dara meninggalkan rumah. Sebuku Gayo yang dipentaskan komunitas dari Aceh ini merupakan seni meratap yang diungkapkan secara puitis disertai tangisan. Sebuku Gayo merupakan tradisi dalam pesta perkawinan masyarakat Gayo. Pengantin wanita yang akan meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi bersama suami akan bersebuku. Dalam bersebuku itulah, ungkapan sedih pengantin disampaikan. Sementara, ritual pengantin Jawa dipentaskan lewat Kacar Kucur dari daerah Jawa sebagai rangkaian dari bagian kehidupan manusia.

Dilanjutkan dengan memberi gelar pada sang pengantin yang telah menikah secara tradisional sebagai adat dari daerah Minang yang disampaikan lewat Malake-an Gala. Selanjutnya, pasangan yang menikah dan dikaruniai seorang anak dipertunjukkan lewat Menenggung Bayi dari Palembang. Nenggung atau nyanyian berupa pantun ditujukan untuk menidurkan anak yang mengalami susah tidur.

Kenyataannya, perjalanan kehidupan manusia tidak selalu berjalan mulus. Terutama ketika manusia berumah tangga. Kendala yang muncul dapat mempererat hubungan dua manusia, dapat pula meretakkan. Lewat Jantuk, penonton disajikan parodi teater Betawi, cerita yang mengandung nasehat perkawinan.

Kaganti atau nyanyian rakyat dalam masyarakat Wakatobi dipentaskan oleh Buton, dilanjutkan dengan Pantun Upacara Panas Pela dari Ambon. Panas Pela merupakan pantun perdamaian yang berisi nasihat-nasihat untuk hidup rukun, tenteram, dan berdamai dalam suatu perbedaan.

Festival Pantun Nusantara 2007 ditutup dengan Ritual Belian Sentiu dari Kutai Barat. Ritual pengobatan ini dikenal dalam masyarakat suku Benuaq atau suku Bahao dan ditujukan sebagai mantera permohonan pada kekuatan gaib. Pantun ini disuarakan oleh seseorang saat menari atau selesai menari.

Festival yang dapat membuka mata masyarakat tentang budaya Nusantara ini sepi penonton. Entah karena kurang promosi atau pertunjukannya memang kurang menarik, tetapi 472 kursi yang disediakan untuk penonton di ruang pertunjukan hanya terisi kurang dari 200 orang.

“Rencananya festival ini akan diadakan tiap tahun, tapi kami lihat dulu nilai pendidikan dan ekonominya. Kalau pun pertunjukan ini sepi penonton, ini baru langkah awal, mungkin gaungnya belum sampai. Tapi kita coba lihat positifnya, seniman tradisi ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat, mereka mendapat tempat untuk berekspresi, dan harapan kami agar mereka mau terus melestarikan seni pantun,

Selasa, 22 April 2008

Khalil Gibran (cinta2)

Mereka berkata tentang serigala dan tikus
Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan? hering
Menjunam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya
mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati

Khalil Gibran(cinta1)

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang? ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

Pabila? cinta menggamitmu, ikutlah ia
Walaupun jalan-jalannya sukar dan curam
Pabila ia mengepakkan sayapnya,
Engkau serahkanlah dirimu kepadanya
Walaupun pedang yang tersisip pada sayapnya akan melukakan kamu.

Pabila ia berkata-kata
Engkau percayalah kepadanya
walaupun suaranya akan menghancurkan mimpimu
seperti angin utara yang memusnahkan taman-taman
kerana sekalipun cinta memahkotakan kamu
Ia juga akan mengorbankan kamu
walaupun ia menyuburkan dahan-dahanmu
ia juga mematahkan ranting-rantingmu
walaupun ia memanjat dahanmu yang tinggi
dan mengusap ranting-rantingmu yang gementar
dalam remang cahaya matahari
ia juga turun ke akar-akarmu
dan menggoncangkannya dari perut bumi

Seperti seberkas jagung
ia akan mengumpulmu untuk dirinya
membantingkanmu sehingga engkau bogel
mengayakkanmu sehingga terpisah kamu dari kulitmu
mengisarkanmu sehingga engkau menjadi putih bersih
mengulimu agar kamu mudah dibentuk
dan selepas itu membakarmu di atas bara api
agar kamu menjadi sebuku roti yang diberkati
untuk hidangan kenduri Tuhanmu yang suci

Semua ini akan cinta lakukan kepadamu
supaya engkau memahami rahsia hatinya
dan dengan itu menjadi wangi-wangian kehidupan
tetapi seandainya di dalam ketakutanmu
engkau hanya mencari kedamaian dan nikmat cinta
maka lebih baiklah engkau membalut dirimu
yang bogel itu
dan beredarlah dari laman cinta yang penuh gelora
ke dunia gersang yang tidak bermusim
di sana engkau akan ketawa
tetapi bukan tawamu
dan engkau akan menangis
tetapi bukan dengan air matamu

Cinta tidak memberikan apa-apa melainkan dirinya
dan tidak mengambil apa-apa melainkan daripada dirinya
cinta tidak mengawal sesiapa
dan cinta tidak boleh dikawal sesiapa
kerana cinta lengkap dengan sendirinya

Dan pabila engkau bercinta
engkau tidak seharusnya berkata
“kejadian adalah hatiku,” sebaliknya berkatalah:
“aku adalah kejadian”

Dan janganlah engkau berfikir
engkau boleh menentukan arus cinta
kerana seandainya cinta memberkatimu
ia akan menentukan arah perjalananmu

Cinta tiada nafsu melainkan dirinya
tetapi seandainya kamu bercinta
dan ada nafsu pada cintamu itu
maka biarlah yang berikut ini menjadi nafsumu;
menjadi air batu yang cair
membentuk anak-anak sungai
yang menyanyikan melodi cinta
pada malam yang gelap gelita
untuk mengenal betapa pedihnya kemesraan
untuk merasa luka kerana engkau kini mengenali cinta
dan rela serta gembira
melihat darah dari lukanya
untuk bangun pada waktu fajar dengan hati yang lega
dan bersyukur untuk satu hari lagi yang terisi cinta
untuk beristirehat ketika matahari remang
untuk mengingati kemanisan cinta yang tidak terperi
untuk kembali ke rumahmu ketika air mati
dengan rasa kesyukuran di dalam hati
dan dalam tidurmu berdoalah untuk kekasihmu
yang bersemadi di dalam hatimu
dengan lagu kesyukuran pada bibirmu

karya khalil Gibran

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

:+: Khalil Gibran :+:

Khalil Gibran


Gibran Khalil Gibran was born on January 6, 1883, to the Maronite family of Gibran in Bsharri, a mountainous area in Northern Lebanon [Lebanon was a Turkish province part of Greater Syria (Syria, Lebanon, and Palestine) and subjugated to Ottoman dominion]. His mother Kamila Rahmeh was thirty when she begot Gibran from her third husband Khalil Gibran, who proved to be an irresponsible husband leading the family to poverty. Gibran had a half-brother six years older than him called Peter and two younger sisters, Mariana and Sultana, whom he was deeply attached to throughout his life, along with his mother. Kamila’s family came from a prestigious religious background, which imbued the uneducated mother with a strong will and later on helped her raise up the family on her own in the U.S. Growing up in the lush region of Bsharri, Gibran proved to be a solitary and pensive child who relished the natural surroundings of the cascading falls, the rugged cliffs and the neighboring green cedars, the beauty of which emerged as a dramatic and symbolic influence to his drawings and writings. Being laden with poverty, he did not receive any formal education or learning, which was limited to regular visits to a village priest who doctrined him with the essentials of religion and the Bible, alongside Syriac and Arabic languages. Recognizing Gibran’s inquisitive and alert nature, the priest began teaching him the rudiments of alphabet and language, opening up to Gibran the world of history, science, and language. At the age of ten, Gibran fell off a cliff, wounding his left shoulder, which remained weak for the rest of his life ever since this incident. To relocate the shoulder, his family strapped it to a cross and wrapped it up for forty days, a symbolic incident reminiscent of Christ’s wanderings in the wilderness and which remained etched in Gibran’s memory.

cinta (sebuah karya dari kahlil gibran)

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur?
ketika kita menangis?
ketika kita membayangkan?
itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat

ketika kita menemukan seseorang yang
keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung
dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan
serupa yang dinamakan cinta.

Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan,
seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan,
tapi melepaskan bukan akhir dari dunia,
melainkan suatu awal kehidupan baru,
kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti,
mereka yang telah dan tengah mencari dan
mereka yang telah mencoba.
karena merekalah yang bisa menghargai betapa
pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan
mereka.

Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu
menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya,
adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan
kamu masih menunggunya dengan setia.

Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan
kamu masih bisa tersenyum dan berkata
” aku turut berbahagia untukmu ”

Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu,
biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi.
kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan
cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati
kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.

Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu
mendapatkan keinginannya, melainkan mereka
yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah
bagaimana dalam perjalanan kehidupan.
kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri
dan menyadari bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya
sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup
yang telah kau buat.

Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku
lupa ….”
menunggu selamanya ketika kamu berkata ”
tunggu sebentar ”
tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku
sendiri ”
mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan
belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ”
mencintai juga bukanlah bagaimana kamu
melupakan dia bila ia berbuat kesalahan,
melainkan bagaimana kamu memaafkan.

Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
melainkan bagaimana kamu mengerti.
bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa
yang kamu rasa,
bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan
bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus
berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang
itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita
menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia
apabila kita melepaskannya.

kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah
orang yang tak pernah menyatakan cinta
kepadamu, karena takut kau berpaling dan
memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan
menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau
sadari

puisi

Aku Kesepian & Sendiri

Ajak ia pergi dari hidupku
Ku merasa sepi
Dia tinggalkanku sendiri di sini
Tanpa satu yang pasti

Aku tak tahu harus bagaimana
Aku merasa tiada berkawan
Selain dirimu
Selain cintamu…

Kirim aku malaikatmu
Biar jadi kawan hidupku
Dan tunjukkan jalan yang memang kau
pilihkan untukku

Kirim aku malaikatmu
Karena ku sepi berada di sini
Dan di dunia ini
Aku tak mau sendiri

Tanpa terasa kuteteskan air mata ini
Yang tiada berhenti mengiringi kisah di hat

Cerita Dingin tentang Tamborin

A segera memalingkan muka ketika pandang matanya menumbuk tamborin yang dipegang penyanyi dangdut itu. Hatinya miris teriris-iris dan jiwanya seperti terlempar kembali pada dua puluh tahun silam, saat ia masih suka mengulum kembang gula, saat ia baru terbata-bata mengeja huruf-huruf alfabet. Lalu ia mencoba beralih memandang atraksi pantat gadis penyanyi. Mungkin saja mampu menenangkan dirinya. Tapi tetap saja dadanya seperti dilabrak beribu peluru. Kenangannya yang mengerikan mengenai tamborin lebih kuat mencengkeram benaknya. Padahal tujuannya untuk melihat konser dangdut adalah untuk membuang kepenatan. Musik dangdut memang menjadi salah satu hobinya, sebab baginya, musik dangdut memunyai nuansa asyik dan mampu melambungkan pikirannya hingga pada kenikmatan hidup tertentu.


Tanpa menunggu selesai keramaian konser yang dihadiri ribuan orang tersebut, ia segera cabut dari kerumunan, keluar dari alun-alun kota yang menjadi ajang digelarnya hiburan musik. Ia tak mau batinnya lebih tersiksa dengan irama tamborin yang bergemerincing menggedor-gedor telinganya.


Semula, sebelum menyaksikan acara dangdut itu, ia mengira si penyanyi tak akan memegang tamborin. Biasanya, sungguh jarang terjadi, seorang penyanyi dangdut memegang tamborin untuk mengisi irama. Tapi kali ini lain. Ternyata penyanyinya ikut juga dalam mengiringi lagu. Ia sangat kesal dengan konser tersebut.


Dengan tergopoh dan penuh keringat, ia buru-buru masuk di kedai pinggir jalan, segera memesan es teh. Kaos birunya seperti baru saja dicuci. Kumisnya yang tipis juga sampai basah, seakan baru saja disengat terik matahari dalam waktu lama. Tapi kini bukan siang hari. Malam hampir mencapai sempurna. Beberapa orang yang bersantap di warung itu tidak melihat cucuran keringatnya sebagai keanehan. Mungkin mereka tahu, bahwa dirinya adalah salah satu penonton acara dangdut. Sehingga bisa jadi mereka berpikir, ia baru saja asyik berjoget gila-gilaan bersama para pengunjung lainnya.


Setelah penjual warung menyodorkan segelas es kepadanya, tanpa basa-basi ia menyeruput cepat, bahkan menenggaknya hingga habis. Beberapa pembeli di warung itu sempat melirik, tapi ia cuek saja.


Ia pun menenangkan dirinya setelah melewati trauma. Namun tak bisa dielak, saat ia duduk tertegun sembari mengatur napasnya, kesadarannya terseret jauh pada masa kecil yang suram tentang tamborin. Cerita di masa lalu yang sangat dibencinya. Silakan jika kalian mau membacanya.


Di masa kecilnya, tamborin lebih menakutkan dibanding hantu yang ditakuti anak kecil sepantaran usianya. Hal itu karena ibu kandungnya, Dalirah, telah membelenggu keindahan masa kecilnya dengan tamborin dari kayu, sejak ia berumur empat tahun. Waktu itu, ketika ia diasuh oleh ibunya, jika tak mau memegang tamborin, ia akan di-cablek pantatnya keras-keras. Bahkan pada saat tertentu, ketika ia berani menolak dengan menangis keras-keras, bapaknya yang selalu main kartu di lorong terminal akan turun tangan dan menampar pipinya beberapa kali, lalu memaksa agar ia diam dan tetap menuruti kemauan ibu. Jika ingin tidak tersiksa, pilihan satu-satunya adalah diam dan menurut.


Belenggu ke dua, yang memasung masa kecilnya dalam kelam, adalah masa kecilnya yang lumat dihajar dingin dan angin semenjak lahir di dunia. Kedua orangtuanya yang hanya hidup sebagai peminta-minta, tak pernah mengenalkannya pada rumah, pada bantal dan selimut hangat ketika malam merajam. Atap yang ia lihat sebelum tidur adalah langit luas tanpa batas, atau jika hujan turun, sekali dua tidur berpayung atap emperan toko milik orang Cina. Lebih getir lagi, membekas dalam dadanya, kebiasaan hidupnya yang tak teratur makan, tak teratur mandi-bahkan jarang, serta setelan kumal bajunya yang seminggu sekali dicuci.


Tapi dalam batinnya, yang paling menakutkan tetaplah tamborin.


Suatu kali ia pernah bertanya kepada ibunya, dalam nada yang takut dan ragu, dengan cara bicara yang masih cedal melafalkan kata-kata, "Ibu, kenapa aku setiap hari harus membiasakan memegang tamborin ini?"


"Kau nanti akan tahu apa manfaatnya setelah kau bisa menyanyi dan menggunakan tamborin ini dengan benar. Sekarang kau menurut saja sama ibu! Ndak usah banyak tanya."


"Tapi, Bu..."


"Sudah, diam!"


Ia bersungut dan terpaksa mengangguk dengan alasan dan kemauan ibunya mengenai tamborin. Tapi ia punya tekad, suatu waktu, ia akan mendapatkan jawaban atas misteri ini.


Sebenarnya, tamborin yang seperti membelenggu masa kecilnya itu bukan seperti yang dibawa oleh penyanyi dangdut. Pada genggaman tangan halus penyanyi itu, tamborin yang dibawa terbuat dari mika dan dijual luas di toko-toko alat musik. Sedangkan tamborin masa kecilnya adalah tamborin buatan ibunya sendiri. Yaitu sebuah tamborin sederhana yang terbuat dari kayu berbentuk balok, berukuran kecil, dan di pinggirnya ditancapi paku berisi tiga tumpuk uang logam yang sudah dilubangi pada bagian tengahnya. Sehingga jika dipukul-pukulkan pada pinggang dengan waktu yang teratur, maka akan bisa membentuk rangkaian irama untuk mengiringi seseorang dalam menyanyikan lagu.


Ada lagi ketakutan yang tak bisa dilupakan olehnya; adalah bagaimana ibunya setiap hari selalu memaksa agar ia bisa menyanyi salah satu lagu penyanyi cilik berjudul "Ibu Tiri". Lirik lagu itu didengungkan setiap hari oleh ibu, dan jika tak mau mendengar, ibunya akan membentak-bentak, bahkan tak jarang bertindak kasar. Dan bukan itu saja. Ibunya telah melatihnya dengan disertai ancaman, agar dalam menyanyikan lagu itu seharusnya menampilkan mimik wajah yang sedih. Ia belajar untuk bersikap sedih walaupun hatinya sedang gembira.


Lambat laun, entah dalam jangka berapa lama, ia tak begitu ingat, lagu itu merasuk secara paksa dalam batok kepalanya. Ia pun hapal dan mampu runtut menyanyikan lagu itu setiap kali ibunya menghendaki ia menyanyi. Setelah benar-benar hapal di luar kepala, ibunya kembali membelenggunya agar ia cepat bisa untuk memainkan tamborin dari kayu. Sebab menurut ibunya, jika menyanyikan lagu tanpa ada musik iringan, akan terasa tidak enak dinikmati.


***


Jawaban atas pertanyaannya mengenai tamborin akhirnya ditemukannya hari ini. Tepat pada suatu Senin, saat ia sedang terperangah heran mengamati kelereng pemberian temannya, ibunya datang setelah membelikannya es puter rasa coklat. Setelah memberikan padanya es lezat itu, lalu dinikmatinya dengan mantap, ibunya menerangkan apa yang harus dikerjakannya hari ini.


"Kita nanti akan ke perempatan. Kau harus ikut!"


"Ke sana mau ngapain, Bu?"


"Pokoknya nurut. Jangan banyak tanya! Kau mau kugampar lagi?"


Ia menggeleng segera. Lalu cepat menyusul langkah ibunya.


Di salah satu trotoar perempatan traffic light yang membara, yang disesaki asap knalpot dan bising mesin kendaraan, ia duduk di bawah pohon ketapang rindang bersama ibunya. Setelah berjalan jauh, mereka beristirahat.


"Rahmat, sekarang kamu pegang gelas plastik bekas Aqua ini!" seru ibunya, sembari menyodorkan barang itu. Padahal belum lega mereka menghela napas barusan. Mereka berdua masih ngos-ngosan.


"Ini diapakan, Bu?"


Tanpa dijawab, ibunya malah menyodorkan lagi tamborin dari kayu yang biasa dipegang olehnya. "Ini, pegang lagi. Sudah saatnya kau melaksanakan tugasmu."


"Tugas apa, Bu?"


"Turuti apa yang ibu perintahkan. Lihat Lampu merah itu!"


Ia tujukan pandangnya pada lampu merah. "Kenapa dengan lampu merah itu, Bu? Apa yang perlu saya lihat?" tanyanya heran.


"Jika pas lampu berwarna merah, kau segera menghampiri para pengendara motor atau mobil yang sedang berhenti. Lalu menyanyilah di sampingnya keras-keras lagu 'Ibu Tiri' yang telah kuajarkan kepadamu dengan sikap sedih, sembari menodongkan gelas plastik ini. Tetaplah mengiringi lagu itu dengan tamborin. Jangan ngawur cara membunyikan tamborinnya. Mintalah uang kepada mereka. Agar kita nanti siang bisa makan. Sana, cobalah untuk belajar mencari uang!"


"Tapi aku takut, Bu."


"Kau mau aku gampar sampai tak bisa berdiri! Atau kau mau aku buang ke sungai di bawah jembatan kuning itu!"


Ia menggeleng dengan keras, beserta isak tertahan di kerongkongan. "Hei, jangan nangis. Mau aku cekik?"


Ia berusaha menghentikan kesedihannya dengan susah payah. Tapi sebelum menunaikan ancaman ibunya, ia masih bertanya lagi. "Lalu Ibu mau ke mana sekarang?"


"Jangan banyak tanya lagi. Aku tunggu kau di sini sambil beristirahat. Aku sudah lelah menghidupi anak. Kamu sekarang yang harus memberi makan pada ibu. Tahu?"


Ia hanya mengangguk tanpa bisa menyangkal. Walaupun sebenarnya masih belum paham, dan merasa agak aneh dengan perkataan ibunya, ia segera bergegas ke perempatan itu.


Aspal yang terik dan hampir membakar kakinya yang mungil, membuatnya mendongkol. Dan pada saat lampu berwarna merah, ia mendekat pada salah satu motor, lalu masuk pada dunia tarik suara.


Kisah masa kecilnya kemudian, terus menerus menghuni perempatan tiap siang. Bertemu dengan banyak muka. Bertemu dengan banyak belas kasih dan cerca. Bertemu dengan banyak wajah welas asih maupun sinis. Atau di lain hari, sesekali disuruh ibunya nongkrong pada halte, lalu naik ke salah satu bus yang berhenti di sana. Ia mengamen kepada para penumpang bus kota.


***


Ketika usianya genap mencapai sepuluh tahun, di suatu akhir pekan dalam cuaca yang mendung, ia menyadari ia telah diperalat oleh ibunya untuk mencari uang. Sebab selama ini, ketika ia mendapatkan uang dalam jumlah yang lumayan, ia berkewajiban untuk menyetorkan seluruhnya kepada ibu. Dan ibu hanya leha-leha dengan setiap hari makan enak berlaukkan paha ayam goreng. Sedang nasibnya, setiap hari hanya diberi lauk tempe dan tahu bacem. Menurut ibu, tahu dan tempe lebih menyehatkan. Sedangkan daging ayam, kata ibu penuh virus dan penyakit. Sama sekali tak pernah ia disuruh mencicipi rasa daging ayam barang sekali.


Ia sadar telah ditipu oleh ibunya ketika di stasiun. Saat ia jalan-jalan, ia diberi ayam bakar oleh seorang waria yang berbincang dengannya. Namanya Venny. Parasnya tak begitu memukau, namun mampu memberikan kesejukan dengan sikapnya yang ramah dan suka berderma. Dalam lidahnya, daging ayam itu begitu enak. Seketika ia menyesal telah menurut dengan ibunya. Semenjak itu, ia telah menemukan kompas yang bagus, yang mampu menunjukkan arah angin yang baik bagi perjalanannya. Venny juga yang memberikan jalan keluar agar ia minggat saja dari belenggu ibunya.


Terjalinlah dalam kepalanya suatu rencana, cara agar ia bisa berpisah dengan ibunya yang menyebalkan dan bengis. Dan ia telah menemukan waktu yang tepat. Yaitu malam hari, ketika ibu dan bapaknya lelap di sudut kota. Saat itulah ia mengendap-endap, pergi ke stasiun, lalu meluncur ke kota lain dengan menyusup di sebuah gerbong, bersama Venny.


***


Ia tersadar dari lamunannya ketika mendengar beberapa orang lelaki berseragam polisi menanyakan kepada pemilik kedai, tentang seorang lelaki berkaos biru, berperawakan sedang, berkumis tipis, dengan celana kedodoran. Langsung ia tersentak. Ia sangat kenal wajah-wajah para lelaki itu.


"Apakah lelaki itu ke sini? Tolong jujur, Pak. Dia sangat berbahaya. Jika skizofrenianya kumat, ia suka membunuh orang! Ia baru saja lari dari ambulans dua jam lalu ketika kami akan membawanya ke pusat rehabilitasi," jelas salah satu polisi pada pemilik warung.


"Sebentar. Apakah yang kalian maksud adalah lelaki ini?" kata pemilik kedai sambil menunjuk pada hidungnya.


Ia semakin tersentak dan tanpa banyak cakap langsung melompat pergi dari kedai itu, tanpa membayar terlebih dulu.


Para lelaki itu langsung tersadar dan mengejarnya mati-matian. Mereka tak menyia-nyiakan mangsa buruannya. Sedang ia sendiri, yang merasa tak aman lagi hidupnya, berlari sekonyong-konyong. Ia menyesal ketika lolos dari belenggu para polisi, ia malah tertarik untuk melihat goyangan asoi sang penyanyi dangdut. Goyangan yang membuatnya malah terlena memasuki masa lalu yang miris tentang tamborin. Sungguh, ia telah bersumpah tak mau lagi hidupnya jatuh ke dalam belenggu.


Karena cepatnya ia berlari, salah satu polisi mengeluarkan pistol dari pinggangnya agar ia tertangkap. Pistol itu benar-benar sudah diarahkan ke kakinya yang terus berlari dalam laju yang tak berirama. Tak seperti tamborin miliknya, yang selalu ia perlakukan dalam ketukan tertib irama. Ia bertekad lari dari belenggu yang mengungkungnya di mana pun dan kapan pun. Tapi sedetik kemudian, pistol itu berdesing! ***

Ketabahan Ibu Cermin Hidupku

Sejatinya, perjalanan hidupku teramat berliku. Sejak kecil aku sudah dihadapkan pada kenyataan yang serba pahit. Melihat air mata ibu menetes hampir menjadi santapanku sehari-hari. Meski begitu, perilaku bapak yang gila judi tidak jua berubah. Aku begitu bangga terhadap ketegaran ibu, bahkan aku ingin ”perkasa” seperti ibu.


Aku terlahir sebagai anak gadis dari empat bersaudara. Kakak, aku, dan si kembar adikku. Dalam kenyataan, nasib kami bersaudara tidaklah seberuntung teman-teman sekampung. Kami lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang amburadul. Ekonomi pas-pasan, bahkan semakin hari semakin mencekik leher. Pemicunya: bapakku seorang penjudi.

Sejak kecil, di depan mataku, selalu kulihat bapak memarahi dan membentak-bentak ibu hanya untuk meminta uang belanja. Saat itu hanya ada tangis yang kulihat di ayu wajah ibu. Menyaksikan kekerasan seperti itu, hatiku hanya bisa berkata, ”Jangan menangis ibu. Aku sayang ibu.”

Jujur, aku salut dengan ketabahannya. Aku bangga memiliki seorang ibu yang tegar dan tabah dalam menghadapi sikap dan perilaku bapak yang kasar. Atau, mungkin benar karena cinta itu masih ada, sehingga ibu bisa (memaksakan diri) bertahan sampai saat itu.

Hingga aku besar kelakuan bapak tidak kunjung berubah. Malahan cenderung semakin menjadi-jadi. Gila judi serta merta membuat utang bapak kian menumpuk. Pendeknya, kemana pun bapak pergi berjudi, ujung-ujungnya selalu meninggalkan utang.

Lantaran prihatin melihat keadaan keluarga yang morat-marit, aku memutuskan pergi ke Surabaya dan masuk ke sebuah PT. Tentu saja aku membawa segenggam harapan: bisa segera diberangkatkan ke luar negeri, lalu bekerja dan mengirim uang buat keluarga.

Swear, aku ingin membuat ibu berhenti menangis. Aku juga ingin melepaskan bapak dari jeratan utang yang kian menumpuk. Aku bahkan ingin membiayai sekolah adik-adikku. Betapa besar harapan itu kugantang, begitu juga upayaku dalam mencapainya, tetapi Tuhan jualah yang menentukan segalanya.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, hingga tujuh bulan, aku belum juga diberangkatkan ke Singapura, negara tujuan pilihanku. Apa pasal? Usut punya usut, biodataku ternyata tak diproses. Alasannya, umurku masih terlalu muda. Sudah pasti aku geram. Jika umurku yang jadi alasan, kenapa mereka tidak menjelaskan sedari awal kalau aku tidak diterima atau tidak memenuhi syarat? Apakah mereka sengaja ”memelihara” aku di PT untuk membantu-bantu staf?

Saat itu aku ingin marah, kecewa, dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk dalam dada. Apalagi ketika mereka bilang, aku harus pulang karena tidak bisa diproses. Kalau sekadar suruh pulang sih tak apa-apa. Tetapi, eh, mereka meminta tebusan, ganti rugi selama aku tinggal di PT. Aneh bukan?

Sebenarnya itu semua bukan kesalahanku, tetapi mengapa malah minta tebusan sama aku? Dari mana pula aku mendapatkan uang sebanyak itu? Minta orangtua, jelas tidak mungkin. Keluargaku tergolong miskin, ketambahan pula bapak punya utang di mana mana. Namun pihak PT tetap ngotot, tidak mau tahu apapun alasan yang kusampaikan.

Mungkin, begitulah yang namanya bisnis. Tidak pakai perasaan. Tidak mau mendengarkan jeritan perempuan tak berdaya seperti aku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah sembari berdoa, mudah-mudahan didengar oleh Dia Yang Maha Kuasa.

Bersyukur. Doa hamba yang teraniaya ini agaknya didengar. Tak lama, aku diizinkan pulang dari penampungan dengan tebusan Rp 250.000. Meski uang segitu – bagi kami – sangat besar, tetapi aku tetap mensyukurinya. Aku bisa pulang ke Banyuwangi, kampung halamanku.

Rinduku kepada ibu begitu menggebu. Ya, dialah satu-satunya perempuan di dunia yang mampu memberiku kekuatan tanpa batas. Jika tanpa bercermin pada penderitaan ibu selama ini, mustahil aku menerima begitu saja perlakuan pihak PT.

Sejatinya, saat itu aku malu balik ke kampung dalam keadaan tangan hampa. Kuanggap, aku gagal memperjuangkan kehidupan keluarga. Tetapi apa boleh buat, keadaan telah memaksaku begitu.

Sesampai di rumah, hatiku hancur saat mendapati kenyataan: bapak pergi tanpa pamit pada keluarga. Sama sekali keluarga tak ada yang tahu di mana gerangan bapak. Yang kami tahu, bapak lari untuk menghindari para penagih utang.

Lagi-lagi aku melihat tangis ibuku. Tangis yang tak pernah kulihat selama aku tinggal di PT. Air mata itu terasa lebih mencabik-cabik perasaan. Aku begitu sayang pada ibu. Karenanya, aku nekat masuk lagi ke PT. Kali ini lewat sebuah PJTKI di Jember yang berencana memprosesku untuk bekerja ke Brunei Darussalam.

Tetapi, Tuhan tampaknya masih ingin menguji sampai sejauh mana kekuatanku dalam menghadapi ujian. Satu minggu sebelum keberangkatan ke negara tujuan, majikan membatalkan kontrak kerja yang sudah telanjur kami tanda tangani. Alasannya, aku terkena bronchitis alias batuk berdahak. Majikan khawatir, anaknya akan tertular oleh penyakit yang sebenarnya mudah disembuhkan itu.

Atas anjuran pihak PT, aku di-medical check up lagi. Hasilnya fit. Empat bulan setelah terlepas dari batuk, aku pun diberangkatkan. Di negeri jiran ini aku bekerja selama dua tahun. Ya, tepat pada Juni 2007, aku pulang ke tanah air. Harapanku saat itu, kehidupan keluargaku sudah berubah, utamanya menyangkut bapak.

Aku berpikir, bapakku pasti sudah kembali pulang setelah lunas membayari utang-utangnya. Tetapi perkiraanku ternyata salah. Bapak tetap belum pulang. Rumahku pun masih sama seperti dulu. Berdinding bambu dengan ”hiasan” lubang-lubang di sana- sini, atap bocor, bagian dapur miring bahkan hampir roboh.

Kepada ibu kuserahkan uangku dari hasil kerja di Brunei untuk merenovasi rumah. Tetapi ibuku keberatan. Katanya, uang itu lebih baik ditabung demi masa depanku nanti. Aku sempat protes dengan larangan ibu, tetapi sifat ibu memang begitu dan aku tidak bisa memaksa. Akhirnya, uang itu pun kubelikan tanah untuk ukuran satu rumah. Di atas tanah itulah aku punya cita-cita membangun rumah mungil buat keluargaku.

Tidak tahan menjadi bahan gunjingan tetangga kanan-kiri karena ulah bapak yang kebangetan, aku pun kembali masuk penampungan. Kali ini aku memproses keberangkatan ke negara Hong Kong.

Enam bulan di PT ARJ Malang, aku pun diberangkatkan. Mulanya aku sendiri tak yakin bisa berangkat ke negara ini, mengingat tinggi badanku cuma 145 cm. Tetapi kasih Tuhan telah ditunjukkan kepadaku. Meski target PT minimal 155 cm, aku tetap diberangkatkan dengan alasan telah memiliki pengalaman bekerja di luar negeri.

Setiba di Hong Kong, aku dipekerjakan di daerah Hung Hom, Kowloon. Namun, lagi-lagi Tuhan masih ingin mengujiku. Majikanku cerewetnya minta ampun. Apa pun yang aku kerjakan selalu dinilai tak benar. Makian, hinaan tak pernah berhenti terlontar dari mulut majikanku. Hampir-hampir aku tak sanggup menghadapi perlakuan majikan.

Tetapi jika mengingat ibu, mengingat tujuanku, seberat apa pun problem yang kuhadapi di sini menjadi tiada arti. Ya, aku masih ingat bagaimana ketika ibu dimarahi, dimaki, dipaksa, dikasari bapak. Sungguh, bayangan masa lalu itu telah membuatku ingin seperti ibuku. Menjadi sosok perempuan yang tabah, tegar, dan tidak ingin menangis karena cobaan hidup.

(Dituturkan Ucrit via surat dan disusun oleh Kristina Dian S dari Apakabar)

Senin, 21 April 2008

Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini,

"Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya". "Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya,

Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.

Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.

Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.

Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.

Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Kisah Nyata Pemuda Arab Menimba Ilmu di Amrik!!

Ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, ia berke-nalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.


Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan.

Namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghor-matan lantas kembali duduk.

Di saat itu si pendeta agak terbelalak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini. Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya. Barulah pemuda ini beranjak keluar.

Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pendeta, Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim. Pendeta itu menjawab, Dari tanda yang terdapat di wajahmu. Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa per-tanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut.

Sang pendeta berkata, Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat.
Si pemuda tersenyum dan berkata, Silahkan!
Sang pendeta pun mulai bertanya, Sebutkan satu yang tiada duanya, dua yang tiada tiganya, tiga yang tiada empatnya, empat yang tiada limanya, lima yang tiada enamnya, enam yang tiada tujuhnya, tujuh yang tiada delapannya, delapan yang tiada sembilannya, sembilan yang tiada sepuluhnya, sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh, sebelas yang tiada dua belasnya, dua belas yang tiada tiga belasnya, tiga belas yang tiada empat belasnya.

Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh!
Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya?
Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya?

Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu!
Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api? Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar!

Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?

Mendengar pertanyaan tersebut pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah. Setelah membaca basmalah ia berkata,
-Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.
-Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman,
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami).
(Al-Isra': 12).
-Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.
-Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur'an.
-Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.
-Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ketika Allah SWT menciptakan makhluk.
-Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis.
Allah SWT berfirman,
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. (Al-Mulk: 3).
-Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah SWT berfirman,
Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka. (Al-Haqah: 17).
-Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa: tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang.*
-Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan. Allah SWT berfirman,
Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat. (Al-An'am: 160).
-Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara-saudara Yusuf.
-Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu'jizat Nabi Musa, yang terdapat dalam firman Allah,
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. (Al-Baqarah: 60).
-Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.

-Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Shubuh. Allah SWT berfirman,
Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menying-sing. (At-Takwir: 18).
-Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.
-Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Yusuf, yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala. Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, tak ada cercaaan ter-hadap kalian. Dan ayah mereka Ya'qub berkata, Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

-Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara kele-dai. (Luqman: 19).
-Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.

-Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim. (Al-Anbiya': 69).
-Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).

-Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah tipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT,
Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar. (Yusuf: 28).
-Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari.

Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta.

Pemuda ini berkata, Apakah kunci surga itu? mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil.
Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.

Mereka berkata, Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab, sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!

Pendeta tersebut berkata, Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah. Mereka menjawab, Kami akan jamin keselamatan anda. Sang pendeta pun berkata, Jawabannya ialah: Asyhadu an La Ilaha Illallah wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah.

Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugrahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertakwa.***







Jumat, 18 April 2008

cerpen cinta


Cinta

PISAU lipat itu bergetar di genggamanku.Ah,pasti karena denyut jantungku yang kian kencang, seperti pegas di ambang retas. Pisau itu baru kubeli di toko kecil tak jauh dari rumahku.

Hijau pupus warna tangkainya—seperti warna gaun kesukaannya, entah dari bahan apa,dan kecil saja ukurannya.Harganya pun tak seberapa.Dalam keadaan terlipat, palingpaling lima sentimeter panjangnya.Dalam keadaan terbuka,tajam ujungnya berkilat tatkala memantulkan cahaya. Kalau kita berkaca,akan tampak wajah kita yang sebenarnya: mengerikan seperti denawa.

Tiap malam, keletak-keletuk sepatunya yang beradu dengan lapisan beton jalan gang kompleks perumahan memukulmukul keheningan.Memukul-mukul jantung. Mula-mula samar, seperti ketukan ujung jari di tembok, makin lama makin nyaring. Iramanya selalu sama. Seperti nyanyian dua per dua, dengan tempo alegro. Selalu ingin kusibakkan tirai jendela, kuintip remang jalan di muka, dan kunikmati sumber bunyi yang menggetarkan lebih dari komposisi Tchaikovski.Bila perlu,akan kubuka pintu kamarku, lalu keluar dan kutunggu dia di pintu pagar.Akan kusapa dia dengan ucapan selamat malam. Dan aku yakin dia akan menoleh dengan senyumnya yang paling mendebarkan. Udara akan tersaput dengan harum magnolia. Seandainya waktu berkurang lima atau enam tahun, aku bahkan akan menunggunya di ujung jalan.

Aku akan menyapanya dengan segala kesopanan.Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah.Kalaupun tidak, dia tentu akan menjawab sapaanku dengan lirik mata yang mendebarkan atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Kalaupun tidak juga, aku akan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi.Bila perlu merangkulkan tanganku di pundaknya. Tapi sampai ketukan itu larut di udara malam, aku masih terempas dalam kesunyian yang makin mengimpit.

Aku hanya bisa membelai permukaan bilah pisauku, pelan-pelan dari pangkal, dan aku merasainya seakanakan jemariku menyusuri permukaan punggungnya—duhai, aku bahkan belum tahu namanya. Tak lama lagi dia, setelah lelah sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan, akan sampai di rumahnya. Tepatnya, salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Dia akan membuka pagar besi rumah itu, lalu akan terdengar derit yang menyilet hening, membuka kunci pintu samping,menutupnya kembali,berjalan menaiki tangga,dan membuka pintu kamar depan di lantai dua.Ketika pintu terbuka, pasti akan meruap wangi yang tak kalah segar dari dalam kamar.

Mungkin dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum.Mungkin juga dia akan membuka dulu bajunya, mengambil handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk. Setelah itu, akan ia kenakan gaun tidur hijau pupus yang lembut.Sama lembutnya dengan hijau tangkai pisauku. Dia pasti sangat menyukai warna hijau.Gaun hijau sutra itu halus dan tipis sehingga akan menerawangkan warna kulitnya yang pualam dan bentuk tubuhnya yang mengingatkanku pada sosok Dewi Supraba.

II

OH, kenapa kamu selalu gelisah, lelaki? Kamu ingin keluar mencegat perempuan malam itu? Keluarlah. Muncratkan semua kepenatan dalam dadamu. Aku tak ingin menjadi penjara bagimu. Kalau kauanggap bahwa apa yang ada dalam pikiranmu akan membuatmu menjadi laki-laki, ayolah kumpulkan keberanianmu, buka pintu hati-hati supaya kamu yakin tak akan membangunkanku.

Dan aku tak akan membuka mata seandainya pun aku bangun dan mengetahuinya. Bukalah pintu, menyelinaplah keluar seperti kucing. Bukankah laki-laki itu memang kucing? Tutup lagi pintu.Kalau perlu, kuncilah dari luar biar aku terkurung di dalam, dalam ketidaktahuan— setidaknya tidak tahu menurut anggapanmu. Senyampang keletak-keletuk suara sepatunya masih menggema di telinga, keluarlah melalui pintu muka.Sapalah dia dengan segala kesopanan.

Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun tidak, dia akan menjawab sapaanmu dengan lirik mata yang mendebarkanmu atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Tapi, kalaupun tidak juga, jangan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi, apalagi merangkulkan tanganmu di pundaknya. Pasti dia terlalu lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan.

Temani saja sampai rumahnya.Tepatnya,salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Bukakan pagar besi rumah itu, hati-hati, pasti akan terdengar derit yang menyilet hening. Antar dia membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali, berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua.Kamu pasti akan suka karena ketika pintu terbuka,akan meruap wangi yang tak kalah menyegarkan dari dalam kamar. Kamu pasti akan lebih suka kalau dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum, apalagi kalau dia membuka dulu bajunya,mengambil handuk,lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk. Bukankah kamu selalu membayangkan indahnya pemandangan itu? Hei, kamu masih gelisah di sini, lelaki?

III

Keletak-keletuk bunyi sepatuku yang beradu dengan lapisan beton memukul-mukul hening malam. Dan memukul-mukul dadaku.Aku seperti menjadi manusia soliter, sendirian hidup ketika alam semesta tidur.Dan sebentar pagi aku akan menjadi satusatunya manusia yang mati ketika alam semesta hidup disiram matahari.

Oh, tidak, aku yakin, di sebuah kamar, seorang lelaki tengah gelisah. Hampir tiap malam aku merasakan sepasang mata memandang dari kegelapan seperti hendak menelanku. Aku tak pernah melihat mata itu.Tapi aku merasakan sorotnya, seperti sepasang garis sinar sejajar yang memancar dari sudut malam yang pudar. Dasar lelaki, ayolah sibakkan tirai jendelamu, intiplah keremangan jalan ini. Akan lebih baik lagi kalau kau tidak terus-menerus sembunyi, tapi bukalah pintu kamarmu, lalu keluar dan menungguku di pintu pagar. Sapalah aku dengan ucapan selamat malam.

Atau selamat pagi. Aku akan menoleh sambil kuberikan sisa senyumku. Tapi sampai kulewati kamarmu yang temaram,aku hanya menjumpai kesunyian yang makin mengimpit. Aku memang lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang mengaku kelelahan. Namun aku senang melakukannya karena dengan demikian aku menjadi makin tahu bahwa semua lelaki memang tolol. Mereka saling berebut kekayaan sepanjang siang seperti binatang yang berebut makanan, hanya untuk dibuang dalam beberapa kejapan malam harinya, dengan alasan untuk mengusir kelelahan. Ah, ayolah, lelaki, bukankah kamu sama dengan semua lelaki itu?

IV

AH,perempuan,maafkan aku.Kau terlalu indah, karena itu izinkan aku melukis tubuhmu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya.Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain. Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis tubuhmu.

Mungkin aku akan memulai dengan ujung telunjuk kiriku sebagai semacam garis kasar, yang akan diikuti dengan ujung pisau lipatku.Ya, ya, akan kumulai dari bawah tengkuk lehermu. Bukankah di sana ada tato kupu-kupu yang membentangkan sayapnya yang biru? “Kenapa kau senang tato kupu-kupu?” begitulah aku akan bertanya lebih dulu. “Karena indah sekaligus rapuh,” pasti demikian jawabmu. Ironi yang indah,bukan? Dari gambar kupu-kupu di tengkukmu, perlahan-lahan akan kususuri dengan ujung jariku, sekaligus ujung pisauku, lekukan di tengah punggungmu yang melandai dan berakhir di lembah di antara tonjolan bokongmu yang membukit.

Lukisan Rembrant atau Monet, repertoar Beethoven atau Mozart, puisi Keats atau apalagi sekadar Goenawan, hanyalah ujung kuku dibanding keindahanmu. Dan aku ingin menikmati sendiri. “Aku ingin memilikimu selama hidupku. Dengan cinta.” Begitulah aku akan berbisik,sebelum kau meregang nyawa di puncak cinta. Mungkin kau akan tertawa, disertai air mata.

V

HEI, lelaki,apa artinya cinta?

sebuah kisah sedih

TAK ada lagi yang bisa kita percakapkan. Aku pergi. Menutup pintu, menutup hati. Masih kuingat malam itu, bukan cuma dingin yang melabrak galak. Tapi, masih kuingat bau yang kamu tinggalkan di penciumanku saat kamu geraikan rambutmu. Harumnya tersisa sampai sekarang. Kuingat pula saat itu, ada tangis yang tertahan, tapi bening air di pojok matamu, bunting oleh sedih yang sangat. Tak ada lagi yang bisa kita percakapkan. Esok adalah padang halimun yang membuat lamat bagaimana aku harus berbagi sedih, berbagi riang, berbagi risiko, berbagi kenangan. Sedih, selalu tak bisa dipercakapkan lebih panjang.Lalu kuingat satu per satu kalimatmu saat aku melangkah pergi. Kuingat pula sekarang, saat aku sendiri, untuk mengenang. Kalimat-kalimat yang terucap dari bibir yang bergetar, bibir yang seperti dipaksa untuk mengucapkan sesuatu yang belum bisa kau terima. Dan di rongga dadaku seperti ada badai pasir yang menggerakkan daun-daun ilalang. Mencabik-cabik, mengoyak, menoreh luka di sana-sini, meninggalkan pedih yang juga sangat.Aku terlalu mencintai diriku sendiri. Kamu, laki-laki yang menggetarkanku, terutama saat pertama kita bertemu, pada Januari 1999. Usai sebuah acara digelar, aku melihatmu. Matamu, mata nakal itu, yang menatap segala sesuatu seperti mata kanak-kanak yang melihat boneka di etalase. Aku mendatangimu, berjabat tangan, berkenalan. Sebuah nama yang asing. Aku meminta rokok, kamu mencoba menyalakannya. Kamu grogi. Dan aku makin menyukaimu. Mata nakal yang tidak kompak dengan tubuhmu yang grogi. Aku juga yakin, kamu menyukaiku. Tetapi, sayang, momen yang puitik itu harus segera dipenggal oleh kedatangan seorang laki-laki lain, kekasihku. Lalu aku bersamanya, menjauh, menemui orang-orang lain. Kamu terus mencuri pandang dengan mata nakalmu, aku juga. Kadang-kadang bertatapan. Kamu, nakal sekali.Jujur, aku selalu membandingkanmu dengan kekasihku. Aku tahu itu salah, kekasihku orang yang sangat baik. Tetapi, kebaikan sering tidak berbanding lurus dengan rasa suka. Kebaikan, mungkin berbanding lurus dengan kapling surga, tapi rasa suka adalah sebuah keganjilan yang tidak butuh pengantar apa pun.Tetapi, seandainya kamu tahu, aku adalah orang yang terlalu mencintai diriku sendiri. Aku suka desir darimu. Aku menikmati perasaan bergetar saat kita bercakap, saat kamu mengirimi surat-surat yang puitis lewat email. Anehnya, aku tak ingin itu berlalu sekaligus berubah. Aku tidak ingin kehilangan getaran dan rasa desir itu. Sangat tidak ingin. Itulah yang pertama-tama menjadi alasan, mengapa aku tidak pernah mau hubungan yang lebih, yang selalu kamu desakkan supaya kamu dan aku menjadi sepasang kekasih. Aku takut. Begitu tak ada lagi jarak, getar dan desir itu hilang. Lalu aku akan jadi algojonya, jadi mesin penghancurnya. Kita akan sama-sama sakit.Oleh karena itu, aku memilih kekasih yang baik hati, bukan seseorang yang aku cintai. Bagiku, yang menggetarkan selalu berjarak. Yang menggetarkan selalu punya potensi tak tertebak. Maafkanlah aku.Jelas kamu tak akan terima. Itu sudah kuduga. Aku masih ingat akan kata-katamu yang sedikit marah, tak terima."Kamu aneh, seperti seniman dan orang kaya. Juga kaku, seperti perempuan."Aku hanya tersenyum sambil memainkan mukaku, menggodamu. Kamu makin kesal, tapi tambah cakep. Lalu aku jawab: kamu sih, penginnya segala sesuatu harus jelas, yang enggak jelas itu yang kadang indah. Karena itu, jangan terlalu suka mendaki gunung atau berlayar, segala sesuatu sepertinya harus diraih dan diselesaikan. Kamu angkuh dan penakhluk, seperti laki-laki.Kamu tersenyum kecut. Sungguh, aku makin cinta. Tetapi, jangan ya....Aku suka kamu menggangguku, tetapi jangan sering-sering, aku bisa enggak tahan, dan segera menerimamu sebagai kekasihku. Ingat, yang menggetarkan selalu berjarak. Tetapi, kamu juga jangan pergi. Aku enggak mau itu terjadi.Lalu kamu menghilang, benar-benar menghilang. Lama sekali. Aku bingung dan sedih. Tetapi, telah kusimpan semua percakapan dan peristiwa denganmu, jika aku rindu, aku memutarnya kembali, mengingatnya. Aku bisa bertahan dengan cara seperti itu, walau kadang-kadang seperti tak tertahan rindu ini. Saat kepungan rindu merapat, kamu datang, tapi dengan wajah yang biasa. Benar-benar angkuh seperti laki-laki.Kamu jahat, aku rindu. Kamu ngapain saja? Berpetualang ya? Kenapa enggak ngasih kabar, kenapa enggak memberi tahu, aku kan khawatir?Kamu hanya diam sambil memandangku dengan tatapan matamu yang nakal itu seperti tidak bersalah. Ih..., sebel! kayak enggak butuh, kayak enggak rindu. Tetapi, beberapa jam kemudian, rindumu seperti tak terbendung, begitu membabi buta. Keinginanmu untuk terus memperjelas hubungan kita makin bergelora.Aku tetap bertahan. Kalau aku mengiyakan, itu bunuh diri. Aku harus terus-menerus menciptakan jarak itu. Sesungguhnya yang kujaga adalah getar dan desir itu. Aku memang egois, dan sangat mencintai diriku sendiri. Lalu kamu meninggalkanku saat itu dengan rasa kesal dan nyaris putus asa. Bisa kulihat itu, dari cara berjalanmu meninggalkanku. Dan aku tahu, kamu tidak akan berlama-lama dengan semua perasaan itu. Kamu akan segera merayuku lagi, mendatangiku lagi, membicarakan tentang cintamu kepadaku yang tak terkata.Benar juga. Beberapa hari kemudian, email-email-mu mulai berdatangan. Juga telepon di atas jam sebelas malam, dan ajakan-ajakan kencan. Begini saja kan asyik.Sebenarnya aku kasihan juga sama kamu. Aku pernah mengalami yang seperti ini lima kali. Empat yang terdahulu, hanya bertahan beberapa bulan. Tidak kuat dan tidak tahan dengan pola hubungan yang seperti ini. Tetapi, kamu bertahan lebih dari dua tahun, hampir tiga tahun pada Januari depan. Getar dan desir yang kurasa makin membesar. Bertahan terus ya, aku makin cinta kok.Pada malam-malam larut, ketika kekasihku pulas di sisiku, aku selalu disergap oleh bayangmu. Kupandang jendela, dan aku selalu berharap kamu mengetuknya, lalu aku membuka dan kupandangi wajahmu yang kusut, namun selalu tampak memerah oleh gairah. Lalu kamu paksa aku untuk keluar sejenak, hanya untuk mendengar keluh-kesahmu. Mendengar sampai tandas yang kamu risaukan, dan tentu saja menciumku, lama, lama sekali, sampai jika kita dendangkan lagu akan menghabiskan tiga-empat lagu. Aku isap habis dari mulutmu yang begitu malam, bercampur bau bir dan asap rokok.Saat kamu melenggang pergi, kutatap habis punggungmu yang menggambarkan peta perjalanan yang aku tak mau tahu, siapa dan apa saja yang telah kamu lakukan di luar sana. Mungkin habis bercinta dengan perempuan di sebuah lokalisasi, mungkin habis merampok rumah orang kaya, atau mungkin bertengkar dengan istrimu. Aku sungguh tidak mau tahu. Tidak pernah kutanyakan apakah kamu sudah beristri atau belum, punya kekasih selain aku, berasal dari mana, dan apa saja yang kamu lakukan. Selalu kutatap lekat punggungmu dan kuhafal gerak tubuhmu saat pergi dariku. Dengan riang atau kecewa. Kuhafal semua.Kamu kurindu lebih dari orang-orang merindukan koran pagi, libur akhir pekan, percintaan yang melelahkan. Aku ingin seperti sungai yang menampung airmu lalu mengalirkannya terus-menerus. Rasa yang terus bergerak, tak bosan-bosan, tak selesai-selesai.Tetapi, aku berani menebak, kamu pasti melewati masa kanakmu dengan kebandelan dan nyaris membuat orang tua serta tetanggamu putus asa. Tetapi, kamu juga selalu dimaafkan, disayang, dan direstui oleh apa pun. Bisa kulihat itu dari sorot matamu yang lincah bergerak, seakan mengajak bermain benda-benda yang kamu pandang. Aku membayangkan masa kecilmu yang gemar menulis sesuatu di tembok dan di perabot rumah tangga tanpa bisa dihapus, sering memecahkan gelas, membuat alat-alat elektronika rusak, membuat macet jalan raya.Kamu juga selalu kubayangkan sebagai orang yang bernyanyi sendiri di sebuah taman pada malam yang berkabut. Atau membaca buku-buku puisi di sebuah kandang kuda. Atau duduk sendiri sambil minum bir dan merokok di atas pohon besar yang bercabang banyak. Kamu selalu kubayangkan sebagai tokoh dalam film-film yang kutonton, novel-novel yang kubaca, dan cerita-cerita yang kureka-reka, yang kubayangkan.Hingga datang malam yang jahat itu, yang mengantarmu, tetapi sekaligus akan membawamu pergi, bukan hanya jauh, tetapi sesuatu yang tak bisa lagi kulacak. Malam yang memberi tempat dan mengiringimu untuk bercerita panjang tentang kisah sedih lewat bibirmu yang bergetar. Malam yang kemudian hanya memberiku pilihan bahwa aku harus terlebih dahulu meninggalkanmu, sebab aku tak akan kuasa lagi memandang lekat punggungmu yang aku tahu, kamu tidak akan pernah kembali lagi. Malam yang memberitahuku kalau ada kisah-kisah lain yang tidak pernah kutonton dalam film, tidak pernah kubaca dari novel. Cerita panjangmu yang sedih yang tidak pernah terlintas dalam dunia rekaanku atasmu, tak pernah kubayangkan akan menimpamu. Sebuah malam yang hanya memberiku satu kesimpulan yang samar, bahwa kesedihan, tidak bisa dipercakapkan dengan lebih panjang.**