Kamis, 24 April 2008

sastra dan budaya

varian_varian ideologis komunitas sastra

Di Indonesia, belakangan muncul juga komunitas yang berbasis gerakan literasi, seperti Rumah Dunia, 1001 Buku dan Indonesia Membaca.

Komunitas sejenis ini dimotori oleh individu yang memiliki kepedulian tentang kurangnya akses buku bagi kalangan tertentu. Mereka membangun rumah bacaan di masyarakat lokal, atau mencari donasi buku untuk disalurkan kepada rumah bacaan di berbagai daerah.

Komunitas pemasaran penerbit dan komunitas gerakan literasi itu penting, karena telah memperluas dimensi wacana komunitas sastra.

Keenam jenis komunitas sastra di atas jelas merangkul orientasi ideologis yang bebeda-beda. Misalnya, sejak penerbitan menjadi
industri yang menguntungkan, banyak pribadi dan komunitas sastra
mampu memutar dana dari hasil penjualan buku untuk membiayai
kegiatan yang lain.

Hal itu memunculkan kepentingan bagi komunitas sastra untuk
menerbitkan buku yang laku, yang melahirkan ideologi mem- prioritaskan laba di luar mutu dan estetika dalam sastra, seperti terlihat dengan kemunculan SMSlit, teenlit dan chiclit yang laku keras di pasar kalangan muda. Ini juga menciptakan ideologi bahwa sastra adalah komoditas untuk mengekspresikan gaya hidup.

Kedua ideologi tersebut mendukung makna buku sebagai benda, dan mempopulerkan kegiatan orang membeli, membawa, membaca buku, sertamengikuti komunitas sastra sebagai gaya hidup.

Perluasan dan perbanyakan sarana sastra itu memperlemah kekuasaan redaksi atau kritik sastra sebagai “paus sastra” yang selama ini dianggap mutlak untuk menilai sastra. Keadaan ini memunculkan ideologi egalitarianisme dan anti-elitisme dalam sastra. Namun, ideologi yang menjunjung kebebasan ekspresi juga melahirkan rasa waspada terhadap kebebasan itu sendiri.

Sekarang, hilangnya sesuatu yang harus ditakuti, entah itu paus
sastra atau lembaga sensor negara, menyebabkan masyarakat kemudian menciptakan batas kebebasan sendiri, dengan menggunakan ideologi seperti anti-liberalisme atau anti-eksploitasi seksualitas dalam sastra.

Namun, banyak aksi pemberdayaan masyarakat melalui buku muncul karena ideologi bahwa buku adalah alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Ini berarti bahwa aktivitas sastra mampu menghadapi masalah nyata di masyarakat, dengan mengkaitkan persoalan buku dengan kepedulian masyakat terhadap kalangan yang tidak mampu.

Relasi ideologi

Variasi ideologi di atas saling terkait dalam relasi yang berbeda-
beda. Peningkatan kebebasan ekspresi dan jenis aktivitas komunitas sastra menciptakan ideologi seperti anti-imperialisme ataupun pro dan kontra eksplorasi seksualitas sebagai satu variasi dari ekspresi wacana sastra. Namun, ini adalah sebuah antitesis dari kebebasan ekspresi itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi muncul dari implikasi realita sosial yang berbeda dan saling bertentangan.

Sedangkan, ideologi aktivisme sastra untuk pemberdayaan juga muncul sebagai satu varian dari perkembangan wacana sastra mutakhir. Ideologi ini didukung oleh inovasi teknologi informasi, sebab komunitas ini tidak bisa beroperasi tanpa alat komunikasi elektronik untuk menyalurkan buku ke berbagai wilayah.

Di samping itu, ideologi tersebut juga membagi sikap dengan ideologi anti-liberalisme dalam pendekatan yang mengaitkan sastra dengan keadilan sosial. Lebih jauh, ideologi ini berpotensi bekerja- sama dengan ideologi komersialisasi industri buku, dalam persoalan mengatasi masalah jaringan distribusi buku.

Gambaran tersebut memperlihatkan pluralitas ideologi dan relasi di
antaranya yang kadang saling melengkapi dan bekerjasama, atau
bersebelahan.

Keberadaan ideologi seperti itu persis seperti pembahasan Foucault
yang menganggap ideologi seperti “sarang laba-laba”, tersebar ke
seluruh masyarakat dengan jaringan yang kadang ke satu arah, kadang ke berarahan. Juga, ini bisa dikaitkan dengan konsep post-Marxis, yang menggarisbawahi keberadaan manusia yang memerlukan ideologi untuk menemukan sosok diri (Self) atau yang lain (the Other) dalam pandangan dunianya.

Fungsi ideologi tersebut bisa menjadi pandangan alternatif
dibandingkan dengan konsep ideologi Marxis klasik yang membatasi
pemahaman ideologi dalam relasi dialektik seperti konflik antar-
kelas ataupun antara kapitalisme dan komunisme.

Jika kita menggunakan konsep ideologi post-Marxis ini, perilaku
manusia yang “bergabung” ke (ideologi) komunitas sastra secara
temporer untuk tujuan masing-masing tampak sebagai hal yang wajar. Kemudian, komunitas bisa menjadi suatu ruang fleksibel sebagai sumber ideologi yang plural, untuk menemukan beragam ideologi dalam dialog.

Demikian, daripada terjebak pada mitos bahwa ideologi komunitas
adalah kaku dan harus dipilih satu di antara yang lain, kita
harusnya bisa menerima perbedaan ideologi di dalam/antara komunitas sebagai sumber kekayaan wacana sastra.

Kesimpulan
Tulisan ini mengulas bagaimana keragaman ideologi di komunitas
sastra pada pasca-Orde Baru dilahirkan melalui interaksi dengan
kondisi sosialnya, dan masing-masing ideologi mempunyai aspek yang terbuka terhadap interpretasi yang berbeda-beda.

Di samping itu, telah diobservasi bahwa keanekaragaman ideologi itu didukung oleh karakter komunitas sastra yang merangkul ambiguitas dalam batas ideologi dan keanggotaannya. Ambiguitas ini membuat sarana komunitas sebagai peluang untuk menyiasati berbagai dimensi ideologi untuk tujuan yang berbeda.

Di sini, kolektivitas komunitas tampil sebagai sarana untuk
berpolitik secara personal, dalam artian setiap pelakunya selalu
mengidentifikasikan diri melalui relasi dengan komunitas ataupun
berbagai pihak lain.

Fokus kepada sifat politis di tingkat personal itu masih belum
dieksplorasi banyak dalam pembahasan ideologi komunitas sastra,
karena politik ideologi yang kaku di antara kelompok yang bermusuhan yang selama ini dirujuk dalam pembahasan ideologi komunitas sastra, seperti terlihat dalam konflik di antara kelompok Lekra dan non-Lekra pada zaman Orde Lama.

Tentu, hal itu juga suatu pola berpolitik komunitas sastra melalui
ideologi, namun zaman telah berubah dan paradigma pembahasan
ideologi pun mulai bergeser, sehingga sifat berpolitik kaku tersebut
bukan satu-satunya sumber penggunaan ideologi.

Maka, lingkup penyelidikian tentang sifat politis itu seharusnya
mulai bergeser dari sisi makro ke mikro-sosial, dengan memper- hatikan proses dan konteks pelaku sastra dalam mendapatkan identitas melalui ideologi yang terdapat secara relasional dengan berbagai pihak yang lain.

Secara singkat, tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa
istilah “komunitas sastra” adalah sebuah ideologi tersendiri, dengan
mengandung prasangka seperti komunitas memiliki solidaritas yang
monolitis dan statis. Padahal, komunitas sastra adalah entitas yang bisa merangkul solidaritas yang longgar oleh beragam individu, yang keanekaragaman dimensinya akan memperbanyak sudut pembahasan dan memperkaya wacana ideologi sastra ke berbagai arah.

Begitulah harapan tulisan ini terhadap perkembangan pembahasan
tentang ideologi komunitas sastra ke masa depan. Semoga kita bisa membuat pembahasan ideologi sebagai hal yang lebih nyata, lebih komunikatif dan lebih dekat dengan persoalan kehidupan kita sehari-hari. ( )

Sumber : Republika, 16 Maret 2008

sastra dan budaya

jejak shoeharto dalam sastra indonesia

Karya sastra Indonesia modern, bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, cenderung mengarah pada perlawanan. Resistensi pada kekuasaan menjadi wacana dari waktu ke waktu. Sementara fungsi media massa sebagai kontrol sosial dan politik jadi melemah karena ditempel secara ketat oleh penguasa. Pada kondisi inilah sastra yang bernaung di bawah konvensi fiksi menemukan dunianya dalam membangun perlawanan terselubung.

Sebagai presiden, Soeharto adalah figur penting di era Orde Baru. Pribadi Soeharto, gaya kepemimpinan, serta karakter birokrasi negara yang dipimpinnya menjadi fenomena yang khas. Soeharto akhirnya menjadi sumber inspirasi penciptaan sastra yang tak habis-habisnya dieksplorasi dan dieksploitasi. Sastra yang mengangkat tema kritik sosial politik, baik secara langsung maupun tak langsung, begitu banyak yang mengarah ke Soeharto, baik secara pribadi maupun birokrasi. Interpretasi sosiologis menemukan rujukan signifikan antara simbolisasi sastra dan kenyataan.

Dalam dunia cerita pendek Indonesia, khususnya antara tahun 1990-2000, sangat banyak karya yang mengarah pada simbolisasi Soeharto. Sebagian besar pengarang pada tahun-tahun itu, dari YB Mangunwijaya hingga Joni Ariadinata, pernah menjadikan Soeharto sebagai sumber inspirasi. Aspek ke-Soeharto-an dalam cerita pendek dapat dilacak secara timbal balik dari unsur penokohan seperti penggunaan nama, penampilan fisik, sifat moral dan psikologis beserta citranya, penggunaan istilah serta plesetan; sistem pengendalian kekuasaan, keterlibatan dalam korupsi, kolusi, nepotisme, hingga peristiwa tuntutan dan mundurnya Soeharto.

Pada tahun-tahun tersebut dominasi tema kritik sosial politik menjadi sangat kuat. Hukum aksi-reaksi dapat menerangkan hal ini. Ketika aksi politik dan kekuasaan semakin menekan, reaksi sastra pun semakin menampakkan perlawanan. Hukum kekekalan energi dalam fisika dapat pula menganalogikan hal ini. Energi tak dapat dimusnahkan, tetapi dia hanya akan berubah bentuknya. Energi perlawanan terhadap cengkeraman politik dan kekuasaan tak akan musnah, tetapi dia akan menjelma menjadi karya sastra.

Ketika Soeharto masih berkuasa, simbolisasi terhadapnya masih menjadi pertimbangan penting bagi pengarang. Artinya, keberadaan Soeharto berusaha disamarkan sedemikian rupa dalam wadah politik sastra. Meski sasaran tembaknya jelas, perhitungan estetiknya dipertimbangkan benar oleh pengarang. Cerpen Menembak Banteng (F. Rahardi, 1993), Bapak Presiden Yang Terhormat (Agus Noor, 1993), Paman Gober (Seno Gumira Ajidarma, 1996), Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil, 1996) adalah contoh cerita pendek yang ditulis ketika Soeharto masih sangat kuat. Sedangkan karya-karya yang ditulis menjelang dan sesudah Soeharto jatuh, simbolisasinya semakin jelas dan berani.

Jejak Soeharto dalam cerita pendek Indonesia memang nyata. Dari rentang waktu sepuluh tahun sebelum dan sesudah kejatuhannya, dia menjadi sasaran kritik yang memesona. Sekian banyak pengarang mengaku pernah menjadikan Soeharto sebagai sumber inspirasi mereka. Mereka menyebut Soeharto dengan berbagai cara.

Dalam cerpen Saran ’Groot Majoor’ Prakosa (karya YB Mangunwijaya) yang mengisahkan gerakan massa saat reformasi, nama Soeharto disebut secara langsung. Pada cerpen-cerpen Agus Noor: Senotaphium, Bapak Presiden Yang Terhormat, Dilarang Bermimpi Jadi Presiden, dan Celeng, nama Soeharto disebut sebagai “Papa Hartanaga”, “Bapak Presiden”, “Presiden”, dan “makhluk jadi-jadian yang bermukim di Jalan Cendana”. Aprinus Salam dalam cerpen Pemilihan Kades menyebut “Ir. Suhartono” untuk Soeharto. Sedangkan cerpen Puteri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Joni Ariadinata) dan Situs (Gus Tf Sakai), Soeharto disebut sebagai “Tuan Presiden” dan “Presiden”. Ada sebutan “Bapak Kepala Desa” dalam cerpen Bukan Titisan Semar karya Bonari Nabonenar.

Di samping menyebut nama yang mirip dan jabatannya, ada pula nama yang benar-benar berbeda dengan Soeharto. Tetapi, deskripsi cerpen tersebut sangat jelas mengarah kepadanya. Tokoh “Paman Gober” dalam cerpen yang berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma, dideskripsikan sebagai “Milyarder No.1″, “umurnya sudah cukup uzur. Untuk kuburannya sendiri ia sudah membeli sebuah bukit dan membangun mausoleum”, “sering muncul di televisi”, “kamera tak berani putus”, “Apa mungkin aku menolak untuk dicalonkan?”, “Apakah pemimpin itu memang bisa diganti”, “punya buku autobiografi”, dan masih banyak lagi deskripsi yang mengarah ke Soeharto.

Soeharto juga dinamai sebagai tokoh “Jenderal Purnawirawan Basudewo” dalam cerpen Menembak Banteng (F. Rahardi), “Kaki Druhun” dalam Kaki Druhun (Bonari), “Pak Rambo” dalam Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil), “Paman Saddam di kampung kami” dalam Paman Saddam, (Yudhistira ANM Massardi), “Pak Mulawarman” dalam Orang Besar (Jujur Prananto), “Abilawa” dalam Masuklah ke Telingaku, Ayah (Triyanto Triwikromo), “Maharaja Rahwana” dalam Gadis Kecil dan Mahkota Raja (Sunaryono Basuki Ks), serta “Jawad” dalam Monolog Kesunyian (Indra Tranggono).

Simbolisasi penokohan Soeharto dalam cerpen Indonesia, selain dari nama dan jabatan, dapat pula dilihat dari penampilan fisik. Yang paling kasat mata terlihat pada ilustrasi cerpen yang berfungsi sebagai pendamping teks saat dimuat media. Sosok Soeharto sebagai ilustrasi cerpen terdapat pada Senotaphium (Jawa Pos), Saran ’Groot Majoor’ Prakosa (Kompas), dan Puteri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Sastra).

Sementara ciri fisik Soeharto dengan senyumnya yang khas serta kondisi fisiknya yang tua juga dideskripsikan dalam cerpen Bapak Presiden Yang Terhormat, Tembok Pak Rambo, Senotaphium, Gadis Kecil dan Mahkota Raja, Situs, Paman Gober, Bukan Titisan Semar, serta Masuklah ke Telingaku, Ayah. Beberapa di antara cerpen di atas juga mendeskripsikan makam keluarga Soeharto di Astana Giri Bangun, rumahnya di Jalan Cendana, dan desa kelahirannya Argo Mulyo.

Simbolisasi Soeharto dari sifat moral dan psikologis mengarah pada dua motivasi, yaitu motivasi kekuasaan dan motivasi ekonomi. Motivasi kekuasaan diperlihatkan dengan berbagai dorongan pada diri tokoh untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, termasuk akibat-akibat yang dimunculkan dari hilangnya kekuasaan. Motivasi tersebut mendorong tokoh-tokoh yang ada berwatak keras, kejam, dan culas.

“Menolak permintaan Pak Rambo pula sama artinya membenturkan muka ke tembok sampai hancur. Bagaimana tidak, Pak Rambo bukan orang kecil,” begitulah cuplikan dari Tembok Pak Rambo.

Cerpen-cerpen yang telah disebut di atas juga menujukkan motivasi ini, termasuk tiga cerpen karya Seno Gumira: Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, Grhhh, serta Menari di Atas Mayat karya Indra Tranggono.

Motivasi ekonomis adalah dorongan untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Tokoh yang menduduki jabatan penting ini mempergunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan ekonomis dengan cara melaksanakan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam jajaran birokrasi. Motivasi ekonomis juga membuat para tokohnya berwatak keras seperti diperlihatkan dalam cerpen Paman Gober, Situs, Tembok Pak Rambo, atau Senotaphium. Tak heran jika para tokoh ini dilukiskan sebagai pribadi yang kaya raya seperti digambarkan dalam Situs: “Tak heran bila penguasa tertinggi-presiden yang sehari-harinya lebih berlaku serupa raja adalah pengusaha yang sangat sukses bersama keluarga, sanak, dan segenap familinya.”

Tokoh-tokoh yang mengambil sumber inspirasi keberadaan Soeharto umumnya berwatak statis atau hitam putih, yakni keras, kejam, dan culas.. Model karakter demikian dipakai oleh pengarang untuk mempertajam kritik dan pesan cerita. Cerpen-cerpen yang telah disebut di atas memperlihatkan watak yang demikian, baik yang bermotif kekuasaan maupun ekonomis. Para tokoh ini sangat stereotipe, baik secara pribadi maupun kolektif. Cerpen Diam karya Moes Loindong dan Negeri Angin karya M. Fudoli Zaini adalah contoh yang menunjuk ke tokoh kolektif dan stereotipe.

Tokoh utama sebagai protagonis memegang peran terpenting dalam cerita. Tokoh yang mengambil inspirasi dari Soeharto umumnya menampilkan tokoh protagonis secara tunggal yang sebagian namanya juga dijadikan judul cerpen. Tokoh ini digerakkan oleh pengarang dari berbagai segi sesuai dengan persoalan yang mengarah pada keberadaan Soeharto. Seorang tokoh utama dikepung oleh massa dan pengarang memberi karakter tokoh ini lewat reaksi tokoh-tokoh lain dan deskripsi dari pengarang. Meski berkedudukan sebagai protagonis, tokoh-tokoh yang menyimbolkan Soeharto umumnya berwatak buruk. Konvensi hero yang berlaku untuk tokoh protagonis dalam cerita-cerita tradisional ternyata tidak berlaku di sini. Protoganis yang menyimbolkan Soeharto dapat diibaratkan seperti binatang buas yang dilempari, dikejar-kejar, dan diteriaki kata-kata kotor oleh massa.

Sementara itu tokoh-tokoh pecundang atau antagonis yang mengarah ke Soeharto juga ditampilkan berwatak dan berperilaku buruk seperti tokoh Pak Rambo, Pak Mulawarman, dan Celeng. Tokoh antagonis yang lain ada yang ditampilkan sebagai aktor di balik layar atau dalang yang menyebabkan tokoh lain bergerak seperti halnya dalam Penembakan Misterius-nya Seno Gumira.

Peristiwa-peristiwa dalam cerpen memiliki kaitan dengan kehidupan nyata. Meski dalam teori hermeneutik ditekankan adanya otonomi teks dan keinginan untuk melepsakan diri dari konteks sosial tertentu, model seperti ini hampir tidak mungkin diterapkan sepenuhnya karena baik teks maupun interpretator merupakan produk sosial. Simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen akan dicari referensinya dalam peristiwa, pengalaman, dan kehidupan nyata. Cerpen yang mengambil sumber inspirasi dari keberadaan Soeharto, seperti teori Umar Junus, dapat bersifat melaporkan peristiwa, menghubungkan peristiwa, memfiktifkan peristiwa, mereaksi peristiwa, serta menyublimasi peristiwa. Sebuah cerita pendek ada kemungkinan bagian-bagiannya dapat mewakili hal-hal tersebut.

Aspek-aspek sosiologis yang menunjukkan adanya hubungan antara isi cerita pendek dengan keadaan nyata di Indonersia umumnya berkaitan dengan masalah sosial politik yang bermuara ke sepak terjang Soeharto. Aspek-aspek sosiologis yang menonjol berkaitan dengan strategi Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan, keterlibatan Soeharto dalam masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatan serta pengunduran diri Soeharto sangat mudah kita temui di sekitar masa reformasi. Gejolak emosi pengarang saat itu memang memuncak sehingga terjadi ledakan ekspresi. Karya-karya dengan tema protes sosial politik jadi membanjir, bahkan harian Republika menyediakan kolom khusus untuk sajak-sajak reformasi.

Apa pun yang terjadi, sastra adalah saksi zaman. Soeharto adalah bagian dari perjalanan zaman. Rekaman peristiwa dalam sastra, seperti halnya sejarah, agar kita sebagai pembaca dapat berbuat lebih arif. Sastra memang bukan sekadar refleksi, tapi lebih dari itu sastra diharapkan dapat memberikan katarsis atau pencucian bagi jiwa. Soeharto adalah model simbolik, pembaca yang lain mungkin punya penafsiran berbeda. Tetapi, sebagai rekaman jejak manusia, sastra akan tetap relevan dengan kehidupan. Soeharto telah menjadi sumber inspirasi yang subur bagi perjalanan sastra Indonesia. Untuk itu, secara pribadi, saya telah memaafkan Soeharto. (*)


M. Shoim Anwar
, editor buku Soeharto dalam Cerpen Indonesia
Sumber : Jawa Pos, 27 Jan 2008

sastra dan budaya

perjalan hidup manusia lewat pantun

Pemantun asal Bali tampil membawakan Upacara Nelu Bulanin pada Festival Pantun Nusantara 2007 di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (9/12). Nelu Bulanin merupakan tradisi memberi nama bayi di Bali.

Kematian dan kelahiran telah menjadi siklus kehidupan manusia. Jika kematian dihadapi dengan isak tangis kehilangan orang kita cintai, maka kelahiran disambut dengan wajah bahagia. Itulah kehidupan. Emosi, hanyalah ekspresi, mungkin memang tidak perlu dilebih-lebihkan.

Pesan inilah yang ingin disampaikan sutradara panggung, Nano Riantiarno dalam acara Festival Pantun Nusantara yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, baru-baru ini. Nano mengatakan, lewat kesenian pantun, dia mencoba merangkai siklus kehidupan yakni kematian dan kelahiran. Dua hal yang menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.

Kematian, lanjut Nano, menjadi hal yang sangat menakutkan bagi manusia. Tidak heran, air mata kesedihan selalu mewarnai momen ini. Sementara, kelahiran selalu dihujani dengan perasaan bahagia. Bagaimana pun, takdir ini selalu mendampingi kehidupan manusia, dan tidak bisa dihindari.

Menurut Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Depbudpar), Mukhlis Paeni menjelaskan, Festival Pantun Nusantara merupakan agenda Depbudpar yang mencoba memperlihatkan pada masyarakat perjalanan hidup manusia mulai dari lahir hingga kematian melalui pantun.

Masyarakat, ujar Mukhlis, dapat melihat fase kehidupan manusia. Terutama kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak nilai budaya dan tradisi. Setiap fase kehidupannya berdampingan dengan adat istiadat.

“Inilah perjalanan hidup manusia, lahir dan mati. Pada dasarnya tiap fase kehidupan manusia selalu di- penuhi dengan ritual-ritual. Terutama masyarakat Indonesia, yang memiliki begitu banyak tradisi dan adat istiadat sepanjang kehidupannya. Ritual maupun adat istiadat yang mendampingi perjalanan kehidupan manusia pun bukan tanpa maksud. Selalu ada pesan dan harapan yang mengikutinya,” tutur Mukhlis.

Pesan ini terlihat dari rangkaian pantun yang dipersembahkan oleh 12 komunitas yang berasal dari 10 daerah di seluruh Nusantara, antara lain Jakarta, Aceh, Bali, Palembang, Kalimantan, Kepulauan Riau, Riau, dan Ambon.

Festival diawali Kajang dengan nyanyian dan suling yang dikenal dengan Basing. Sayup-sayup, Basing mengantar penonton dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi. Syairnya merupakan ungkapan kebaikan dan jasa almarhum semasa hidupnya, serta harapan agar yang meninggalkan mendapat tempat layak di hadapan sang pencipta. Nyanyiannya juga merupakan ekspresi ratapan dari keluarga yang ditinggalkan.

Tak lama kemudian, kebahagiaan digambarkan lewat kelahiran seorang anak manusia. Pada festival itu, Bali mempersembahkan pantun bertajuk Upacara Nelu Bulanin, merupakan upacara saat bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Tradisi ini lekat dengan budaya masyarakat Bali dan bernapaskan Hindu.

Pesta Perkawinan

Sementara, Kuantan Riau mempersembahkan Kayat, yakni tradisi lisan non-naratif yang dibawakan dua pemain gendang dan seorang pemain biola. Kemudian, Riau melanjutkan acara dengan prosesi lamaran lewat Pantun Meminang. Sebagai bagian dari adat perkawinan Melayu, meminang merupakan acara ketiga dari enam proses perkawinan.

Siklus kehidupan manusia tidak berhenti, masih ada fase berikut seperti yang diperlihatkan Gayo lewat ratapan anak dara meninggalkan rumah. Sebuku Gayo yang dipentaskan komunitas dari Aceh ini merupakan seni meratap yang diungkapkan secara puitis disertai tangisan. Sebuku Gayo merupakan tradisi dalam pesta perkawinan masyarakat Gayo. Pengantin wanita yang akan meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi bersama suami akan bersebuku. Dalam bersebuku itulah, ungkapan sedih pengantin disampaikan. Sementara, ritual pengantin Jawa dipentaskan lewat Kacar Kucur dari daerah Jawa sebagai rangkaian dari bagian kehidupan manusia.

Dilanjutkan dengan memberi gelar pada sang pengantin yang telah menikah secara tradisional sebagai adat dari daerah Minang yang disampaikan lewat Malake-an Gala. Selanjutnya, pasangan yang menikah dan dikaruniai seorang anak dipertunjukkan lewat Menenggung Bayi dari Palembang. Nenggung atau nyanyian berupa pantun ditujukan untuk menidurkan anak yang mengalami susah tidur.

Kenyataannya, perjalanan kehidupan manusia tidak selalu berjalan mulus. Terutama ketika manusia berumah tangga. Kendala yang muncul dapat mempererat hubungan dua manusia, dapat pula meretakkan. Lewat Jantuk, penonton disajikan parodi teater Betawi, cerita yang mengandung nasehat perkawinan.

Kaganti atau nyanyian rakyat dalam masyarakat Wakatobi dipentaskan oleh Buton, dilanjutkan dengan Pantun Upacara Panas Pela dari Ambon. Panas Pela merupakan pantun perdamaian yang berisi nasihat-nasihat untuk hidup rukun, tenteram, dan berdamai dalam suatu perbedaan.

Festival Pantun Nusantara 2007 ditutup dengan Ritual Belian Sentiu dari Kutai Barat. Ritual pengobatan ini dikenal dalam masyarakat suku Benuaq atau suku Bahao dan ditujukan sebagai mantera permohonan pada kekuatan gaib. Pantun ini disuarakan oleh seseorang saat menari atau selesai menari.

Festival yang dapat membuka mata masyarakat tentang budaya Nusantara ini sepi penonton. Entah karena kurang promosi atau pertunjukannya memang kurang menarik, tetapi 472 kursi yang disediakan untuk penonton di ruang pertunjukan hanya terisi kurang dari 200 orang.

“Rencananya festival ini akan diadakan tiap tahun, tapi kami lihat dulu nilai pendidikan dan ekonominya. Kalau pun pertunjukan ini sepi penonton, ini baru langkah awal, mungkin gaungnya belum sampai. Tapi kita coba lihat positifnya, seniman tradisi ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat, mereka mendapat tempat untuk berekspresi, dan harapan kami agar mereka mau terus melestarikan seni pantun,