Jalaluddin Rumi
 Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga                tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor                satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan                berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh                besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman                pada sekitar tahun l648. 
             Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan                akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat                Islam memang sedang dilanda penyakit itu. 
             Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran                baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala                sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat                mereka ingkari dan tidak diakui. 
             Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam                itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan                karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala                hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan                beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. 
             Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam                menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori                kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh                kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.                Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada                indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya." 
             Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya                karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah                meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi                di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung                dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan                adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.                Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya                tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi. 
             œ
             PENGARUH TABRIZ.                Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan                Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil                itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian                mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. 
             Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September                1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad                al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar                hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai                daerah Rum (Roma). 
             Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah                seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya                penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama).                Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama                lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin                ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin                harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi                baru beruisa lima tahun. 
             Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah-                pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di                Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah,                Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di                Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi                sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah                perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini                pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. 
             Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada                Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya                memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas                saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut                mengajar pada perguruan tersebut. 
             Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya                sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di                samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam.                Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika                Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama                dari berbagai penjuru dunia. 
             Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia                sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang                ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000                orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan                ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus                delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana,                Syamsuddin alias Syamsi Tabriz. 
             Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan                khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba                seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa                yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan                seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat                pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan                dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada                Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat                tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam                kamar hingga berhari-hari. 
             Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku                ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi                seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu                darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah                kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan                ilmu yang tiada taranya." 
             Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu.                Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian                lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes.                Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut                terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas                secara diam-diam meninggalkan Konya. 
             Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya                kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung                duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam                rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar                ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan                gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar                lagi. 
             Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan                Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi                ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan                murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan                kembali ke Konya. 
             Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali                ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz.                Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan                mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi                sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran                takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus,                Tabriz tidak kembali lagi. 
             Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan                Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi                dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga                ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung                gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal                dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan                gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.                
             Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi                baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya                itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan                himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i.                Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam                karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang                disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.                Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam                jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan                himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya                kepada sahabat atau pengikutnya). 
             Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan                tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal                dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar).                Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian                berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir                mereka untuk mencapai ekstase. 
             œ