Jumat, 18 April 2008

cerpen cinta


Cinta

PISAU lipat itu bergetar di genggamanku.Ah,pasti karena denyut jantungku yang kian kencang, seperti pegas di ambang retas. Pisau itu baru kubeli di toko kecil tak jauh dari rumahku.

Hijau pupus warna tangkainya—seperti warna gaun kesukaannya, entah dari bahan apa,dan kecil saja ukurannya.Harganya pun tak seberapa.Dalam keadaan terlipat, palingpaling lima sentimeter panjangnya.Dalam keadaan terbuka,tajam ujungnya berkilat tatkala memantulkan cahaya. Kalau kita berkaca,akan tampak wajah kita yang sebenarnya: mengerikan seperti denawa.

Tiap malam, keletak-keletuk sepatunya yang beradu dengan lapisan beton jalan gang kompleks perumahan memukulmukul keheningan.Memukul-mukul jantung. Mula-mula samar, seperti ketukan ujung jari di tembok, makin lama makin nyaring. Iramanya selalu sama. Seperti nyanyian dua per dua, dengan tempo alegro. Selalu ingin kusibakkan tirai jendela, kuintip remang jalan di muka, dan kunikmati sumber bunyi yang menggetarkan lebih dari komposisi Tchaikovski.Bila perlu,akan kubuka pintu kamarku, lalu keluar dan kutunggu dia di pintu pagar.Akan kusapa dia dengan ucapan selamat malam. Dan aku yakin dia akan menoleh dengan senyumnya yang paling mendebarkan. Udara akan tersaput dengan harum magnolia. Seandainya waktu berkurang lima atau enam tahun, aku bahkan akan menunggunya di ujung jalan.

Aku akan menyapanya dengan segala kesopanan.Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah.Kalaupun tidak, dia tentu akan menjawab sapaanku dengan lirik mata yang mendebarkan atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Kalaupun tidak juga, aku akan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi.Bila perlu merangkulkan tanganku di pundaknya. Tapi sampai ketukan itu larut di udara malam, aku masih terempas dalam kesunyian yang makin mengimpit.

Aku hanya bisa membelai permukaan bilah pisauku, pelan-pelan dari pangkal, dan aku merasainya seakanakan jemariku menyusuri permukaan punggungnya—duhai, aku bahkan belum tahu namanya. Tak lama lagi dia, setelah lelah sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan, akan sampai di rumahnya. Tepatnya, salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Dia akan membuka pagar besi rumah itu, lalu akan terdengar derit yang menyilet hening, membuka kunci pintu samping,menutupnya kembali,berjalan menaiki tangga,dan membuka pintu kamar depan di lantai dua.Ketika pintu terbuka, pasti akan meruap wangi yang tak kalah segar dari dalam kamar.

Mungkin dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum.Mungkin juga dia akan membuka dulu bajunya, mengambil handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk. Setelah itu, akan ia kenakan gaun tidur hijau pupus yang lembut.Sama lembutnya dengan hijau tangkai pisauku. Dia pasti sangat menyukai warna hijau.Gaun hijau sutra itu halus dan tipis sehingga akan menerawangkan warna kulitnya yang pualam dan bentuk tubuhnya yang mengingatkanku pada sosok Dewi Supraba.

II

OH, kenapa kamu selalu gelisah, lelaki? Kamu ingin keluar mencegat perempuan malam itu? Keluarlah. Muncratkan semua kepenatan dalam dadamu. Aku tak ingin menjadi penjara bagimu. Kalau kauanggap bahwa apa yang ada dalam pikiranmu akan membuatmu menjadi laki-laki, ayolah kumpulkan keberanianmu, buka pintu hati-hati supaya kamu yakin tak akan membangunkanku.

Dan aku tak akan membuka mata seandainya pun aku bangun dan mengetahuinya. Bukalah pintu, menyelinaplah keluar seperti kucing. Bukankah laki-laki itu memang kucing? Tutup lagi pintu.Kalau perlu, kuncilah dari luar biar aku terkurung di dalam, dalam ketidaktahuan— setidaknya tidak tahu menurut anggapanmu. Senyampang keletak-keletuk suara sepatunya masih menggema di telinga, keluarlah melalui pintu muka.Sapalah dia dengan segala kesopanan.

Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun tidak, dia akan menjawab sapaanmu dengan lirik mata yang mendebarkanmu atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Tapi, kalaupun tidak juga, jangan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi, apalagi merangkulkan tanganmu di pundaknya. Pasti dia terlalu lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan.

Temani saja sampai rumahnya.Tepatnya,salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Bukakan pagar besi rumah itu, hati-hati, pasti akan terdengar derit yang menyilet hening. Antar dia membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali, berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua.Kamu pasti akan suka karena ketika pintu terbuka,akan meruap wangi yang tak kalah menyegarkan dari dalam kamar. Kamu pasti akan lebih suka kalau dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum, apalagi kalau dia membuka dulu bajunya,mengambil handuk,lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk. Bukankah kamu selalu membayangkan indahnya pemandangan itu? Hei, kamu masih gelisah di sini, lelaki?

III

Keletak-keletuk bunyi sepatuku yang beradu dengan lapisan beton memukul-mukul hening malam. Dan memukul-mukul dadaku.Aku seperti menjadi manusia soliter, sendirian hidup ketika alam semesta tidur.Dan sebentar pagi aku akan menjadi satusatunya manusia yang mati ketika alam semesta hidup disiram matahari.

Oh, tidak, aku yakin, di sebuah kamar, seorang lelaki tengah gelisah. Hampir tiap malam aku merasakan sepasang mata memandang dari kegelapan seperti hendak menelanku. Aku tak pernah melihat mata itu.Tapi aku merasakan sorotnya, seperti sepasang garis sinar sejajar yang memancar dari sudut malam yang pudar. Dasar lelaki, ayolah sibakkan tirai jendelamu, intiplah keremangan jalan ini. Akan lebih baik lagi kalau kau tidak terus-menerus sembunyi, tapi bukalah pintu kamarmu, lalu keluar dan menungguku di pintu pagar. Sapalah aku dengan ucapan selamat malam.

Atau selamat pagi. Aku akan menoleh sambil kuberikan sisa senyumku. Tapi sampai kulewati kamarmu yang temaram,aku hanya menjumpai kesunyian yang makin mengimpit. Aku memang lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang mengaku kelelahan. Namun aku senang melakukannya karena dengan demikian aku menjadi makin tahu bahwa semua lelaki memang tolol. Mereka saling berebut kekayaan sepanjang siang seperti binatang yang berebut makanan, hanya untuk dibuang dalam beberapa kejapan malam harinya, dengan alasan untuk mengusir kelelahan. Ah, ayolah, lelaki, bukankah kamu sama dengan semua lelaki itu?

IV

AH,perempuan,maafkan aku.Kau terlalu indah, karena itu izinkan aku melukis tubuhmu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya.Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain. Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis tubuhmu.

Mungkin aku akan memulai dengan ujung telunjuk kiriku sebagai semacam garis kasar, yang akan diikuti dengan ujung pisau lipatku.Ya, ya, akan kumulai dari bawah tengkuk lehermu. Bukankah di sana ada tato kupu-kupu yang membentangkan sayapnya yang biru? “Kenapa kau senang tato kupu-kupu?” begitulah aku akan bertanya lebih dulu. “Karena indah sekaligus rapuh,” pasti demikian jawabmu. Ironi yang indah,bukan? Dari gambar kupu-kupu di tengkukmu, perlahan-lahan akan kususuri dengan ujung jariku, sekaligus ujung pisauku, lekukan di tengah punggungmu yang melandai dan berakhir di lembah di antara tonjolan bokongmu yang membukit.

Lukisan Rembrant atau Monet, repertoar Beethoven atau Mozart, puisi Keats atau apalagi sekadar Goenawan, hanyalah ujung kuku dibanding keindahanmu. Dan aku ingin menikmati sendiri. “Aku ingin memilikimu selama hidupku. Dengan cinta.” Begitulah aku akan berbisik,sebelum kau meregang nyawa di puncak cinta. Mungkin kau akan tertawa, disertai air mata.

V

HEI, lelaki,apa artinya cinta?

sebuah kisah sedih

TAK ada lagi yang bisa kita percakapkan. Aku pergi. Menutup pintu, menutup hati. Masih kuingat malam itu, bukan cuma dingin yang melabrak galak. Tapi, masih kuingat bau yang kamu tinggalkan di penciumanku saat kamu geraikan rambutmu. Harumnya tersisa sampai sekarang. Kuingat pula saat itu, ada tangis yang tertahan, tapi bening air di pojok matamu, bunting oleh sedih yang sangat. Tak ada lagi yang bisa kita percakapkan. Esok adalah padang halimun yang membuat lamat bagaimana aku harus berbagi sedih, berbagi riang, berbagi risiko, berbagi kenangan. Sedih, selalu tak bisa dipercakapkan lebih panjang.Lalu kuingat satu per satu kalimatmu saat aku melangkah pergi. Kuingat pula sekarang, saat aku sendiri, untuk mengenang. Kalimat-kalimat yang terucap dari bibir yang bergetar, bibir yang seperti dipaksa untuk mengucapkan sesuatu yang belum bisa kau terima. Dan di rongga dadaku seperti ada badai pasir yang menggerakkan daun-daun ilalang. Mencabik-cabik, mengoyak, menoreh luka di sana-sini, meninggalkan pedih yang juga sangat.Aku terlalu mencintai diriku sendiri. Kamu, laki-laki yang menggetarkanku, terutama saat pertama kita bertemu, pada Januari 1999. Usai sebuah acara digelar, aku melihatmu. Matamu, mata nakal itu, yang menatap segala sesuatu seperti mata kanak-kanak yang melihat boneka di etalase. Aku mendatangimu, berjabat tangan, berkenalan. Sebuah nama yang asing. Aku meminta rokok, kamu mencoba menyalakannya. Kamu grogi. Dan aku makin menyukaimu. Mata nakal yang tidak kompak dengan tubuhmu yang grogi. Aku juga yakin, kamu menyukaiku. Tetapi, sayang, momen yang puitik itu harus segera dipenggal oleh kedatangan seorang laki-laki lain, kekasihku. Lalu aku bersamanya, menjauh, menemui orang-orang lain. Kamu terus mencuri pandang dengan mata nakalmu, aku juga. Kadang-kadang bertatapan. Kamu, nakal sekali.Jujur, aku selalu membandingkanmu dengan kekasihku. Aku tahu itu salah, kekasihku orang yang sangat baik. Tetapi, kebaikan sering tidak berbanding lurus dengan rasa suka. Kebaikan, mungkin berbanding lurus dengan kapling surga, tapi rasa suka adalah sebuah keganjilan yang tidak butuh pengantar apa pun.Tetapi, seandainya kamu tahu, aku adalah orang yang terlalu mencintai diriku sendiri. Aku suka desir darimu. Aku menikmati perasaan bergetar saat kita bercakap, saat kamu mengirimi surat-surat yang puitis lewat email. Anehnya, aku tak ingin itu berlalu sekaligus berubah. Aku tidak ingin kehilangan getaran dan rasa desir itu. Sangat tidak ingin. Itulah yang pertama-tama menjadi alasan, mengapa aku tidak pernah mau hubungan yang lebih, yang selalu kamu desakkan supaya kamu dan aku menjadi sepasang kekasih. Aku takut. Begitu tak ada lagi jarak, getar dan desir itu hilang. Lalu aku akan jadi algojonya, jadi mesin penghancurnya. Kita akan sama-sama sakit.Oleh karena itu, aku memilih kekasih yang baik hati, bukan seseorang yang aku cintai. Bagiku, yang menggetarkan selalu berjarak. Yang menggetarkan selalu punya potensi tak tertebak. Maafkanlah aku.Jelas kamu tak akan terima. Itu sudah kuduga. Aku masih ingat akan kata-katamu yang sedikit marah, tak terima."Kamu aneh, seperti seniman dan orang kaya. Juga kaku, seperti perempuan."Aku hanya tersenyum sambil memainkan mukaku, menggodamu. Kamu makin kesal, tapi tambah cakep. Lalu aku jawab: kamu sih, penginnya segala sesuatu harus jelas, yang enggak jelas itu yang kadang indah. Karena itu, jangan terlalu suka mendaki gunung atau berlayar, segala sesuatu sepertinya harus diraih dan diselesaikan. Kamu angkuh dan penakhluk, seperti laki-laki.Kamu tersenyum kecut. Sungguh, aku makin cinta. Tetapi, jangan ya....Aku suka kamu menggangguku, tetapi jangan sering-sering, aku bisa enggak tahan, dan segera menerimamu sebagai kekasihku. Ingat, yang menggetarkan selalu berjarak. Tetapi, kamu juga jangan pergi. Aku enggak mau itu terjadi.Lalu kamu menghilang, benar-benar menghilang. Lama sekali. Aku bingung dan sedih. Tetapi, telah kusimpan semua percakapan dan peristiwa denganmu, jika aku rindu, aku memutarnya kembali, mengingatnya. Aku bisa bertahan dengan cara seperti itu, walau kadang-kadang seperti tak tertahan rindu ini. Saat kepungan rindu merapat, kamu datang, tapi dengan wajah yang biasa. Benar-benar angkuh seperti laki-laki.Kamu jahat, aku rindu. Kamu ngapain saja? Berpetualang ya? Kenapa enggak ngasih kabar, kenapa enggak memberi tahu, aku kan khawatir?Kamu hanya diam sambil memandangku dengan tatapan matamu yang nakal itu seperti tidak bersalah. Ih..., sebel! kayak enggak butuh, kayak enggak rindu. Tetapi, beberapa jam kemudian, rindumu seperti tak terbendung, begitu membabi buta. Keinginanmu untuk terus memperjelas hubungan kita makin bergelora.Aku tetap bertahan. Kalau aku mengiyakan, itu bunuh diri. Aku harus terus-menerus menciptakan jarak itu. Sesungguhnya yang kujaga adalah getar dan desir itu. Aku memang egois, dan sangat mencintai diriku sendiri. Lalu kamu meninggalkanku saat itu dengan rasa kesal dan nyaris putus asa. Bisa kulihat itu, dari cara berjalanmu meninggalkanku. Dan aku tahu, kamu tidak akan berlama-lama dengan semua perasaan itu. Kamu akan segera merayuku lagi, mendatangiku lagi, membicarakan tentang cintamu kepadaku yang tak terkata.Benar juga. Beberapa hari kemudian, email-email-mu mulai berdatangan. Juga telepon di atas jam sebelas malam, dan ajakan-ajakan kencan. Begini saja kan asyik.Sebenarnya aku kasihan juga sama kamu. Aku pernah mengalami yang seperti ini lima kali. Empat yang terdahulu, hanya bertahan beberapa bulan. Tidak kuat dan tidak tahan dengan pola hubungan yang seperti ini. Tetapi, kamu bertahan lebih dari dua tahun, hampir tiga tahun pada Januari depan. Getar dan desir yang kurasa makin membesar. Bertahan terus ya, aku makin cinta kok.Pada malam-malam larut, ketika kekasihku pulas di sisiku, aku selalu disergap oleh bayangmu. Kupandang jendela, dan aku selalu berharap kamu mengetuknya, lalu aku membuka dan kupandangi wajahmu yang kusut, namun selalu tampak memerah oleh gairah. Lalu kamu paksa aku untuk keluar sejenak, hanya untuk mendengar keluh-kesahmu. Mendengar sampai tandas yang kamu risaukan, dan tentu saja menciumku, lama, lama sekali, sampai jika kita dendangkan lagu akan menghabiskan tiga-empat lagu. Aku isap habis dari mulutmu yang begitu malam, bercampur bau bir dan asap rokok.Saat kamu melenggang pergi, kutatap habis punggungmu yang menggambarkan peta perjalanan yang aku tak mau tahu, siapa dan apa saja yang telah kamu lakukan di luar sana. Mungkin habis bercinta dengan perempuan di sebuah lokalisasi, mungkin habis merampok rumah orang kaya, atau mungkin bertengkar dengan istrimu. Aku sungguh tidak mau tahu. Tidak pernah kutanyakan apakah kamu sudah beristri atau belum, punya kekasih selain aku, berasal dari mana, dan apa saja yang kamu lakukan. Selalu kutatap lekat punggungmu dan kuhafal gerak tubuhmu saat pergi dariku. Dengan riang atau kecewa. Kuhafal semua.Kamu kurindu lebih dari orang-orang merindukan koran pagi, libur akhir pekan, percintaan yang melelahkan. Aku ingin seperti sungai yang menampung airmu lalu mengalirkannya terus-menerus. Rasa yang terus bergerak, tak bosan-bosan, tak selesai-selesai.Tetapi, aku berani menebak, kamu pasti melewati masa kanakmu dengan kebandelan dan nyaris membuat orang tua serta tetanggamu putus asa. Tetapi, kamu juga selalu dimaafkan, disayang, dan direstui oleh apa pun. Bisa kulihat itu dari sorot matamu yang lincah bergerak, seakan mengajak bermain benda-benda yang kamu pandang. Aku membayangkan masa kecilmu yang gemar menulis sesuatu di tembok dan di perabot rumah tangga tanpa bisa dihapus, sering memecahkan gelas, membuat alat-alat elektronika rusak, membuat macet jalan raya.Kamu juga selalu kubayangkan sebagai orang yang bernyanyi sendiri di sebuah taman pada malam yang berkabut. Atau membaca buku-buku puisi di sebuah kandang kuda. Atau duduk sendiri sambil minum bir dan merokok di atas pohon besar yang bercabang banyak. Kamu selalu kubayangkan sebagai tokoh dalam film-film yang kutonton, novel-novel yang kubaca, dan cerita-cerita yang kureka-reka, yang kubayangkan.Hingga datang malam yang jahat itu, yang mengantarmu, tetapi sekaligus akan membawamu pergi, bukan hanya jauh, tetapi sesuatu yang tak bisa lagi kulacak. Malam yang memberi tempat dan mengiringimu untuk bercerita panjang tentang kisah sedih lewat bibirmu yang bergetar. Malam yang kemudian hanya memberiku pilihan bahwa aku harus terlebih dahulu meninggalkanmu, sebab aku tak akan kuasa lagi memandang lekat punggungmu yang aku tahu, kamu tidak akan pernah kembali lagi. Malam yang memberitahuku kalau ada kisah-kisah lain yang tidak pernah kutonton dalam film, tidak pernah kubaca dari novel. Cerita panjangmu yang sedih yang tidak pernah terlintas dalam dunia rekaanku atasmu, tak pernah kubayangkan akan menimpamu. Sebuah malam yang hanya memberiku satu kesimpulan yang samar, bahwa kesedihan, tidak bisa dipercakapkan dengan lebih panjang.**