Minggu, 27 April 2008

asingnya si binatang jalang

Saat Chairil Anwar menulis Aku, dunia sastra Indonesia terperangah. Permainan bahasa baru Chairil, seakan mendestruktif apa yang telah dirintis Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan lewat angakatan Pujangga Baru. Kosa kata seperti binatang jalang, Beta Patirajawane, atau sekadar mengulang-ulang diri sebagai Aku dan Kau, membuat Chairil terasa asing di antara karya-karya sastra Indonesia saat itu. Karya-karya Chairil benar-benar seperti syairnya; asing dan terbuang.

Banyak yang mencoba menghubungkan kelugasan karya-karya Chairil dengan pengalamannya hidup di jalanan Jakarta. Meski salah satu pamannya pernah menjabat sebagai perdana menteri Indonesia, Chairil lebih nyeleneh dan memilih hidup di jalanan. Dia tak pernah punya rumah dan bisa tidur di mana pun. Mulai dari becak di pinggir jalan sampai menumpang seenaknya di rumah teman. Bahkan H.B Jassin yang mengorbitkan Chairil, hapal benar dengan kebiasaan menggelandang si binatang jalang ini.

Memang tak bisa diingkari jika pergaulan bohemian Chairil berpengaruh besar pada emosi karyanya. Bahkan salah satu sumbangan kata Chairil Anwar yang tertera dalam poster Affandi; Bung Ayo Bung!; konon dipungutnya dari rayuan para pelacur Jakarta. Demikian pula karya-karyanya yang terkenal seperti Aku, Karawang-Bekasi atau Persetujuan dengan Bung Karno; merupakan hasil pergesekan Chairil dengan kehidupan jelata awal kemerdekaan.

Kata baru

Chairil yang hidup di jalan, tentu akrab dengan tulisan-tulisan Merdeka atau Mati! atau seruan-seruan Bung Karno lainnya di gerbong-gerbong kereta. Namun karya-karya Chairil tak hanya mengulas semangat di awal-awal kemerdekaan semata. Banyak pula karyanya yang religius bahkan romantis. Karakter karya Chairil bukan terdapat pada semangat kekerasan ala perang awal kemerdekaan; tapi lebih pada penggunaan kata-kata baru yang asing didengar khalayak sastra Indonesia saat itu. Bahkan kata-kata baru yang dianggap melanggar norma santun saat itu.

“Setelah kemerdekaan Indonesia, karya-karya Chairil menjadi penting karena dia telah mengutak-atik bahasa,” kata Sapardi Djoko Damono. Menurut penyair yang kemudian melanjutkan pembaharuan bahasa ala Chairil ini; utak-atik bahasa si binatang jalang terjadi secara sederhana.

Sejak masih bersekolah di HIS setingkat SD sekarang; Chairil mempelajari sastra secara otodidak lewat aneka majalah kebudayaan. Berbagai bahasa dilahapnya, mulai dari bahasa Belanda, Inggris, Melayu hingga Jerman. Lahir di antara keluarga terpandang Minangkabau; menjamin Chairil menjaring ilmu lewat buku-buku asing. Tanpa bayaran apa pun, Chairil iseng menerjemahkan berbagai karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa penyair kegemarannya berkisar dari Rainer M. Rilke, WH. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff hingga penyair Belanda, Edgar du Perron yang lahir dan besar di Jatinegara, Jakarta.

Pertemuan dengan aneka bahasa ini, menyadarkan Chairil atas kurangnya kosa kata dalam bahasa Indonesia yang masih baru. Berbeda dengan sastra Barat yang telah bergerak beratus tahun, sastra Indonesia saat itu masih merangkak maju. Chairil hadir saat sastra Indonesia masih berusaha menemukan citra dirinya, lewat nasionalisme yang gencar diusung Angkatan Pujangga Baru. Para sastrawan 30-an hingga di zaman Chairil, masih berusaha melepaskan akar kedaerahan mereka demi menuju modernisasi ala Barat. Mereka berusaha menyatakan pada dunia; sebuah bentuk sastra Indonesia yang berlatar keilmuan Barat dan lepas dari akar tradisi.

Sesuai semangat 1930-an ini, Chairil pun manut mengikuti arah perubahan modernisasi Barat ala Sutan Takdir Alisyahbana. Namun alih-alih memuja kata-kata puitis; Chairil justru mengagumi lirik prosa bebas bergelora ala Rilke, atau karya-karya yang berkaitan erat dengan isu-isu moral dan politik relijius dramatis ala WH Auden. Pengaruh asing ini begitu kuat, sampai-sampai Chairil tergerak membuat terjemahan bebas puisi The Young Dead Soldier karya Archilbal dMacleish ke dalam Karawang Bekasi. Lewat proses ini, secara bersamaan Chairil menemukan kenyataan Bahasa Indonesia yang masih muda; ternyata tak memiliki kata-kata yang cukup untuk mencurahkan pikiran dan semangatnya.

“Dari situ Chairil sadar dia harus menciptakan kosa katanya yang baru,” kata Sapardi.

Dicaci-maki

Kata-kata serapan Chairil ini membuatnya tak luput dari caci-maki. Syair-syairnya dinilai terlalu keras, merusak struktur bahasa Indonesia yang tengah diperjuangkan Angkatan Pujangga Baru. Tapi di saat yang bersamaan, hasil eksperimen binatang jalang ini justru memperkaya bahasa Indonesia. Sapardi menyatakan karya-karya Chairil saat itu telah menjadi patokan dimulainya era puisi modern nusantara.

Pengaruh penyair-penyair modern Eropa kegemaran Chairil semakin menariknya menjauhi tata bahasa modern namun santun ala 1930-an. Chairil lebih banyak membahas ke-aku-annya, ketimbang sibuk berbicara tentang antusiasme nasionalis ala Sutan Takdir Alisyahbana. Isu-isu bangsa seperti kemerdekaan; justru diseret Chairil dalam kerangka pola pikir pribadi. Kontras dengan apa yang diusung Pujangga Baru.

”Chairil itu seniman yang tidak neko-neko. Dia tidak pernah membuat esai atau pikiran apa pun. Dia murni hanya berkarya sesuai keinginannya,” kata Sapardi mengomentari “keegoisan” seorang Chairil Anwar. Sang binatang jalang mengubah cara pandang nasionalisme saat itu. Alih-alih berbicara dalam konteks luas sebagai negara, Chairil justru menyempitkannya ke dalam sudut pandang pribadi yang lebih humanis modernis. Teriakan aku ini binatang jalang misalnya, kerap dipandang sebagai simbolisme rakyat Indonesia yang bergelora berteriak ingin merdeka.

Chairil juga tak segan berbicara tentang apa saja; mulai menyoal kemerdekaan, romansa, relijiusitas hingga cikal bakal kematiannya sendiri. Nyelenehnya Chairil ini mendobrak tembok pembatas yang tanpa sengaja didirikan Pujangga Baru yang tradisional. Segala fase hidup Chairil yang tertuang secara lugas dan bebas, membuatnya jadi mahluk asing di sastra Indonesia saat itu.

Bahkan di saat menderita akibat malaria, sifilis dan TBC; Chairil masih mempertahankan keasingannya. Terinspirasi puisi Rainer Maria Rilke saat sekarat; Chairil yang berjuang di rumah sakit Ciptomangunkusumo, sempat menulis puisi tentang masa depannya ”di perkuburan” umum Karet, Jakarta. Sejak ditemukan oleh HB Jassin, hingga menghembuskan napas terakhirnya; sang binatang jalang bertahan mengenalkan puisi modern yang lugas dan apa adanya di sastra Indonesia. Tanpa neko-neko; Chairil telah meninggalkan jejak puisi baru yang bebas berekplorasi; yang kini terus diemban Sapardi, Sutardji Calzoum Bachri, bahkan penyair-penyair muda Indonesia era 2000-an.

Veby Mega Indah

Sumber : Jurnal Nasional, 30 Maret 08

Tidak ada komentar: