Tahun 1943 kesusastraan Indonesia dikejutkan oleh panyiar muda Cahiril Anwar. Dia seperti bom di tengah-tengah ketenangan. Sajak-sajaknya baik bentuk maupun isinya revolusioner, membawa perubahan radikal sekaligus. Waktu itu umur Chairil Anwar baru 20 tahun (Toda. 1984).
Nisan
(untuk nenenda)
bukan kematian benar menusuk kalbu
keridlaanmu menerima segala tiba
tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta
(1942)
Sajak Nisan ini oleh para kritikus disepakati sebagai sajak pertama Chairil. Sebuah sajak pendek yang sebenarnya menguraikan secara panjang lebar tentang “nasib” manusia. Maut demikian menusuk kalbu menuntaskan keperkasaan manusia, sebagai makhluk unggul yang mampu meluaskan eksistensinya dalam kebudayaan yang tinggi di antara sesama makhluk penghuni bumi.
Tapi, manusia agung itu ternyata tak memiliki keistimewaan dibandingkan debu sekalipun, tak kutahu setinggi itu atas debu. Maut mengakhiri daya tahan manusia itu. Tapi Chairil terpukau oleh jenis kemampuan lain yang ditunjukkan seorang manusia yang sudah tak berdaya, nenenda, yang mampu menerima kematian secara ikhlas, keridlaanmu menerima segala tiba.
Begitu ringkas dan tuntas, empat larik puisi menggambarkan secara gamblang perjalanan umat manusia di tengah kefanaan, dan duka maha tuan bertahta. Begitu langsung, empat larik puisi dipadatkan sedemikiran rupa, untuk menyampaikan berbagai gagasan atau cakrawala pemikiran tentang hidup, maut, nasib, hubungan darah, keluasan kasih sayang, dan rasa kehilangan yang dalam atas orang-orang terkasih ‘“ tanpa harus diterakan lagi sebagai rangkaian diksi atau kata-kata puisi secara panjang lebar.
Hal ini hanya dapat dikonkretkan, karena adanya kesadaran penuh pada Chairil ‘“ ingin menjadikan diksi pada puisi-puisinya sebagai tesis atau kebenaran itu sendiri. Penyair bagi Chairil adalah penemu, penguasa, pengolah, pelegitimasi diksi (kata), sejauh hubungan apa pun yang paling mungkin dilaksanakan untuk menegaskan makna tertentu yang mau disampaikan.
Kata adalah kepenyairan bagi Chairil. Dan kepenyairan tidak ada tanpa keunikan pengoperasian kata. Seorang penyair hanya dapat diukur oleh keberhasilannya menguasi dan memproduksi kata yang khas. Tanpa kerja keras dan keunikan, kata-kata yang terurai tak akan berbeda dengan rangkaian kata-kata umum yang telah memasyarakat sebagai bahasa awam. Sementara seorang penyair adalah seorang pengguna bahasa yang menolak menjadi awam.
Dan kecermatan menimbang, memilih untuk tiba pada kepastian (diksi) kata, yang kelihatannya berpangkal pada wawasan estetik Chairil Anwar kemudian ikut dipraktekkan oleh Asrul Sani, Rivai Apin, Sitor Situmorang, AS Dharta, dll. Seperti disinggung Artati Sudirdjo, pada 1949, “mulanya sajak-sajak Chairil bersifat individual, khas dirinya seorang, tapi kemudian penyair-penyair muda lain mengenal dan mewujudkannya dalam sajak-sajak mereka.”
Sementara Aoh K Hadimadja, pada 1952, melukiskan perbedaan generasi Chairil Anwar, Angkatan 45, dengan generasi sebelumnya, Pujangga Baru, yang dimotori Sutan Takdir Alisyahbana. “Beribu kilometer jaraknya antara Angkatan 45 dengan Pujangga Baru. Pujangga Baru yang menanti ilham, Angkatan 45 yang penuh kegiatan mencari jauh dari tapal batas tanah air, hingga hasilnya pun, manusia universum, tidak dibatasi daerah dan waktu.”
Aoh melihat kegiatan berpuisi pada Angkatan 45 adalah kerja arsitektural yang sungguh-sungguh, jauh dari peluapan emosi sebagaimana terjadi pada pembuatan sajak-sajak remaja. “Sebelum perang orang mengakui sajak sedih teringat kampung halaman adalah hasil seni. Kini curahan demikiran tak mungkin mendapatkan tempat lagi dalam dinamika kebudayaan. Seni yang menyeret kesedihan tidak mendapatkan penghargaan lagi, karena manusia baru mencari-cari jalan keluar dari kekacauan pikiran dan kelesuan semangat. Kesenian seperti berubah menjadi kekuatan.”
Sedangkan Chairil Sendiri menilai Pujangga Baru dengan kata-kata, Pujangga Baru selama semibilan tahun memperlihatkan corak, tidak seorang pun dari majalah tersebut sampai pada perhitungan, kecuali sajak-sajaknya Amir Hamzah.” Chairil menegaskan bahwa sebagai seniman, seseorang harus mempunyai ketajaman dan ketegasan dalam menimbang dan memutus, agar setiap kata dipikirkan dan direnungkan dengan tenang. Bahwa tidak semua yang menggetarkan kalbu, adalah wahyu yang sebenarnya.
Seorang penyair harus menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan. Pikira paling berpengaruh dalam sebuah kerja kesenian bermutu tinggi. Jika kerja setengah-setengah, bercampur-baur emosi dan fantasi, maka yang muncul adalah sebuah karya inproviasi. Dan sebuah hasil kerja seorang improvoitasator terbesar sekalipun, tak setinmggi mutu kesenian yang sungguh-sungguh.
Sebab keindahan kesenian hanya lahir dari pertimbangan, keseimbangan, perpaduan, dari segala getaran-getaran hidup, yang muncul menyeruak dalam kesadaran para seniman yang memiliki keberanian hidup, vitalitas menjelajahi berbagai kemungkinan pemikiran, bahkan mengambil gambaran ronsen sampai ke putih tulang belulang kemanusiaan.
Akibat dari kecermatan menimbang, memilih kepastian kata dalam sajak, menimbulkan pemadatan isi dan kesingkatan bentuk, dan kata pun menjadi monumental, menjadi K besar. Peranan otak dan intuisi nampak besar, seakan-akan membuktikan kebenaran penyair Elisabeth Drew tentang penyair sebagai seorang yang “merasakan pikirannya, memikirkan sensasi-sensasi perasaanya”.
Sajak-sajaknya umumnya pendek-pendek, merangkum ekspresi manusia dalam M besar, dengan ideologi yang coba dijabarkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), di antaranya: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dilahirkan…
Arie MP Tamba
Sumber : Jurnal Nasional, 30 Maret 08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar