Selasa, 22 April 2008

Khalil Gibran (cinta2)

Mereka berkata tentang serigala dan tikus
Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan? hering
Menjunam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya
mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati

Khalil Gibran(cinta1)

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang? ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

Pabila? cinta menggamitmu, ikutlah ia
Walaupun jalan-jalannya sukar dan curam
Pabila ia mengepakkan sayapnya,
Engkau serahkanlah dirimu kepadanya
Walaupun pedang yang tersisip pada sayapnya akan melukakan kamu.

Pabila ia berkata-kata
Engkau percayalah kepadanya
walaupun suaranya akan menghancurkan mimpimu
seperti angin utara yang memusnahkan taman-taman
kerana sekalipun cinta memahkotakan kamu
Ia juga akan mengorbankan kamu
walaupun ia menyuburkan dahan-dahanmu
ia juga mematahkan ranting-rantingmu
walaupun ia memanjat dahanmu yang tinggi
dan mengusap ranting-rantingmu yang gementar
dalam remang cahaya matahari
ia juga turun ke akar-akarmu
dan menggoncangkannya dari perut bumi

Seperti seberkas jagung
ia akan mengumpulmu untuk dirinya
membantingkanmu sehingga engkau bogel
mengayakkanmu sehingga terpisah kamu dari kulitmu
mengisarkanmu sehingga engkau menjadi putih bersih
mengulimu agar kamu mudah dibentuk
dan selepas itu membakarmu di atas bara api
agar kamu menjadi sebuku roti yang diberkati
untuk hidangan kenduri Tuhanmu yang suci

Semua ini akan cinta lakukan kepadamu
supaya engkau memahami rahsia hatinya
dan dengan itu menjadi wangi-wangian kehidupan
tetapi seandainya di dalam ketakutanmu
engkau hanya mencari kedamaian dan nikmat cinta
maka lebih baiklah engkau membalut dirimu
yang bogel itu
dan beredarlah dari laman cinta yang penuh gelora
ke dunia gersang yang tidak bermusim
di sana engkau akan ketawa
tetapi bukan tawamu
dan engkau akan menangis
tetapi bukan dengan air matamu

Cinta tidak memberikan apa-apa melainkan dirinya
dan tidak mengambil apa-apa melainkan daripada dirinya
cinta tidak mengawal sesiapa
dan cinta tidak boleh dikawal sesiapa
kerana cinta lengkap dengan sendirinya

Dan pabila engkau bercinta
engkau tidak seharusnya berkata
“kejadian adalah hatiku,” sebaliknya berkatalah:
“aku adalah kejadian”

Dan janganlah engkau berfikir
engkau boleh menentukan arus cinta
kerana seandainya cinta memberkatimu
ia akan menentukan arah perjalananmu

Cinta tiada nafsu melainkan dirinya
tetapi seandainya kamu bercinta
dan ada nafsu pada cintamu itu
maka biarlah yang berikut ini menjadi nafsumu;
menjadi air batu yang cair
membentuk anak-anak sungai
yang menyanyikan melodi cinta
pada malam yang gelap gelita
untuk mengenal betapa pedihnya kemesraan
untuk merasa luka kerana engkau kini mengenali cinta
dan rela serta gembira
melihat darah dari lukanya
untuk bangun pada waktu fajar dengan hati yang lega
dan bersyukur untuk satu hari lagi yang terisi cinta
untuk beristirehat ketika matahari remang
untuk mengingati kemanisan cinta yang tidak terperi
untuk kembali ke rumahmu ketika air mati
dengan rasa kesyukuran di dalam hati
dan dalam tidurmu berdoalah untuk kekasihmu
yang bersemadi di dalam hatimu
dengan lagu kesyukuran pada bibirmu

karya khalil Gibran

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

:+: Khalil Gibran :+:

Khalil Gibran


Gibran Khalil Gibran was born on January 6, 1883, to the Maronite family of Gibran in Bsharri, a mountainous area in Northern Lebanon [Lebanon was a Turkish province part of Greater Syria (Syria, Lebanon, and Palestine) and subjugated to Ottoman dominion]. His mother Kamila Rahmeh was thirty when she begot Gibran from her third husband Khalil Gibran, who proved to be an irresponsible husband leading the family to poverty. Gibran had a half-brother six years older than him called Peter and two younger sisters, Mariana and Sultana, whom he was deeply attached to throughout his life, along with his mother. Kamila’s family came from a prestigious religious background, which imbued the uneducated mother with a strong will and later on helped her raise up the family on her own in the U.S. Growing up in the lush region of Bsharri, Gibran proved to be a solitary and pensive child who relished the natural surroundings of the cascading falls, the rugged cliffs and the neighboring green cedars, the beauty of which emerged as a dramatic and symbolic influence to his drawings and writings. Being laden with poverty, he did not receive any formal education or learning, which was limited to regular visits to a village priest who doctrined him with the essentials of religion and the Bible, alongside Syriac and Arabic languages. Recognizing Gibran’s inquisitive and alert nature, the priest began teaching him the rudiments of alphabet and language, opening up to Gibran the world of history, science, and language. At the age of ten, Gibran fell off a cliff, wounding his left shoulder, which remained weak for the rest of his life ever since this incident. To relocate the shoulder, his family strapped it to a cross and wrapped it up for forty days, a symbolic incident reminiscent of Christ’s wanderings in the wilderness and which remained etched in Gibran’s memory.

cinta (sebuah karya dari kahlil gibran)

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur?
ketika kita menangis?
ketika kita membayangkan?
itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat

ketika kita menemukan seseorang yang
keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung
dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan
serupa yang dinamakan cinta.

Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan,
seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan,
tapi melepaskan bukan akhir dari dunia,
melainkan suatu awal kehidupan baru,
kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti,
mereka yang telah dan tengah mencari dan
mereka yang telah mencoba.
karena merekalah yang bisa menghargai betapa
pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan
mereka.

Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu
menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya,
adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan
kamu masih menunggunya dengan setia.

Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan
kamu masih bisa tersenyum dan berkata
” aku turut berbahagia untukmu ”

Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu,
biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi.
kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan
cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati
kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.

Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu
mendapatkan keinginannya, melainkan mereka
yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah
bagaimana dalam perjalanan kehidupan.
kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri
dan menyadari bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya
sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup
yang telah kau buat.

Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku
lupa ….”
menunggu selamanya ketika kamu berkata ”
tunggu sebentar ”
tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku
sendiri ”
mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan
belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ”
mencintai juga bukanlah bagaimana kamu
melupakan dia bila ia berbuat kesalahan,
melainkan bagaimana kamu memaafkan.

Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
melainkan bagaimana kamu mengerti.
bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa
yang kamu rasa,
bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan
bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus
berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang
itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita
menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia
apabila kita melepaskannya.

kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah
orang yang tak pernah menyatakan cinta
kepadamu, karena takut kau berpaling dan
memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan
menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau
sadari

puisi

Aku Kesepian & Sendiri

Ajak ia pergi dari hidupku
Ku merasa sepi
Dia tinggalkanku sendiri di sini
Tanpa satu yang pasti

Aku tak tahu harus bagaimana
Aku merasa tiada berkawan
Selain dirimu
Selain cintamu…

Kirim aku malaikatmu
Biar jadi kawan hidupku
Dan tunjukkan jalan yang memang kau
pilihkan untukku

Kirim aku malaikatmu
Karena ku sepi berada di sini
Dan di dunia ini
Aku tak mau sendiri

Tanpa terasa kuteteskan air mata ini
Yang tiada berhenti mengiringi kisah di hat

Cerita Dingin tentang Tamborin

A segera memalingkan muka ketika pandang matanya menumbuk tamborin yang dipegang penyanyi dangdut itu. Hatinya miris teriris-iris dan jiwanya seperti terlempar kembali pada dua puluh tahun silam, saat ia masih suka mengulum kembang gula, saat ia baru terbata-bata mengeja huruf-huruf alfabet. Lalu ia mencoba beralih memandang atraksi pantat gadis penyanyi. Mungkin saja mampu menenangkan dirinya. Tapi tetap saja dadanya seperti dilabrak beribu peluru. Kenangannya yang mengerikan mengenai tamborin lebih kuat mencengkeram benaknya. Padahal tujuannya untuk melihat konser dangdut adalah untuk membuang kepenatan. Musik dangdut memang menjadi salah satu hobinya, sebab baginya, musik dangdut memunyai nuansa asyik dan mampu melambungkan pikirannya hingga pada kenikmatan hidup tertentu.


Tanpa menunggu selesai keramaian konser yang dihadiri ribuan orang tersebut, ia segera cabut dari kerumunan, keluar dari alun-alun kota yang menjadi ajang digelarnya hiburan musik. Ia tak mau batinnya lebih tersiksa dengan irama tamborin yang bergemerincing menggedor-gedor telinganya.


Semula, sebelum menyaksikan acara dangdut itu, ia mengira si penyanyi tak akan memegang tamborin. Biasanya, sungguh jarang terjadi, seorang penyanyi dangdut memegang tamborin untuk mengisi irama. Tapi kali ini lain. Ternyata penyanyinya ikut juga dalam mengiringi lagu. Ia sangat kesal dengan konser tersebut.


Dengan tergopoh dan penuh keringat, ia buru-buru masuk di kedai pinggir jalan, segera memesan es teh. Kaos birunya seperti baru saja dicuci. Kumisnya yang tipis juga sampai basah, seakan baru saja disengat terik matahari dalam waktu lama. Tapi kini bukan siang hari. Malam hampir mencapai sempurna. Beberapa orang yang bersantap di warung itu tidak melihat cucuran keringatnya sebagai keanehan. Mungkin mereka tahu, bahwa dirinya adalah salah satu penonton acara dangdut. Sehingga bisa jadi mereka berpikir, ia baru saja asyik berjoget gila-gilaan bersama para pengunjung lainnya.


Setelah penjual warung menyodorkan segelas es kepadanya, tanpa basa-basi ia menyeruput cepat, bahkan menenggaknya hingga habis. Beberapa pembeli di warung itu sempat melirik, tapi ia cuek saja.


Ia pun menenangkan dirinya setelah melewati trauma. Namun tak bisa dielak, saat ia duduk tertegun sembari mengatur napasnya, kesadarannya terseret jauh pada masa kecil yang suram tentang tamborin. Cerita di masa lalu yang sangat dibencinya. Silakan jika kalian mau membacanya.


Di masa kecilnya, tamborin lebih menakutkan dibanding hantu yang ditakuti anak kecil sepantaran usianya. Hal itu karena ibu kandungnya, Dalirah, telah membelenggu keindahan masa kecilnya dengan tamborin dari kayu, sejak ia berumur empat tahun. Waktu itu, ketika ia diasuh oleh ibunya, jika tak mau memegang tamborin, ia akan di-cablek pantatnya keras-keras. Bahkan pada saat tertentu, ketika ia berani menolak dengan menangis keras-keras, bapaknya yang selalu main kartu di lorong terminal akan turun tangan dan menampar pipinya beberapa kali, lalu memaksa agar ia diam dan tetap menuruti kemauan ibu. Jika ingin tidak tersiksa, pilihan satu-satunya adalah diam dan menurut.


Belenggu ke dua, yang memasung masa kecilnya dalam kelam, adalah masa kecilnya yang lumat dihajar dingin dan angin semenjak lahir di dunia. Kedua orangtuanya yang hanya hidup sebagai peminta-minta, tak pernah mengenalkannya pada rumah, pada bantal dan selimut hangat ketika malam merajam. Atap yang ia lihat sebelum tidur adalah langit luas tanpa batas, atau jika hujan turun, sekali dua tidur berpayung atap emperan toko milik orang Cina. Lebih getir lagi, membekas dalam dadanya, kebiasaan hidupnya yang tak teratur makan, tak teratur mandi-bahkan jarang, serta setelan kumal bajunya yang seminggu sekali dicuci.


Tapi dalam batinnya, yang paling menakutkan tetaplah tamborin.


Suatu kali ia pernah bertanya kepada ibunya, dalam nada yang takut dan ragu, dengan cara bicara yang masih cedal melafalkan kata-kata, "Ibu, kenapa aku setiap hari harus membiasakan memegang tamborin ini?"


"Kau nanti akan tahu apa manfaatnya setelah kau bisa menyanyi dan menggunakan tamborin ini dengan benar. Sekarang kau menurut saja sama ibu! Ndak usah banyak tanya."


"Tapi, Bu..."


"Sudah, diam!"


Ia bersungut dan terpaksa mengangguk dengan alasan dan kemauan ibunya mengenai tamborin. Tapi ia punya tekad, suatu waktu, ia akan mendapatkan jawaban atas misteri ini.


Sebenarnya, tamborin yang seperti membelenggu masa kecilnya itu bukan seperti yang dibawa oleh penyanyi dangdut. Pada genggaman tangan halus penyanyi itu, tamborin yang dibawa terbuat dari mika dan dijual luas di toko-toko alat musik. Sedangkan tamborin masa kecilnya adalah tamborin buatan ibunya sendiri. Yaitu sebuah tamborin sederhana yang terbuat dari kayu berbentuk balok, berukuran kecil, dan di pinggirnya ditancapi paku berisi tiga tumpuk uang logam yang sudah dilubangi pada bagian tengahnya. Sehingga jika dipukul-pukulkan pada pinggang dengan waktu yang teratur, maka akan bisa membentuk rangkaian irama untuk mengiringi seseorang dalam menyanyikan lagu.


Ada lagi ketakutan yang tak bisa dilupakan olehnya; adalah bagaimana ibunya setiap hari selalu memaksa agar ia bisa menyanyi salah satu lagu penyanyi cilik berjudul "Ibu Tiri". Lirik lagu itu didengungkan setiap hari oleh ibu, dan jika tak mau mendengar, ibunya akan membentak-bentak, bahkan tak jarang bertindak kasar. Dan bukan itu saja. Ibunya telah melatihnya dengan disertai ancaman, agar dalam menyanyikan lagu itu seharusnya menampilkan mimik wajah yang sedih. Ia belajar untuk bersikap sedih walaupun hatinya sedang gembira.


Lambat laun, entah dalam jangka berapa lama, ia tak begitu ingat, lagu itu merasuk secara paksa dalam batok kepalanya. Ia pun hapal dan mampu runtut menyanyikan lagu itu setiap kali ibunya menghendaki ia menyanyi. Setelah benar-benar hapal di luar kepala, ibunya kembali membelenggunya agar ia cepat bisa untuk memainkan tamborin dari kayu. Sebab menurut ibunya, jika menyanyikan lagu tanpa ada musik iringan, akan terasa tidak enak dinikmati.


***


Jawaban atas pertanyaannya mengenai tamborin akhirnya ditemukannya hari ini. Tepat pada suatu Senin, saat ia sedang terperangah heran mengamati kelereng pemberian temannya, ibunya datang setelah membelikannya es puter rasa coklat. Setelah memberikan padanya es lezat itu, lalu dinikmatinya dengan mantap, ibunya menerangkan apa yang harus dikerjakannya hari ini.


"Kita nanti akan ke perempatan. Kau harus ikut!"


"Ke sana mau ngapain, Bu?"


"Pokoknya nurut. Jangan banyak tanya! Kau mau kugampar lagi?"


Ia menggeleng segera. Lalu cepat menyusul langkah ibunya.


Di salah satu trotoar perempatan traffic light yang membara, yang disesaki asap knalpot dan bising mesin kendaraan, ia duduk di bawah pohon ketapang rindang bersama ibunya. Setelah berjalan jauh, mereka beristirahat.


"Rahmat, sekarang kamu pegang gelas plastik bekas Aqua ini!" seru ibunya, sembari menyodorkan barang itu. Padahal belum lega mereka menghela napas barusan. Mereka berdua masih ngos-ngosan.


"Ini diapakan, Bu?"


Tanpa dijawab, ibunya malah menyodorkan lagi tamborin dari kayu yang biasa dipegang olehnya. "Ini, pegang lagi. Sudah saatnya kau melaksanakan tugasmu."


"Tugas apa, Bu?"


"Turuti apa yang ibu perintahkan. Lihat Lampu merah itu!"


Ia tujukan pandangnya pada lampu merah. "Kenapa dengan lampu merah itu, Bu? Apa yang perlu saya lihat?" tanyanya heran.


"Jika pas lampu berwarna merah, kau segera menghampiri para pengendara motor atau mobil yang sedang berhenti. Lalu menyanyilah di sampingnya keras-keras lagu 'Ibu Tiri' yang telah kuajarkan kepadamu dengan sikap sedih, sembari menodongkan gelas plastik ini. Tetaplah mengiringi lagu itu dengan tamborin. Jangan ngawur cara membunyikan tamborinnya. Mintalah uang kepada mereka. Agar kita nanti siang bisa makan. Sana, cobalah untuk belajar mencari uang!"


"Tapi aku takut, Bu."


"Kau mau aku gampar sampai tak bisa berdiri! Atau kau mau aku buang ke sungai di bawah jembatan kuning itu!"


Ia menggeleng dengan keras, beserta isak tertahan di kerongkongan. "Hei, jangan nangis. Mau aku cekik?"


Ia berusaha menghentikan kesedihannya dengan susah payah. Tapi sebelum menunaikan ancaman ibunya, ia masih bertanya lagi. "Lalu Ibu mau ke mana sekarang?"


"Jangan banyak tanya lagi. Aku tunggu kau di sini sambil beristirahat. Aku sudah lelah menghidupi anak. Kamu sekarang yang harus memberi makan pada ibu. Tahu?"


Ia hanya mengangguk tanpa bisa menyangkal. Walaupun sebenarnya masih belum paham, dan merasa agak aneh dengan perkataan ibunya, ia segera bergegas ke perempatan itu.


Aspal yang terik dan hampir membakar kakinya yang mungil, membuatnya mendongkol. Dan pada saat lampu berwarna merah, ia mendekat pada salah satu motor, lalu masuk pada dunia tarik suara.


Kisah masa kecilnya kemudian, terus menerus menghuni perempatan tiap siang. Bertemu dengan banyak muka. Bertemu dengan banyak belas kasih dan cerca. Bertemu dengan banyak wajah welas asih maupun sinis. Atau di lain hari, sesekali disuruh ibunya nongkrong pada halte, lalu naik ke salah satu bus yang berhenti di sana. Ia mengamen kepada para penumpang bus kota.


***


Ketika usianya genap mencapai sepuluh tahun, di suatu akhir pekan dalam cuaca yang mendung, ia menyadari ia telah diperalat oleh ibunya untuk mencari uang. Sebab selama ini, ketika ia mendapatkan uang dalam jumlah yang lumayan, ia berkewajiban untuk menyetorkan seluruhnya kepada ibu. Dan ibu hanya leha-leha dengan setiap hari makan enak berlaukkan paha ayam goreng. Sedang nasibnya, setiap hari hanya diberi lauk tempe dan tahu bacem. Menurut ibu, tahu dan tempe lebih menyehatkan. Sedangkan daging ayam, kata ibu penuh virus dan penyakit. Sama sekali tak pernah ia disuruh mencicipi rasa daging ayam barang sekali.


Ia sadar telah ditipu oleh ibunya ketika di stasiun. Saat ia jalan-jalan, ia diberi ayam bakar oleh seorang waria yang berbincang dengannya. Namanya Venny. Parasnya tak begitu memukau, namun mampu memberikan kesejukan dengan sikapnya yang ramah dan suka berderma. Dalam lidahnya, daging ayam itu begitu enak. Seketika ia menyesal telah menurut dengan ibunya. Semenjak itu, ia telah menemukan kompas yang bagus, yang mampu menunjukkan arah angin yang baik bagi perjalanannya. Venny juga yang memberikan jalan keluar agar ia minggat saja dari belenggu ibunya.


Terjalinlah dalam kepalanya suatu rencana, cara agar ia bisa berpisah dengan ibunya yang menyebalkan dan bengis. Dan ia telah menemukan waktu yang tepat. Yaitu malam hari, ketika ibu dan bapaknya lelap di sudut kota. Saat itulah ia mengendap-endap, pergi ke stasiun, lalu meluncur ke kota lain dengan menyusup di sebuah gerbong, bersama Venny.


***


Ia tersadar dari lamunannya ketika mendengar beberapa orang lelaki berseragam polisi menanyakan kepada pemilik kedai, tentang seorang lelaki berkaos biru, berperawakan sedang, berkumis tipis, dengan celana kedodoran. Langsung ia tersentak. Ia sangat kenal wajah-wajah para lelaki itu.


"Apakah lelaki itu ke sini? Tolong jujur, Pak. Dia sangat berbahaya. Jika skizofrenianya kumat, ia suka membunuh orang! Ia baru saja lari dari ambulans dua jam lalu ketika kami akan membawanya ke pusat rehabilitasi," jelas salah satu polisi pada pemilik warung.


"Sebentar. Apakah yang kalian maksud adalah lelaki ini?" kata pemilik kedai sambil menunjuk pada hidungnya.


Ia semakin tersentak dan tanpa banyak cakap langsung melompat pergi dari kedai itu, tanpa membayar terlebih dulu.


Para lelaki itu langsung tersadar dan mengejarnya mati-matian. Mereka tak menyia-nyiakan mangsa buruannya. Sedang ia sendiri, yang merasa tak aman lagi hidupnya, berlari sekonyong-konyong. Ia menyesal ketika lolos dari belenggu para polisi, ia malah tertarik untuk melihat goyangan asoi sang penyanyi dangdut. Goyangan yang membuatnya malah terlena memasuki masa lalu yang miris tentang tamborin. Sungguh, ia telah bersumpah tak mau lagi hidupnya jatuh ke dalam belenggu.


Karena cepatnya ia berlari, salah satu polisi mengeluarkan pistol dari pinggangnya agar ia tertangkap. Pistol itu benar-benar sudah diarahkan ke kakinya yang terus berlari dalam laju yang tak berirama. Tak seperti tamborin miliknya, yang selalu ia perlakukan dalam ketukan tertib irama. Ia bertekad lari dari belenggu yang mengungkungnya di mana pun dan kapan pun. Tapi sedetik kemudian, pistol itu berdesing! ***

Ketabahan Ibu Cermin Hidupku

Sejatinya, perjalanan hidupku teramat berliku. Sejak kecil aku sudah dihadapkan pada kenyataan yang serba pahit. Melihat air mata ibu menetes hampir menjadi santapanku sehari-hari. Meski begitu, perilaku bapak yang gila judi tidak jua berubah. Aku begitu bangga terhadap ketegaran ibu, bahkan aku ingin ”perkasa” seperti ibu.


Aku terlahir sebagai anak gadis dari empat bersaudara. Kakak, aku, dan si kembar adikku. Dalam kenyataan, nasib kami bersaudara tidaklah seberuntung teman-teman sekampung. Kami lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang amburadul. Ekonomi pas-pasan, bahkan semakin hari semakin mencekik leher. Pemicunya: bapakku seorang penjudi.

Sejak kecil, di depan mataku, selalu kulihat bapak memarahi dan membentak-bentak ibu hanya untuk meminta uang belanja. Saat itu hanya ada tangis yang kulihat di ayu wajah ibu. Menyaksikan kekerasan seperti itu, hatiku hanya bisa berkata, ”Jangan menangis ibu. Aku sayang ibu.”

Jujur, aku salut dengan ketabahannya. Aku bangga memiliki seorang ibu yang tegar dan tabah dalam menghadapi sikap dan perilaku bapak yang kasar. Atau, mungkin benar karena cinta itu masih ada, sehingga ibu bisa (memaksakan diri) bertahan sampai saat itu.

Hingga aku besar kelakuan bapak tidak kunjung berubah. Malahan cenderung semakin menjadi-jadi. Gila judi serta merta membuat utang bapak kian menumpuk. Pendeknya, kemana pun bapak pergi berjudi, ujung-ujungnya selalu meninggalkan utang.

Lantaran prihatin melihat keadaan keluarga yang morat-marit, aku memutuskan pergi ke Surabaya dan masuk ke sebuah PT. Tentu saja aku membawa segenggam harapan: bisa segera diberangkatkan ke luar negeri, lalu bekerja dan mengirim uang buat keluarga.

Swear, aku ingin membuat ibu berhenti menangis. Aku juga ingin melepaskan bapak dari jeratan utang yang kian menumpuk. Aku bahkan ingin membiayai sekolah adik-adikku. Betapa besar harapan itu kugantang, begitu juga upayaku dalam mencapainya, tetapi Tuhan jualah yang menentukan segalanya.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, hingga tujuh bulan, aku belum juga diberangkatkan ke Singapura, negara tujuan pilihanku. Apa pasal? Usut punya usut, biodataku ternyata tak diproses. Alasannya, umurku masih terlalu muda. Sudah pasti aku geram. Jika umurku yang jadi alasan, kenapa mereka tidak menjelaskan sedari awal kalau aku tidak diterima atau tidak memenuhi syarat? Apakah mereka sengaja ”memelihara” aku di PT untuk membantu-bantu staf?

Saat itu aku ingin marah, kecewa, dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk dalam dada. Apalagi ketika mereka bilang, aku harus pulang karena tidak bisa diproses. Kalau sekadar suruh pulang sih tak apa-apa. Tetapi, eh, mereka meminta tebusan, ganti rugi selama aku tinggal di PT. Aneh bukan?

Sebenarnya itu semua bukan kesalahanku, tetapi mengapa malah minta tebusan sama aku? Dari mana pula aku mendapatkan uang sebanyak itu? Minta orangtua, jelas tidak mungkin. Keluargaku tergolong miskin, ketambahan pula bapak punya utang di mana mana. Namun pihak PT tetap ngotot, tidak mau tahu apapun alasan yang kusampaikan.

Mungkin, begitulah yang namanya bisnis. Tidak pakai perasaan. Tidak mau mendengarkan jeritan perempuan tak berdaya seperti aku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah sembari berdoa, mudah-mudahan didengar oleh Dia Yang Maha Kuasa.

Bersyukur. Doa hamba yang teraniaya ini agaknya didengar. Tak lama, aku diizinkan pulang dari penampungan dengan tebusan Rp 250.000. Meski uang segitu – bagi kami – sangat besar, tetapi aku tetap mensyukurinya. Aku bisa pulang ke Banyuwangi, kampung halamanku.

Rinduku kepada ibu begitu menggebu. Ya, dialah satu-satunya perempuan di dunia yang mampu memberiku kekuatan tanpa batas. Jika tanpa bercermin pada penderitaan ibu selama ini, mustahil aku menerima begitu saja perlakuan pihak PT.

Sejatinya, saat itu aku malu balik ke kampung dalam keadaan tangan hampa. Kuanggap, aku gagal memperjuangkan kehidupan keluarga. Tetapi apa boleh buat, keadaan telah memaksaku begitu.

Sesampai di rumah, hatiku hancur saat mendapati kenyataan: bapak pergi tanpa pamit pada keluarga. Sama sekali keluarga tak ada yang tahu di mana gerangan bapak. Yang kami tahu, bapak lari untuk menghindari para penagih utang.

Lagi-lagi aku melihat tangis ibuku. Tangis yang tak pernah kulihat selama aku tinggal di PT. Air mata itu terasa lebih mencabik-cabik perasaan. Aku begitu sayang pada ibu. Karenanya, aku nekat masuk lagi ke PT. Kali ini lewat sebuah PJTKI di Jember yang berencana memprosesku untuk bekerja ke Brunei Darussalam.

Tetapi, Tuhan tampaknya masih ingin menguji sampai sejauh mana kekuatanku dalam menghadapi ujian. Satu minggu sebelum keberangkatan ke negara tujuan, majikan membatalkan kontrak kerja yang sudah telanjur kami tanda tangani. Alasannya, aku terkena bronchitis alias batuk berdahak. Majikan khawatir, anaknya akan tertular oleh penyakit yang sebenarnya mudah disembuhkan itu.

Atas anjuran pihak PT, aku di-medical check up lagi. Hasilnya fit. Empat bulan setelah terlepas dari batuk, aku pun diberangkatkan. Di negeri jiran ini aku bekerja selama dua tahun. Ya, tepat pada Juni 2007, aku pulang ke tanah air. Harapanku saat itu, kehidupan keluargaku sudah berubah, utamanya menyangkut bapak.

Aku berpikir, bapakku pasti sudah kembali pulang setelah lunas membayari utang-utangnya. Tetapi perkiraanku ternyata salah. Bapak tetap belum pulang. Rumahku pun masih sama seperti dulu. Berdinding bambu dengan ”hiasan” lubang-lubang di sana- sini, atap bocor, bagian dapur miring bahkan hampir roboh.

Kepada ibu kuserahkan uangku dari hasil kerja di Brunei untuk merenovasi rumah. Tetapi ibuku keberatan. Katanya, uang itu lebih baik ditabung demi masa depanku nanti. Aku sempat protes dengan larangan ibu, tetapi sifat ibu memang begitu dan aku tidak bisa memaksa. Akhirnya, uang itu pun kubelikan tanah untuk ukuran satu rumah. Di atas tanah itulah aku punya cita-cita membangun rumah mungil buat keluargaku.

Tidak tahan menjadi bahan gunjingan tetangga kanan-kiri karena ulah bapak yang kebangetan, aku pun kembali masuk penampungan. Kali ini aku memproses keberangkatan ke negara Hong Kong.

Enam bulan di PT ARJ Malang, aku pun diberangkatkan. Mulanya aku sendiri tak yakin bisa berangkat ke negara ini, mengingat tinggi badanku cuma 145 cm. Tetapi kasih Tuhan telah ditunjukkan kepadaku. Meski target PT minimal 155 cm, aku tetap diberangkatkan dengan alasan telah memiliki pengalaman bekerja di luar negeri.

Setiba di Hong Kong, aku dipekerjakan di daerah Hung Hom, Kowloon. Namun, lagi-lagi Tuhan masih ingin mengujiku. Majikanku cerewetnya minta ampun. Apa pun yang aku kerjakan selalu dinilai tak benar. Makian, hinaan tak pernah berhenti terlontar dari mulut majikanku. Hampir-hampir aku tak sanggup menghadapi perlakuan majikan.

Tetapi jika mengingat ibu, mengingat tujuanku, seberat apa pun problem yang kuhadapi di sini menjadi tiada arti. Ya, aku masih ingat bagaimana ketika ibu dimarahi, dimaki, dipaksa, dikasari bapak. Sungguh, bayangan masa lalu itu telah membuatku ingin seperti ibuku. Menjadi sosok perempuan yang tabah, tegar, dan tidak ingin menangis karena cobaan hidup.

(Dituturkan Ucrit via surat dan disusun oleh Kristina Dian S dari Apakabar)