Jumat, 02 Mei 2008

ruang kosong puisi sutardji

Melalui karya-karyanya, ia semakin intens ”menyuarakan” lingkungan sekitar, dibandingkan saat-saat awal ia berkarya di dunia sastra.

Veby Mega Indah
veby@jurnas.com

Dikelilingi para sahabat sesama seniman Taman Ismail Marzuki (TIM) dari era 70-an, Sutardji Calzoum Bachri menceritakan pemahaman kritis pribadinya akan negeri ini. Ia menjelaskan bagaimana sosoknya yang kini semakin relijius, justru mendorongnya lebih berperan kritis mengupas masalah sosial negeri ini.

Latar belakang kebudayaan Melayu, membuat Sutradji selalu mengembalikan segala sesuatu yang ia cermati dan rasakan pada perspektif metafisis. Namun, di balik pengertian itu ia semakin tak bisa menahan diri untuk tidak ”berteriak” melihat situasi sekelilingnya. Ia berpuisi bagaikan menyampaikan berbagai pertanda sosial, yang seharusnya dicermati para politikus negeri ini.

Berikut petikan wawancaranya.

Apa pernah keberatan dijuluki presiden penyair?

Presiden penyair…(Sutardji terkekeh). Julukan itu mulanya hanya guyon-guyonan kita saja di tahun 70-an dulu di sini (Taman Ismail Marzuki). Orang Indonesia ini kan senang benar menjuluki orang. Chairil Anwar ada julukannya, Amir Hamzah juga. Mereka yang hidup di zaman feodalis, biarlah julukan raja saja. HB Jassin julukannya Paus Sastra Indonesia. Kalau saya ini yang hidup di masa sekarang, biarlah julukannya presiden saja.

Kejadiannya, saya lagi mabuk saat itu. Saya bangun lalu teriak: Aku ini presiden puisi Indonesia! Ungkapan itu tahunya dipakai orang, terngiang-ngiang terus sampai sekarang. Entah maksudnya buat guyon entah serius. Terserah saja. Tapi yang namanya penyair-penyair tahun 70-an dulu kalau tampil pasti ada ucapan-ucapan gila seperti itu. Salah satunya, ya, presiden penyair itulah. Kalau ditanya saya ini presiden penyair, tapi republiknya mana, rakyatnya mana? Republik dan rakyatnya hati nurani sajalah.


Bagaimana situasi yang anda alami sebagai penyair muda di tahun 70-an?

Di tahun 70 itu banyak sajak-sajak, puisi, novel yang orang bilang sajak lokalisasi, sastra kembali ke daerah. Nah, sebenarnya itu pertanda, sinyal bagi orang-orang di luar sastra mengambil hikmah dari itu. Mengambil hikmah untuk membenahi negara dari sistem politiknya. Tapi tak ada yang melakukannya! Dibiarkan saja pertanda itu berlalu. Coba kalau yang namanya otonomi daerah itu dimulai dari situ. Kenapa baru sekarang setelah reformasi baru ada otonomi daerah. Jadi apa yang kelihatan sekarang, otonomi daerah ada bukan karena adanya tekanan kultural. Tapi selalu saja nampaknya oleh tekanan politik barulah ada politik bergerak.

Jadi selalu terlihat satu dimensi. Seharusnya apa-apa yang jadi tindakan politik itu harus ada landasan kulturalnya. Coba kayak waktu perjuangan Indonesia mau berdiri dulu. Ada landasan kulturalnya, ada misi kultural untuk menjadikan kita satu. Biarlah ada Jawa ada Sunda ada apalah tapi biarlah kita jadikan satu.

Coba perhatikan, kalau sajak yang di tahun 70-an itu pertanda kembalinya kedaerahan. Kalau Chairil Anwar itu tidak. Dia itu sajaknya universal, humanisme yang universal. Itu pertanda juga, hasil persatuan Indonesia. Suatu yang universal persatuan itu. Maka jadilah “aku ini binatang jalang.” Dan macam-macam lah. Dia itu (Chairil Anwar) tak ada kedaerahannya sama sekali. Dia (orang) Padang pun tak ada Padangnya sama sekali sajaknya.

Maksud ”Indonesia sebenarnya berdiri atas landasan kultural”?

Nah itu tadi, waktu Sumpah Pemuda itu diucapkan apa landasannya? Tak ada! Sumpah Pemuda itu mimpi saja, mimpi para pemuda saat itu yang ingin melihat negara ini bersatu. Satu bangsa, bangsa Indonesia. Bangsa mana yang namanya Indonesia saat itu? Tak ada. Yang ada baru juga Hindia Belanda! Satu bahasa, bahasa Indonesia. Mana ada bahasa persatuan Indonesia waktu itu. Waktu itu masih Melayu bahkan Belanda yang digunakan orang. Tapi atas dasar mimpi itu bangsa ini bisa berdiri. Sama saja seperti Tuhan waktu mau menciptakan dunia ini. Dia ada merindu yang kuat, ingin dikenal. Dalam kerinduan-Nya, Ia ingin menciptakan dunia ini dengan kata-kata. Ia berfirman: Kun Faya Kun! Barulah jadi dunia ini, bagian dari mimpinya Tuhan.

Kita ini manusia, juga bagian dari mimpinya Tuhan. Karena kita ini bagian mimpinya Tuhan maka tak kayak binatang, bolehlah kita bermimpi lagi. Kita pun menciptakan mimpi dengan kata-kata. Tuhan membuat mimpi lewat firman, begitu juga penyair. Dia (Tuhan) bilang ke para penyair itu: Hati-hati! Kau sudah jadikan apa yang tak kau kerjakan. Itulah hakekatnya puisi. Kau mencari hakekat puisi itu janganlah ke kubu barat. Semuanyalah ada di sini! Penyair itu menciptakan puisi tapi bukan buat merealisasikannya. Sudah mencipta, sudah. Sama seperti Tuhan. Ia mencipta dunia ini tapi realisasinya kaulah yang buat!

Kau bikin jadi berkelahi, kau bunuh orang, kau jadi kaya, silakan kau buat di dunia ini. Seperti itulah juga penyair. Ia menciptakan kata-katanya tapi yang merealisasikan kata-kata itu di dunia baiklah orang-orang lain. Seperti para pemuda yang membuat sajak Sumpah Pemuda itu. Baiklah mimpi itu ada Soekarno, Hatta atau Yamin yang merealisasikannya. Jadilah bangsa ini.

Mengapa landasan kultural yang demikian lebih sulit direalisasikan daripada di awal perjuangan dulu?

Dulu itu para pemuda yang membuat sajak Sumpah Pemuda itu sebagian besar juga aktivis. Jadi kata-kata apa yang mereka buat cepat pula ditanggapi ada. Sedangkan di tahun 70-an, yang bicara tentang otonomi daerah itu para penyair semua. Kepentingan kami pada lingkup estetika, selesai sudah. Tapi sayangnya tak ada ventilasi politiknya. Tak ada yang merealisasikannya.

Saat orang ribut soal otonomi daerah, kami para seniman ini bilang: itu sudah kami ucapkan 30 tahun yang lalu! Tapi dulu jawabannya tak mau, tak mau. Karena kita ini sudah jadi bangsa yang pikirannya pada politik dulu, ekonomi dulu. Jangan harapkan yang merealisasikan kata-kata ini jadi bagiannya penyair juga. Itulah tugas mereka.

Bukankah pemerintah dari dulu sudah sering mengapresiasi seni puisi?

Belum, belum lengkap apresiasinya itu. Kalau zaman Orde Baru dulu pemerintah juga sering adakan lomba baca puisi di Monas. Ada menteri yang baca itu, ada pejabat yang baca itu. Bahkan ada juga baca Tanah Air Mata. Terima kasih, Pak, saya bilang. Terima kasih sudah diniatkan. Tapi puisi itu jika tak dimasukkan dalam hati tak akan mengakar. Janganlah kita membaca satu fenomena yang nampak di depan kita begitu saja. Ada kaitannya dengan nilai-nilai lain.

Seperti Kennedy bilang: jika politik bengkok biarlah puisi yang meluruskannya. Lihatlah ketika Sumpah Pemuda itu realisasinya mulai bengkok, maka puisi juga yang berusaha meluruskannya. Sumpah Pemuda tentang persatuan itu tak salah tapi realisasinya yang bengkok. Persatuan saat itu terlalu ketat, maka timbul kedaerahan dalam sastra 70-an. Politik saat itu telalu homogen, coba diluruskan puisi yang heterogen, dengan munculnya heterogen itu. Politikus yang bengkok yang bisa diluruskan adalah mereka yang berhatinurani. Tapi kadang ada juga politikusnya bengkok, puisinya juga ikut-ikutan bengkok. Namanya juga manusia… (Sutardji tertawa).

Bagaimana dengan puisi yang banyak digunakan untuk kepentingan lain?

Memang pusi itu kayak pisau, kayak pistol. Jangan salahkan pisaunya. Jaga pisau itu jika menghasilkan yang baik. Di tangan tukang daging pisau ini membawa berkah buat dia dan keluarganya. Tapi di tangan penjahat lain lagi. Ada sajak Kerawang Bekasi itu: Sekali berarti sudah itu mati. Itu dipakai buat pejuang di perang Kerawang-Bekasi waktu itu. Tapi coba misalnya ada perampok yang pakai sajak itu. Dia masuk ke bank, sekali berarti setelah itu mati. Biarlah mati ditembak polisi. Lain pula arti sajak itu. Jadi puisi itu netral. Dia selalu memberikan ruang bagi keluhuran.

Jadi jangan minta penyair untuk merealisasikannya. Itulah hakekat puisi, ada ruang kosong di antara yang diciptakan untuk direalisasikan. Puisi itu juga berbahaya kecuali diapresiasi dengan iman. Apa pengertian iman secara sekuler? Iman itu ideologi, pengertian yang benar.

Setuju jika dikatakan seorang Sutardji kini lebih relijius sampai-sampai tak minum bir lagi?

Ya, itu terserah interprestasi masing-masing orang lah. Kalau Belanda bagi kita kolonial tapi bagi Swedia, Belgia, Belanda itu bawahan. Soal kenapa saya tak minum bir lagi sebelum naik panggung, memang ada juga pengaruh soal relijius.

Tapi pada intinya sekarang saya tak merasa perlu lagi minum bir sebelum naik panggung maka saya tak minum lagi. Dari dulu saya sudah relijius, sekarang juga. Dulu saya perlu minum pun untuk totalitas saja. Saat performance, penampilan itu harus berada di batas akal. Dulu saya perlu minum bir, sekarang tidak lagi, karena memang tak perlu. Tak bisa ditanya kenapa, karena itu pertanyaan untuk akal. Tapi masalah performance sudah dibatas akal sehat.

Inner saja, semuanya memang harus ada. Jangan lakukan yang artificial karena pasti akan ketahuan. Saya minum bir saat itu karena memang harus dilakukan. Bukan akting, bukan pura-pura. Jadi seniman itu jangan mempermalukan diri dengan berpura-pura. Jangan melakukan sesuatu untuk tujuan yang lain. Kalau sesuatu memang harus ada lakukan saja jangan dibuat-buat. Memalukan diri sendiri.

Sumber : harian Jurnal Nasional, Juli 2007

raksasa sastra china abad 20

Gao Xingjian, Novelis China, penerjemah, penggiat teater, sutradara, kritikus dan aktor, ini memenangkan Nobel Sastra pada 2000. Teaternya memadukan berbagai
unsur drama topeng klasik China dengan pola teater Barat modern yang banyak dipengaruhi Artaud, Brecht dan Beckett. Kariernya sebagai penulis mengalami hambatan di China ketika ia memanggungkan pementasan berlatarbelakang pembunuhan demonstran di Tiananmen.
Sejak 1980-an, Gao Xingjian pindah dan tinggal sekaligus menjadi warganegara Prancis. Ia menguasai bahasa Prancis dan China.

Gao Xingjian lahir pada 1940 di Ganzhou (provinsi Jiangxi) di China Timur. Ayahnya seorang pegawai bank dan ibunya seorang aktris amatir, anggota YMCA; kelompok teater yang pernah berjaya sebelum Revolusi Kebudayaan oleh Komunisme China. Ibunya seorang pembaca sastra Barat. Gao Xingjian mempelajari sastra di Institut Bahasa Asing Beijing antara tahun 1957-1962, dan lulus dari Fakultas Sastra Prancis.

Pada awal 1960-an, Ibu Gao dikirim ke pertanian di pedesaan dan mengalami kecelakaan, sementara Gao mengadakan perlawanan atas perbudakan terhadap petani. Selama Revolusi Kebudayaan (1966-76), Gao dikirim ke kamp pendidikan ideologi komunisme. Tapi ia justru
mulai menulis untuk dirinya sendiri. Namun ia kemudian ketakutan, karena tulisan-tulisannya pernah dirampas dan dibakar. Di antaranya beberapa novel, naskah teater, artikel kesenian, dan catatan pengalamannya selama 6 tahun sebagai buruh paksa di kamp pertanian partai.

Setelah mengikuti pendidikan di sekolah kader partai, Gao Xingjian boleh bekerja sebagai seorang penerjemah di Asosiasi Penulis China. Ia dipercaya menjadi kepala bidang teater di Gedung Teater Masyarakat Beijing, dan berkesempatan menerbitkan sebuah noveletnya pada 1978.
Ia juga berkesempatan melakukan perjalanan ke luar negeri pada 1979 dengan mengunjungi Prancis dan Italia.

Di antara tahun 1980-1987 Gao Xingjian menghasilkan beberapa cerita pendek, esai dan naskah teater. Penerbitan A Preliminary Discussion of the Art of Modern Fiction (1981) menimbulkan debat tentang “polusi spiritual” dan membuat Gao berada dalam pengawasan partai. Disusul penerbitan Bus Stop (1983) yang ditulisnya dengan gaya Waiting for Godot-nya Beckett.

Ini sebuah satire yang mengisahkan sekelompok orang yang menunggu bus yang tepat selama sepuluh tahun. Pertunjukan ini dikomentari sebagai “karya terjahat sejak berkuasanya Republik Rakyat” dan disalahkan oleh para pengurus partai. Pada 1986 pertunjukannya The Other Shore dilarang untuk dipertunjukkan di Taiwan dan Hong Kong. Tahun berikutnya Gao Xingjian mengikuti perjalanan ke luar negeri sebagai seorang pelukis. Ia meninggalkan China sebagai seorang penulis yang dilarang dan tinggal di Paris, di mana ia melanjutkan menulis dalam bahasa China dan Prancis.

Setelah pembunuhan para demonstran di Lapangan Perdamaian pada 1989 Gao Xingjian sudah meninggalkan Partai Komunis China. Ketika publikasinya dianggap berlawanan dengan gerakan pelajar dan mahasiswa, ia kemudian menutup pintu kepada negerinya. Ia mengangkat persoalan pembantaian demonstran ke dalam naskah panggung di pembuangan, yang secara orisinal
dihasilkannya di Los Angeles, tapi kemudian dilarang.
Ketika pertunjukannya ditampilkan di Jerman, seting
kisah diubah dari lapangan Tiananmen ke lingkungan
Jerman di masa pemerintahan Nazi.

Novelnya yang sarat refleksi dan menyampaikan kisah secara impresionistik, The Soul Mountain, diselesaikan pada 1989, menggambarkan perjalanan tokoh cerita selama 10 tahun menyusuri tepian Sungai Yangtze. Perjalanan sesungguhnya berlangsung lima bulan, sebagai periode krisis Gao yang mengalami salah diagnosa tentang penyakit kanker yang menyerangnya pada 1982. Kanker yang sama membunuh ayahnya, dan setahun berikutnya Partai Komunis mengritik karya Gao Xingjian sebagai ”polusi spiritual”.

Di dalam karya-karyanya Gao Xingjian menggunakan beragam gaya, teknik, dan bermacam narator. ”Kau tahu saya hanya bicara kepada diriku sendiri tentang kesendirianku. Kau tahu bahwa kesendirianku tak tersembuhkan, tak seorang pun dapat menyelematkanku dan aku hanya dapat berbicara dengan diri sendiri dalam percakapan.”

Pada kisah lain, si narator mengkritsi si pengarang dan berkata: “Kau mencatat semua perjalananmu, perbincangan bertele-tele tentang moral, perasaan-perasaan, catatan-catatan, dalam perbincangan tidak sistematis, seperti fabel-fabel, salinan atau tiruan nyanyian rakyat, ditambah beberapa legenda omong kosong tentang diri sendiri, yang kemudian disebut sebagai karya fiksi!”

Soul Mountain adalah catatan perjalanan yang mengisahkan kehidupan orisinal dan khas di desa-desa. Sebuah cerita tentang sepucuk surat cinta, potongan
folklor dan sejarah. Salah satu yang jadi pusat tema adalah ketika karya Gao menjadi semacam kisah skeptis terhadap absolutisme. ”Oh sejarah oh sejarah oh sejarah/ Hanya sejarahlah yang dapat dibaca dengan berbagai cara, sebagai sebuah/penemuan besar!”

Setelah menyimpulkan isi dan makna Soul Mountain, Gao Xingjian menulis sebuah cerita pendek yang menggambarkan konsepnya tentang sastra “memperjuangkan massa” dan mengatakan “sastra tidak terlibat dengan dunia politik, tapi semata-mata bertanggung jawab pada
kehidupan individual.” Gao Xingjian ingin membebaskan karya sastra sebagai ekspresi yang menyoroti kehidupan sosial, sebagai karya sastra yang baik, yang memperlihatkan pencarian, spritualisasi karakter, “sastra yang dingin”.

Sebagai seorang seniman multitalen, Gao Xingjian membuat sendiri cover bukunya dan ia memiliki tiga puluhan lukisan cat air yang sudah dipamerkannya di dunia internasional. Ia juga sudah menerjemahkan karya-karya sastra Barat ke bahasa China, di antaranya karya-karya Beckett, Ionesco, Artaud dan Brecht. Beberapa penghargaan sudah ia terima, di antaranya
Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari Pemerintah Prancis pada 1992, Prix Cimmunaute
francaise de Belgique 1994, dan Pris du Nouvel An chinois 1997. Dan sebelum ia memperoleh Nobel Sastra, Gao telah dikenal luas sebagai seorang penggiat teater ketimbang penulis.

Setelah panitia Nobel mengumumkan kemenangannya, kementerian luar negeri China mengomentari penghargaan itu tidak layak dibanggakan dan berbau manuver politik. Beberapa anggota partai bertanya-tanya bagaimana seorang penulis naskah teater dan pengarang bisa mendapatkan Nobel Sastra. Di Swedia, hadiah Gao diterimakan oleh Goran Malmqvist,
yang menerjemahkan naskah-naskah teater Gao dan juga memproduksinya di Stockholm. Malmqvist adalah seorang ahli China di Universitas Stockholm dan juga seorang anggota Akademi Nobel, yang ikut menyeleksi karya-karya pemenang Nobel.

Autobiografi Gao Xingjian One’s Man’s Bible terbit di Inggris pada 2000. Menggambarkan situasi sosial masyarakat China di bawah Revolusi Kebudayaan, melalui pengamatan seorang aktivis politik, tertuduh, dan pengamat dari luar arena.

Kutipan

Setelah pembunuhan para demonstran di Tiananmen pada 1989, Gao Xingjian meninggalkan Partai Komunis China dan kemudian menutup pintu kepada negerinya.

karena pujangga harus bersaksi

dia adalah penulis hebat, secara teoritis dan praktis. Akinda Oluwole Soyinka atau lebih dikenal dengan Wole Soyinka bisa menulis apa saja: puisi, cerita, dan drama. Wole juga seorang akademisi di bidang sastra. Gelar sastra Inggrisnya diterima dari Universitas Leeds, Inggris pada 1957. Setelah kembali ke kampung halamannya, Nigeria, dia menjadi profesor di Universitas Lagos dan Ife.

Tapi kematangan berkaryanya tidak didapatkan dari bangku kuliah atau podium sang guru besar. Ia justru mendapatkannya dari penjara. Wole memang memiliki peran penting dalam sejarah politik Nigeria yang selalu bergejolak. Saat perang saudara di Nigeria berkobar pada 1967, ia dibui karena menentang pemerintahan Jenderal Yakubu Gowon. Ia dituduh mengadu domba kedua belah pihak yang bertikai. Selama 22 bulan dalam penjara ia menulis sejumlah puisi yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Poems from Prison. Pengalamannya dalam penjara kemudian ia tuangkan dalam buku The Man Died: Prison Notes.

Selepas dari penjara pada 1969, saat perang saudara usai, Soyinka menghabiskan sebagian besar waktunya menyepi di pertanian salah seorang temannya di selatan Prancis. “Beberapa hari setelah bebas, saya merasa jengah dikelilingi orang. Bagi saya yang sekian bulan sendiri, adanya orang lain terasa terlalu ramai, saya harus pergi ke suatu tempat dan mengisolasi diri.” Di dalam pertapaannya itulah ia menciptakan mahakaryanya: The Bacchae of Euripides. Setelah menelurkan karya besar itu dia kembali ke kantornya di Headmaster of Cathedral of Drama di Ibadan dan membantu terbitnya jurnal sastra Black Orpheus.

Ia tidak hanya mengkritik pemerintahan Nigeria, tapi juga sejumlah rezim di Afrika, termasuk Robert Mugabe di Zimbabwe. Ketajaman pena dan lidahnya ini sempat membuat dirinya dalam bahaya, terutama semasa kediktatoran Jenderal Sani Abacha (1993-1998). Saat itu menjadi eksil secara sukarela dan mengajar di Amerika Serikat, tepatnya di Emory University di Atlanta. Saat sipil kembali berkuasa, dia kembali ke Nigeria dan bersedia mengajar di Ife asalkan seluruh perwira militer dihapus dari jajaran pengurus universitas.

Meski ia pada 1986 menjadi orang Afrika pertama setelah Albert Camus yang dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra, meski ia dianggap sebagai penulis drama dari Afrika yang paling bersinar, dunia lebih menghormatinya sebagai seorang peace maker, pencipta perdamaian dan penentang kediktatoran. “Saya tidak pernah memutuskan untuk menjadi penulis,” katanya suatu waktu. Ia hanya menjadikan hal itu sebagai cara terbaik untuk menyampaikan pesannya.

Pesan yang ia perjuangkan adalah tentang pentingnya membatasi kekuasaan dan menjamin kebebasan. “Kebenaran dan kekuasaan, bagi saya, adalah antitesis, sebuah antagonisme, yang susah untuk disatukan,” katanya. “Kebenaran, bagi saya, adalah kebebasan, keinginan untuk menentukan sendiri tujuan kita. Sedang kekuasaan adalah dominasi, kontrol, dan karenanya sangat menentukan apakah kebenaran itu. Ini omong kosong.”

Wole memang tak pernah bicara kosong. Ia selalu siap menentang diktator di seantero Afrika. “apa pun yang terjadi, jangan kabur dari pertarungan. Musuhmu mungkin lebih besar, dan akan menghancurkanmu waktu pertama bertemu. Kali berikutnya kau bertemu dengannya, tantang lagi. Dia akan mengalahkanmu lagi. Ketiga kali, saya yakin, kamu pasti menang atau dia lari terbirit-birit,” tulisnya dalam bukunya, Ake.
# qaris tajudin

Sumber : www.ruangbaca.com/Edisi 31 Juli 2007

chairil

Tahun 1943 kesusastraan Indonesia dikejutkan oleh panyiar muda Cahiril Anwar. Dia seperti bom di tengah-tengah ketenangan. Sajak-sajaknya baik bentuk maupun isinya revolusioner, membawa perubahan radikal sekaligus. Waktu itu umur Chairil Anwar baru 20 tahun (Toda. 1984).

Nisan
(untuk nenenda)

bukan kematian benar menusuk kalbu
keridlaanmu menerima segala tiba
tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta

(1942)

Sajak Nisan ini oleh para kritikus disepakati sebagai sajak pertama Chairil. Sebuah sajak pendek yang sebenarnya menguraikan secara panjang lebar tentang “nasib” manusia. Maut demikian menusuk kalbu menuntaskan keperkasaan manusia, sebagai makhluk unggul yang mampu meluaskan eksistensinya dalam kebudayaan yang tinggi di antara sesama makhluk penghuni bumi.

Tapi, manusia agung itu ternyata tak memiliki keistimewaan dibandingkan debu sekalipun, tak kutahu setinggi itu atas debu. Maut mengakhiri daya tahan manusia itu. Tapi Chairil terpukau oleh jenis kemampuan lain yang ditunjukkan seorang manusia yang sudah tak berdaya, nenenda, yang mampu menerima kematian secara ikhlas, keridlaanmu menerima segala tiba.

Begitu ringkas dan tuntas, empat larik puisi menggambarkan secara gamblang perjalanan umat manusia di tengah kefanaan, dan duka maha tuan bertahta. Begitu langsung, empat larik puisi dipadatkan sedemikiran rupa, untuk menyampaikan berbagai gagasan atau cakrawala pemikiran tentang hidup, maut, nasib, hubungan darah, keluasan kasih sayang, dan rasa kehilangan yang dalam atas orang-orang terkasih ‘“ tanpa harus diterakan lagi sebagai rangkaian diksi atau kata-kata puisi secara panjang lebar.

Hal ini hanya dapat dikonkretkan, karena adanya kesadaran penuh pada Chairil ‘“ ingin menjadikan diksi pada puisi-puisinya sebagai tesis atau kebenaran itu sendiri. Penyair bagi Chairil adalah penemu, penguasa, pengolah, pelegitimasi diksi (kata), sejauh hubungan apa pun yang paling mungkin dilaksanakan untuk menegaskan makna tertentu yang mau disampaikan.

Kata adalah kepenyairan bagi Chairil. Dan kepenyairan tidak ada tanpa keunikan pengoperasian kata. Seorang penyair hanya dapat diukur oleh keberhasilannya menguasi dan memproduksi kata yang khas. Tanpa kerja keras dan keunikan, kata-kata yang terurai tak akan berbeda dengan rangkaian kata-kata umum yang telah memasyarakat sebagai bahasa awam. Sementara seorang penyair adalah seorang pengguna bahasa yang menolak menjadi awam.

Dan kecermatan menimbang, memilih untuk tiba pada kepastian (diksi) kata, yang kelihatannya berpangkal pada wawasan estetik Chairil Anwar kemudian ikut dipraktekkan oleh Asrul Sani, Rivai Apin, Sitor Situmorang, AS Dharta, dll. Seperti disinggung Artati Sudirdjo, pada 1949, “mulanya sajak-sajak Chairil bersifat individual, khas dirinya seorang, tapi kemudian penyair-penyair muda lain mengenal dan mewujudkannya dalam sajak-sajak mereka.”

Sementara Aoh K Hadimadja, pada 1952, melukiskan perbedaan generasi Chairil Anwar, Angkatan 45, dengan generasi sebelumnya, Pujangga Baru, yang dimotori Sutan Takdir Alisyahbana. “Beribu kilometer jaraknya antara Angkatan 45 dengan Pujangga Baru. Pujangga Baru yang menanti ilham, Angkatan 45 yang penuh kegiatan mencari jauh dari tapal batas tanah air, hingga hasilnya pun, manusia universum, tidak dibatasi daerah dan waktu.”

Aoh melihat kegiatan berpuisi pada Angkatan 45 adalah kerja arsitektural yang sungguh-sungguh, jauh dari peluapan emosi sebagaimana terjadi pada pembuatan sajak-sajak remaja. “Sebelum perang orang mengakui sajak sedih teringat kampung halaman adalah hasil seni. Kini curahan demikiran tak mungkin mendapatkan tempat lagi dalam dinamika kebudayaan. Seni yang menyeret kesedihan tidak mendapatkan penghargaan lagi, karena manusia baru mencari-cari jalan keluar dari kekacauan pikiran dan kelesuan semangat. Kesenian seperti berubah menjadi kekuatan.”

Sedangkan Chairil Sendiri menilai Pujangga Baru dengan kata-kata, Pujangga Baru selama semibilan tahun memperlihatkan corak, tidak seorang pun dari majalah tersebut sampai pada perhitungan, kecuali sajak-sajaknya Amir Hamzah.” Chairil menegaskan bahwa sebagai seniman, seseorang harus mempunyai ketajaman dan ketegasan dalam menimbang dan memutus, agar setiap kata dipikirkan dan direnungkan dengan tenang. Bahwa tidak semua yang menggetarkan kalbu, adalah wahyu yang sebenarnya.

Seorang penyair harus menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan. Pikira paling berpengaruh dalam sebuah kerja kesenian bermutu tinggi. Jika kerja setengah-setengah, bercampur-baur emosi dan fantasi, maka yang muncul adalah sebuah karya inproviasi. Dan sebuah hasil kerja seorang improvoitasator terbesar sekalipun, tak setinmggi mutu kesenian yang sungguh-sungguh.

Sebab keindahan kesenian hanya lahir dari pertimbangan, keseimbangan, perpaduan, dari segala getaran-getaran hidup, yang muncul menyeruak dalam kesadaran para seniman yang memiliki keberanian hidup, vitalitas menjelajahi berbagai kemungkinan pemikiran, bahkan mengambil gambaran ronsen sampai ke putih tulang belulang kemanusiaan.

Akibat dari kecermatan menimbang, memilih kepastian kata dalam sajak, menimbulkan pemadatan isi dan kesingkatan bentuk, dan kata pun menjadi monumental, menjadi K besar. Peranan otak dan intuisi nampak besar, seakan-akan membuktikan kebenaran penyair Elisabeth Drew tentang penyair sebagai seorang yang “merasakan pikirannya, memikirkan sensasi-sensasi perasaanya”.

Sajak-sajaknya umumnya pendek-pendek, merangkum ekspresi manusia dalam M besar, dengan ideologi yang coba dijabarkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), di antaranya: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dilahirkan…

Arie MP Tamba

Sumber : Jurnal Nasional, 30 Maret 08

setengah abad sang penyair

Beragam penilaian terus mengiringinya menembus waktu. Dunia sekolah dan perguruan tinggi, seperti enggan mengakhiri apresiasi atas karyanya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika waktu berdentang pada setengah abad lebih kematiannya, orang tetap mengenang Chairil Anwar. Bagai sebuah dunia tanpa koma, berpuluh tahun setelah ruh terpisah dari raga, karya ”binatang jalang” itu terus diapresiasi, entah dalam bentuk esai, forum diskusi, deklamasi, skripsi, film, dll.

Chairil penyair terkuat di Indonesia yang hingga saat ini belum ada bandingannya, kata penyair sekaligus pendiri teater anak-anak Teater Tanah Airku, Jose Rizal Manua. Sehingga, walaupun bermunculan banyak penyair hebat, namun menurut Jose, Chairil telah memiliki lapak tersendiri. “Seperti Shakespeare yang telah memilki tempat tersendiri meskipun muncul penyair besar lainnya,” kata Jose saat dihubungi Jurnal Nasional.

Ia mengatakan, Chairil adalah salah seorang penyair Indonesia terkemuka yang menemukan bahasa. “Semangat dari puisinya memiliki personality sangat kuat, sehingga menggugah semangat untuk berontak,” ujar Jose.

Bagi Jose, individulitas dan pemberontakan dalam karya Chairil, menggugah semangat kepahlawanan untuk melawan penjajah. “Yang membuat saya berdecak, bagaimana karya Chairil bisa lolos dari sensor Jepang, padahal dia mengkritisi penjajah,” papar Jose.

Sekali berarti sudah itu mati

Pria kelahiran Padang 14 September 1954 ini mengacungkan dua jempol terhadap kepiawaian Chairil dalam memilih kata. “Seperti sekali berarti, setelah itu mati atau aku ingin hidup seribu tahu lagi, itu nggak ada yang menemukan kecuali Chairil,” tutur peraih juara pertama Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman ini.

Kata-kata Jose diamini Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia Ibnu
Wahyudi. Ia melihat Chairil dengan kesadaran yang amat jelas menempatkan kata-kata dalam berpuisi, bukan dalam kata-kata untuk kepentingan sehari-hari. “Jika orang biasa menuliskan hari ini, Chairil memilih menuliskan ini hari,” papar Ibnu.

Kesadaran mengolah kata pada Chairil itulah yang dianggap Ibnu luar biasa. “Dari karya-karya Chairil, tercermin wawasannya yang sangat luas, pada zaman itu jarang sekali orang yang bacaannya sebanyak Chairil,” kata penulis kumpulan puisi Masih Bersama Musim ini.

Pertanyaan yang muncul, apa yang membuat karya Chairil dapat memborong seluruh perhatian masyarakat sastra? Menurut Jose, apresiasi kepada semua penyair baik, hanya saja jumlah peminat puisilah yang kelihatannya tidak bergeser. “Tidak makin banyak, tetap mempunyai komunitas yang terbatas,” ujar Jose.

Jose melihat, kenyataan itu pada hampir seluruh negara berkembang di dunia. Berbeda dengan negara maju, di mana kesadaran akan sastra sudah tinggi, lanjutnya. “Mereka membaca karya sastra, membaca puisi di dalam bis, di kamar, di rumah, kalau kita hanya orang tertentu yang melakukan itu,” tutur lulusan Institut Kesenian Jakarta tahun 1986 ini.

Tak bisa dipungkiri, lanjut dia, sastra adalah lingkungan yang terabaikan, dunia yang seolah-olah sunyi dan hening, sehingga orang orang di dalamnya tak bisa berinteraksi dengan nyaman. Berbeda dengan yang ditawarkan oleh dunia musik, hingar bingar. “Puisi adalah dunia yang mengajak kita sendiri, berkontemplasi, nah itu bukan dunia yang banyak disukai anak muda.”

Jose juga mengagumi apa yang ditulis Chairil sebagai sesuatu yang amat manusiawi, rasional dan tidak terlalu genit. Menelisik lebih lanjut, karya Chairil dianggap begitu membumi dan mudah dipahami. Menurut Jose, itu menjadi salah satu alasan, mengapa kemudian karyanya banyak diapresiasi. “Banyak penyair hebat muncul, namun kemudian karyanya sulit dipahami, sehingga sulit ditangkap masyarakat awam yang tidak punya apresiasi terhadap puisi,” kata Jose.

Sedikit dosen melek sastra

Dari sudut lain Ibnu melihat “kecanduan” kampus terhadap karya Chairil tidak terlepas dari kondisi yang diciptakan oleh pengajar sastra di Indonesia itu sendiri. “Kita harus sedih, belum semua pengajar sastra melek sastra,” kata Ibnu.

Pria yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan ini berpandangan, masih sedikit dosen sastra yang mau mengembangkan dirinya. “Entah itu dengan memperkaya bacaannya, selain yang diperoleh di bangku kuliah,” ujar Ibnu.

Dampak dari itu semua, kata Ibnu, yang dikenal hanya itu-itu saja, padahal masih banyak penyair Indonesia yang belum dibicarakan. “Saya kira ada masalah dengan pengetahuan yang kurang luas dari dosen sastra, sehingga mahasiswanya tidak diarahkan untuk menulis yang lain,” tuturnya.

Tetapi Ibnu tak melihat “kecanduan” berlebih terhadap karya Chairil sebagai sebuah kenyataan dunia kampus saat ini. Bahkan, di UI Jakarta, katanya, Chairil malah sudah jarang dipergunjingkan, karena sudah terlalu banyak. “Kecendrungan mahasiswa malah mengambil pengarang yang sama sekali belum dikenal tapi dia mengarang ditahun 50-60an,” kata Ibnu.

Ia berpendapat, Chairil tetap dihormati sebagai seorang penyair yang dalam konteks tahun 1940-an boleh dibilang hampir tidak ada saingan. “Tetapi pada zaman sekarang jauh lebih banyak penyair yang secara tematik maupun linguistik pencapaiannya melebihi Chairil,” ujar Ibnu.

Pemimpin Redaksi Majalah Horison Jamal D Rahman membedah dengan pisau yang berbeda. Menurutnya, posisi Chairil sebagai penyair paling banyak dibaca oleh para siswa, tak lepas dari peran HB Jassin yang begitu gencar memperkenalkan karya-karya Chairil. “Siswa membaca Chairil sejak di bangku SMP hingga perguruan tinggi,” kata Jamal.

Namun, Jamal memiliki dugaan kuat tak semua karya Chairil dilahap oleh para siswa, hanya sebagian seperti Karawang-Bekasi dan Aku. Sementara yang lain tak begitu dikenal, ujarnya.

Dari perkenalan dengan Chairil melalui karyanya, kata Jamal, para siswa diharapkan dapat menyerap semangat sang penyair, entah itu melalui pelajaran maupun melalui lomba-lomba. “Selanjutnya tinggal mengambil apa yang bisa diambil setelah mengenal Chairil,” tutur Jamal.

Karya Chairil, kata Jamal, sangat relevan dengan keadaan saat ini baik untuk para penyair maupun untuk masyarakat awam. Bagi penyair, Chairil, lanjut dia, adalah sosok yang paling sukses mendobrak tata nilai tradisional dengan memasukkan nilai-nilai Barat. “Chairil menanamkan sebuah rasionalisme, ia memiliki apatisme fantasi yang mengagumkan dalam berkarya.”

Sementara bagi masyarakat awam, Jamal menggambarkan optimisme Chairil menjalani kehidupan sosial di tahun 1940-an yang dianggap Jamal lebih keras dari kondisi saat ini. “Belum lagi kondisi permasalahan pribadi Chairil, tapi dia tetap memandang hidup dengan optimis,” ujar Jamal.

Keoptimisan seorang Chairil, menurut Jamal tercermin dari puisi-puisinya seperti Aku dan Bung Karno. Keoptimisan Chairil sedikit melayu ketika ia berbicara tentang kematian di penghujung hayatnya. “Yang penting bagaimana kita bisa mengenal relevansi karya Chairil dengan realita sosial,” tandas Jamal.

Grathia Pitaloka

Sumber : Jurnal Nasional, 30 Maret 08

saksi hidup kamp konsentrasi

Novelis, esais, penerjemah dan pemenang Nobel Sastra 2002 ini berasal dari Hungaria. Dalam sebuah karya semiotobiografi Kertesz (1929 - ) mencoba menganalisa berbagai pengalaman hidupnya yang berlangsung selama dalam kamp konsentrasi Jerman, Holocaust. Namun, karya-karya awalnya sendiri lebih banyak berkutat dengan masalah eksistensial manusia sebagai sebuah persoalan hidup yang sukar, dengan gaya yang berat diikuti.

“Auschwitz akan terus bergantung di udara, dalam jangka waktu lama, berabad-abad, mungkin seperti buah yang membusuk dengan perlahan, bersama surutnya cahaya matahari, menunggu akhirnya terjatuh menimpa kepala.” (Kaddish for a Child not Born, 1990).

Imre Kertesz lahir di Budapest dari keluarga keturunan Yahudi. Mengacu ke sebuah kisah, pada usia 10 tahun ia pernah mendapatkan sebuah buku catatan harian, tapi halaman-halaman putihnya ternyata menakutkannya. Pada masa mudanya ia sendiri memang mengalami horor yang sesungguhnya dari masa pemerintahan Nazi. Jerman menduduki Hungaria pada 1944 dan mulai melakukan pembasmian kepada orang Yahudi dan Gypsi.

Kertesz termasuk dalam 7000 orang Yahudi yang dideportasi dari Budapest ke Auschwitz dan selanjutnya dikirim ke Buchenwald. “Saya bukanlah seorang penganut kepercayaan Yahudi,” kata Kertesz dalam sebuah wawancara. “Tapi saya adalah Yahudi yang pernah ditahan di Auschwitz.” Di dalam pembuangan itu Kertesz menyadari sepenuhnya bagaimana ia bisa mati di mana dan kapan saja. Persoalan eksistensial demikian mencekamnya sebagai seorang penulis.

Pada 1945 Kertesz dibebaskan oleh pasukan sekutu. Setelah kembali ke Hungaria, ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan untuk Vilagossag, sebuah koran Budapest. Ketika koran tersebut dikuasai oleh sebuah partai Komunis ortodoks, Kertesz dipecat. Antara tahun 1951 dan 1953 Kertesz memasuki dunia militer, lalu kemudian memusatkan seluruh perhatiannya ke dunia tulis-menulis.

Pada masa pemberontakan Hungaria tahun 1956, lebih dari 200.000 orang Hungaria memilih hidup di Barat. Dunia sastra Hungaria pun mengalami kelumpuhan sampai tahun 1963. Sebagai seorang penulis bawah tanah dalam rezim Komunisme yang memberangus kemerdekaan berpikir, Kertesz menghidupi dirinya sebagai seorang penerjemah, dengan spesialisasi karya-karya penulis Jerman seperti Hugo von Hofmannsthal, Elias Caneti, Joseph Roth, dan Arthur Schnitzler.

Namun, ia juga tak melewatkan kesempatan untuk menerjemahkan karya-karya Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dan Ludwig Wittgenstein yang ternyata semakin memperkuat daya kepengarangannya. Sambil sesekali, ia menulis pula naskah teater.

Kertesz tidak mempunyai mesin ketik. Ia selalu mulai menulis dengan tulisan tangan, memakai pinsil maupun bolpoin.

Kertesz tidak pernah tergabung dalam organisasi kepenulisan dan tak pernah mendapatkan keistimewaan apa pun dari pemerintah. Bersama istrinya, ia hidup di sebuah flat sederhana, dan menghabiskan hari-harinya di ’penjara menulis’-nya tanpa ada harapan akan mendapatkan penerbit.

Di sebuah kolam berenang, di mana ia biasa berdiskusi dengan beberapa temannya tentang sastra dan politik, ia berenang hampir setiap hari selama 40 tahun. Di antara novel-novel modern, Kertesz paling tertarik dengan karya Albert Camus The Stranger (1942), yang didapatkannya pertama kali dari sebuah toko buku loak.

Buku pertama Kertesz, Sorstalansag (1975), mengisahkan pengalaman hidup seorang remaja 15 tahun di kamp konsentrasi. Kertesz tidak menyatakan bahwa novel ini adalah kisah pribadinya. Namun, dalam sebuah wawancara ia pernah mengatakan, bahwa ia sesungguhnya tak pernah berniat menuliskan pengalaman hidupnya sendiri.

Sorstalansag sudah selesai ditulis pada 1965, tapi baru berhasil mendapatkan penerbitan terbatas 10 tahun kemudian. Karya ini kurang mendapatkan pembicaraan, boleh jadi karena temanya, tentang deportasi yang dialami orang-orang Yahudi, yang merupakan sebuah lembaran sejarah kelam negera Hungaria sendiri.

Tapi novel ini kemudian menjadi bagian dari trilogi, yang dilanjutkan dengan kudarc (1988), dan Kaddis a meg nem szuletetett gyermekert (1990, Kaddish for a Child not Born), yang ditulis dengan teknik stream of concoiusness. Tokoh utamanya adalah seorang pria setengah baya yang selamat dari Holocaust, yang sedang menempuh karier sebagai seorang penulis yang tidak berhasil. Perkawinannya gagal dan bekas istrinya kemudian berhasil membentuk sebuah rumah tangga baru dan mempunyai anak. Peristiwa Auschwitz benar-benar membuat si tokoh cerita menjadi figur seorang ayah, yang selalu mengatakan kepada teman-temannya – tidak pernah berniat menjadi ayah – di sebuah dunia yang mampu melahirkan sebuah bencana seperti Auschwitz.

Seorang remaja yang menjadi saksi hidup dari penyiksaan fisik di kamp konsenstrasi Sorstalansag mengatakan, “sesungguhnya kami hanya dapat bertahan bersama sisa-sisa imajinasi kami tentang masa lalu. Saya dapat langsung, misalnya, merasakan kemerdekaan hanya dengan menyibukkan diri dengan sekop dan beliung – sebagai upaya modern untuk mempertahankan keberadaan sendiri hanya dengan sebuah gerakan.”

Yang lolos dari Holocaust di A Kudarc adalah alterego Kertesz, bernama Gyorgy Koves, yang hidup di bawah sebuah negara totaliter. Ia menyelesaikan novel pertamanya, sebuah kisah tentang Auschwitz, yang meski sempat dikembalikan penerbit, namun ia lanjutkan buku keduanya. “Saya ingin menghilang dari masa kini tapi masa lalu selalu menahan saya,” katanya. Namun ketika terjadi krisis di Hungaria yang menimbulkan pemberontakan, anehnya ia tak memilih pergi ke Barat, melainkan tetap memilih tinggal di Hungaria.

Alasannya tetap tinggal adalah karena pikiran, bahwa ia juga terlalu tua untuk mempelajari bahasa negeri lain. Seorang pengarang pernah berkata bahwa kekurang mampuan berbahasa adalah satu-satunya ekspresi seorang diktator. Dalam penelitiannya tentang Auschwitz dari konteks sejarah dan politik, Kertesz mengikuti cara berpikir kaum intelektual sosialis Eropa, yang menyembunyikan tulisan mereka tentang totalitarianisme yang kini menjelma sebagai Nazisme. Tapi Kertesz tidak dapat dipahami tanpa situasi kamp konsentrasi. Bahwa neraka dunia tidak lahir dari kecelakaan, melainkan muncul dari kumpulan perilaku rasional individu.

Pada awal 1980-an Kertesz masih menjadi seorang penulis yang tidak begitu terkenal di negerinya. Ia tidak dimasukkan ke dalam A History of Hungarian Literature yang dieditori oleh Tibor Klaniczay (1983), dan Lorant Czigany hanya menyinggungnya sedikit di dalam The Oxford History of Hungarian Literature (1984). Namun sejak ‘revolusi kebisuan’ pada 1989, karya-karya Kertesz segera mendapatkan perhatian dunia internasional. Buku-bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa, di antaranya Prancis, Swedia, Jerman, dan Inggris. Kertesz pun dimasukkan ke dalam Organisasi Penulis Hungaria, tapi ia kemudian mengundurkan diri dan protes, karena organisasi itu mengeluarkan pernyataan Anti-Semit. Seorang penyiar yang juga pejabat pemerintahan dan partai, Sandor Csoori, menulis di sebuah jurnal sayap kiri, “Penulis Liberal dan Yahudi Hungaria mulai beradaptasi dengan persoalan pemikiran dan kehidupan Hungaria.”

Pada 1990-an Kertesz mempublikasikan beberapa novel dan juga kumpulan esai. Sebuah esainya pernah mengomentari karya Steven Spielberg, Schindler’s List sebagai kisah murahan. Bagi Kertesz, trauma kamp konsentrasi bukanlah persoalan Yahudi dan Jerman semata, melainkan persoalan keseluruhan kehidupan sipil di Eropa. Setelah mendapatkan hadiah Nobel Sastra, pada 2003, karya-karyanya kemudian mengilhami orang-orang yang lolos dari kamp konsentrasi untuk mengungkapkan pengalaman mereka.

Bersama istri keduanya Magda Kertesz, Kertesz kini lebih banyak menghabiskan waktunya di Jerman, dengan menulis dan mengajar sastra. Magda telah meninggalkan Hungaria pada 1956. Ia hidup di Chicago selama 33 tahun sebelum kembali ke Eropa, di mana keduanya kemudian kembali bersatu.

Kutipan

Kertesz tidak dapat dipahami tanpa situasi kamp konsentrasi. Bahwa neraka dunia tidak lahir dari kecelakaan, melainkan muncul dari kumpulan perilaku rasional individu.

Sumber : Jurnal Nasional/ 07 April 08