Novelis, esais, penerjemah dan pemenang Nobel Sastra 2002 ini berasal dari Hungaria. Dalam sebuah karya semiotobiografi Kertesz (1929 - ) mencoba menganalisa berbagai pengalaman hidupnya yang berlangsung selama dalam kamp konsentrasi Jerman, Holocaust. Namun, karya-karya awalnya sendiri lebih banyak berkutat dengan masalah eksistensial manusia sebagai sebuah persoalan hidup yang sukar, dengan gaya yang berat diikuti.
“Auschwitz akan terus bergantung di udara, dalam jangka waktu lama, berabad-abad, mungkin seperti buah yang membusuk dengan perlahan, bersama surutnya cahaya matahari, menunggu akhirnya terjatuh menimpa kepala.” (Kaddish for a Child not Born, 1990).
Imre Kertesz lahir di Budapest dari keluarga keturunan Yahudi. Mengacu ke sebuah kisah, pada usia 10 tahun ia pernah mendapatkan sebuah buku catatan harian, tapi halaman-halaman putihnya ternyata menakutkannya. Pada masa mudanya ia sendiri memang mengalami horor yang sesungguhnya dari masa pemerintahan Nazi. Jerman menduduki Hungaria pada 1944 dan mulai melakukan pembasmian kepada orang Yahudi dan Gypsi.
Kertesz termasuk dalam 7000 orang Yahudi yang dideportasi dari Budapest ke Auschwitz dan selanjutnya dikirim ke Buchenwald. “Saya bukanlah seorang penganut kepercayaan Yahudi,” kata Kertesz dalam sebuah wawancara. “Tapi saya adalah Yahudi yang pernah ditahan di Auschwitz.” Di dalam pembuangan itu Kertesz menyadari sepenuhnya bagaimana ia bisa mati di mana dan kapan saja. Persoalan eksistensial demikian mencekamnya sebagai seorang penulis.
Pada 1945 Kertesz dibebaskan oleh pasukan sekutu. Setelah kembali ke Hungaria, ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan untuk Vilagossag, sebuah koran Budapest. Ketika koran tersebut dikuasai oleh sebuah partai Komunis ortodoks, Kertesz dipecat. Antara tahun 1951 dan 1953 Kertesz memasuki dunia militer, lalu kemudian memusatkan seluruh perhatiannya ke dunia tulis-menulis.
Pada masa pemberontakan Hungaria tahun 1956, lebih dari 200.000 orang Hungaria memilih hidup di Barat. Dunia sastra Hungaria pun mengalami kelumpuhan sampai tahun 1963. Sebagai seorang penulis bawah tanah dalam rezim Komunisme yang memberangus kemerdekaan berpikir, Kertesz menghidupi dirinya sebagai seorang penerjemah, dengan spesialisasi karya-karya penulis Jerman seperti Hugo von Hofmannsthal, Elias Caneti, Joseph Roth, dan Arthur Schnitzler.
Namun, ia juga tak melewatkan kesempatan untuk menerjemahkan karya-karya Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dan Ludwig Wittgenstein yang ternyata semakin memperkuat daya kepengarangannya. Sambil sesekali, ia menulis pula naskah teater.
Kertesz tidak mempunyai mesin ketik. Ia selalu mulai menulis dengan tulisan tangan, memakai pinsil maupun bolpoin.
Kertesz tidak pernah tergabung dalam organisasi kepenulisan dan tak pernah mendapatkan keistimewaan apa pun dari pemerintah. Bersama istrinya, ia hidup di sebuah flat sederhana, dan menghabiskan hari-harinya di ’penjara menulis’-nya tanpa ada harapan akan mendapatkan penerbit.
Di sebuah kolam berenang, di mana ia biasa berdiskusi dengan beberapa temannya tentang sastra dan politik, ia berenang hampir setiap hari selama 40 tahun. Di antara novel-novel modern, Kertesz paling tertarik dengan karya Albert Camus The Stranger (1942), yang didapatkannya pertama kali dari sebuah toko buku loak.
Buku pertama Kertesz, Sorstalansag (1975), mengisahkan pengalaman hidup seorang remaja 15 tahun di kamp konsentrasi. Kertesz tidak menyatakan bahwa novel ini adalah kisah pribadinya. Namun, dalam sebuah wawancara ia pernah mengatakan, bahwa ia sesungguhnya tak pernah berniat menuliskan pengalaman hidupnya sendiri.
Sorstalansag sudah selesai ditulis pada 1965, tapi baru berhasil mendapatkan penerbitan terbatas 10 tahun kemudian. Karya ini kurang mendapatkan pembicaraan, boleh jadi karena temanya, tentang deportasi yang dialami orang-orang Yahudi, yang merupakan sebuah lembaran sejarah kelam negera Hungaria sendiri.
Tapi novel ini kemudian menjadi bagian dari trilogi, yang dilanjutkan dengan kudarc (1988), dan Kaddis a meg nem szuletetett gyermekert (1990, Kaddish for a Child not Born), yang ditulis dengan teknik stream of concoiusness. Tokoh utamanya adalah seorang pria setengah baya yang selamat dari Holocaust, yang sedang menempuh karier sebagai seorang penulis yang tidak berhasil. Perkawinannya gagal dan bekas istrinya kemudian berhasil membentuk sebuah rumah tangga baru dan mempunyai anak. Peristiwa Auschwitz benar-benar membuat si tokoh cerita menjadi figur seorang ayah, yang selalu mengatakan kepada teman-temannya – tidak pernah berniat menjadi ayah – di sebuah dunia yang mampu melahirkan sebuah bencana seperti Auschwitz.
Seorang remaja yang menjadi saksi hidup dari penyiksaan fisik di kamp konsenstrasi Sorstalansag mengatakan, “sesungguhnya kami hanya dapat bertahan bersama sisa-sisa imajinasi kami tentang masa lalu. Saya dapat langsung, misalnya, merasakan kemerdekaan hanya dengan menyibukkan diri dengan sekop dan beliung – sebagai upaya modern untuk mempertahankan keberadaan sendiri hanya dengan sebuah gerakan.”
Yang lolos dari Holocaust di A Kudarc adalah alterego Kertesz, bernama Gyorgy Koves, yang hidup di bawah sebuah negara totaliter. Ia menyelesaikan novel pertamanya, sebuah kisah tentang Auschwitz, yang meski sempat dikembalikan penerbit, namun ia lanjutkan buku keduanya. “Saya ingin menghilang dari masa kini tapi masa lalu selalu menahan saya,” katanya. Namun ketika terjadi krisis di Hungaria yang menimbulkan pemberontakan, anehnya ia tak memilih pergi ke Barat, melainkan tetap memilih tinggal di Hungaria.
Alasannya tetap tinggal adalah karena pikiran, bahwa ia juga terlalu tua untuk mempelajari bahasa negeri lain. Seorang pengarang pernah berkata bahwa kekurang mampuan berbahasa adalah satu-satunya ekspresi seorang diktator. Dalam penelitiannya tentang Auschwitz dari konteks sejarah dan politik, Kertesz mengikuti cara berpikir kaum intelektual sosialis Eropa, yang menyembunyikan tulisan mereka tentang totalitarianisme yang kini menjelma sebagai Nazisme. Tapi Kertesz tidak dapat dipahami tanpa situasi kamp konsentrasi. Bahwa neraka dunia tidak lahir dari kecelakaan, melainkan muncul dari kumpulan perilaku rasional individu.
Pada awal 1980-an Kertesz masih menjadi seorang penulis yang tidak begitu terkenal di negerinya. Ia tidak dimasukkan ke dalam A History of Hungarian Literature yang dieditori oleh Tibor Klaniczay (1983), dan Lorant Czigany hanya menyinggungnya sedikit di dalam The Oxford History of Hungarian Literature (1984). Namun sejak ‘revolusi kebisuan’ pada 1989, karya-karya Kertesz segera mendapatkan perhatian dunia internasional. Buku-bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa, di antaranya Prancis, Swedia, Jerman, dan Inggris. Kertesz pun dimasukkan ke dalam Organisasi Penulis Hungaria, tapi ia kemudian mengundurkan diri dan protes, karena organisasi itu mengeluarkan pernyataan Anti-Semit. Seorang penyiar yang juga pejabat pemerintahan dan partai, Sandor Csoori, menulis di sebuah jurnal sayap kiri, “Penulis Liberal dan Yahudi Hungaria mulai beradaptasi dengan persoalan pemikiran dan kehidupan Hungaria.”
Pada 1990-an Kertesz mempublikasikan beberapa novel dan juga kumpulan esai. Sebuah esainya pernah mengomentari karya Steven Spielberg, Schindler’s List sebagai kisah murahan. Bagi Kertesz, trauma kamp konsentrasi bukanlah persoalan Yahudi dan Jerman semata, melainkan persoalan keseluruhan kehidupan sipil di Eropa. Setelah mendapatkan hadiah Nobel Sastra, pada 2003, karya-karyanya kemudian mengilhami orang-orang yang lolos dari kamp konsentrasi untuk mengungkapkan pengalaman mereka.
Bersama istri keduanya Magda Kertesz, Kertesz kini lebih banyak menghabiskan waktunya di Jerman, dengan menulis dan mengajar sastra. Magda telah meninggalkan Hungaria pada 1956. Ia hidup di Chicago selama 33 tahun sebelum kembali ke Eropa, di mana keduanya kemudian kembali bersatu.
Kutipan
Kertesz tidak dapat dipahami tanpa situasi kamp konsentrasi. Bahwa neraka dunia tidak lahir dari kecelakaan, melainkan muncul dari kumpulan perilaku rasional individu.
Sumber : Jurnal Nasional/ 07 April 08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar