Tapi kematangan berkaryanya tidak didapatkan dari bangku kuliah atau podium sang guru besar. Ia justru mendapatkannya dari penjara. Wole memang memiliki peran penting dalam sejarah politik Nigeria yang selalu bergejolak. Saat perang saudara di Nigeria berkobar pada 1967, ia dibui karena menentang pemerintahan Jenderal Yakubu Gowon. Ia dituduh mengadu domba kedua belah pihak yang bertikai. Selama 22 bulan dalam penjara ia menulis sejumlah puisi yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Poems from Prison. Pengalamannya dalam penjara kemudian ia tuangkan dalam buku The Man Died: Prison Notes.
Selepas dari penjara pada 1969, saat perang saudara usai, Soyinka menghabiskan sebagian besar waktunya menyepi di pertanian salah seorang temannya di selatan Prancis. “Beberapa hari setelah bebas, saya merasa jengah dikelilingi orang. Bagi saya yang sekian bulan sendiri, adanya orang lain terasa terlalu ramai, saya harus pergi ke suatu tempat dan mengisolasi diri.” Di dalam pertapaannya itulah ia menciptakan mahakaryanya: The Bacchae of Euripides. Setelah menelurkan karya besar itu dia kembali ke kantornya di Headmaster of Cathedral of Drama di Ibadan dan membantu terbitnya jurnal sastra Black Orpheus.
Ia tidak hanya mengkritik pemerintahan Nigeria, tapi juga sejumlah rezim di Afrika, termasuk Robert Mugabe di Zimbabwe. Ketajaman pena dan lidahnya ini sempat membuat dirinya dalam bahaya, terutama semasa kediktatoran Jenderal Sani Abacha (1993-1998). Saat itu menjadi eksil secara sukarela dan mengajar di Amerika Serikat, tepatnya di Emory University di Atlanta. Saat sipil kembali berkuasa, dia kembali ke Nigeria dan bersedia mengajar di Ife asalkan seluruh perwira militer dihapus dari jajaran pengurus universitas.
Meski ia pada 1986 menjadi orang Afrika pertama setelah Albert Camus yang dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra, meski ia dianggap sebagai penulis drama dari Afrika yang paling bersinar, dunia lebih menghormatinya sebagai seorang peace maker, pencipta perdamaian dan penentang kediktatoran. “Saya tidak pernah memutuskan untuk menjadi penulis,” katanya suatu waktu. Ia hanya menjadikan hal itu sebagai cara terbaik untuk menyampaikan pesannya.
Pesan yang ia perjuangkan adalah tentang pentingnya membatasi kekuasaan dan menjamin kebebasan. “Kebenaran dan kekuasaan, bagi saya, adalah antitesis, sebuah antagonisme, yang susah untuk disatukan,” katanya. “Kebenaran, bagi saya, adalah kebebasan, keinginan untuk menentukan sendiri tujuan kita. Sedang kekuasaan adalah dominasi, kontrol, dan karenanya sangat menentukan apakah kebenaran itu. Ini omong kosong.”
Wole memang tak pernah bicara kosong. Ia selalu siap menentang diktator di seantero Afrika. “apa pun yang terjadi, jangan kabur dari pertarungan. Musuhmu mungkin lebih besar, dan akan menghancurkanmu waktu pertama bertemu. Kali berikutnya kau bertemu dengannya, tantang lagi. Dia akan mengalahkanmu lagi. Ketiga kali, saya yakin, kamu pasti menang atau dia lari terbirit-birit,” tulisnya dalam bukunya, Ake.
# qaris tajudin
Sumber : www.ruangbaca.com/Edisi 31 Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar