Minggu, 27 April 2008

naskah(membaca benda-benda dan keterpecahan)

Memberontaki gabungan kata yang lazim; bisa saja bait tentang kisah cinta, disahuti cerita tentang keramik China.

Ketika para pendahulunya masih bertumpu pada pengertian-pengertian konvensional, entah itu dalam bentuk pemilihan kata ataupun frasa, Afrizal Malna lebih suka menyilakan para pembacanya membuat medan permainan sendiri.

Pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1957 ini mencuat dalam percaturan sastra Indonesia, melalui distribusi kata-kata yang seolah tiada beraturan, deret paradigmatik yang melompat-lompat dan kombinasi sintagmatik yang mengejutkan. Hubungan tiap kalimat seakan tanpa kausalitas. Bisa saja bait tentang kisah cinta, disahuti oleh cerita tentang keramik buatan China pada bait berikutnya.

“Kalau Chairil hanya bermain dengan diversi apa yang dibalik, Afrizal telah mencoba keluar dari pengertian konvensional misalnya makan harus diartikan makan atau terbakar harus diartikan terbakar,” kata Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Ibnu wahyudi kepada Jurnal Nasional, Minggu (13/4).

Penulis kumpulan puisi Masih Bersama Musim ini menilai, bentuk puisi Afrizal cendrung prosaik, bukan lagi mempertahankan tifografi seperti puisi biasa. Afrizal, kata dia, mencoba memberontak melalui pemanfaatan gabungan kata yang tidak lazim.

Dikuasai benda-benda

Bait dalam puisi Afrizal, menurut Ibnu, banyak menggambarkan imajinasi yang terkadang bertabrakan secara konvensional. “Dia menggambarkan kekacauan manusia urban, dimana orang-orang banyak yang belum siap menghadapi perubahan yang begitu cepat,” ujar pria kelahiran Ampel, Boyolali, 24 Juni 1958.

Pendapat Ibnu diamini oleh Ribut Wijoto, perbedaan puisi Afrizal dengan para pendahulunya memang terletak pada pemilihan diksi. Selain itu, kata Ribut, beda Afrizal juga terdapat pada pandangan terhadap hidup dan kemanusiaan. “Afrizal memandang manusia dikuasai benda-benda, dimana perkembangan teknologi telah mengubah konsepsi kemanusiaan. Pada zaman sebelum afrizal hal seperti itu belum terakomodasi,” ujarnya.

Sementara itu dimata Maman S Mahayana, Puisinya Afrizal merupakan paparan kenyataan post moderenisme serta sebuah gambaran ketidakteraturan. Melalui puisinya, kata Maman, Afrizal mencoba menghantam logika-logika formal dan menjangkau kehidupan modern yang teralienasi. “Memahami Afrizal adalah memahami keterpecahan” tutur Maman.

Keriuhan kaum urban dalam puisi Afrizal, kata Ibnu, dilatarbelakangi oleh kehidupan sosialnya yang lahir dan hidup di kota besar seperti Jakarta. Di mana, lanjut dia, Afrizal berusaha menuangkan pertanggungjawabannya di bidang sosial dalam bentuk puisi. “Semuanya berawal dari keprihatinan Afrizal terhadap kehidupan kota besar di mana terjadi kesenjangan kaum miskin dan kaum kaya,” tutur Ibnu.

Komentar itu digenapkan oleh Ribut, menurutnya, apa yang ditulis oleh Afrizal merupakan representasi dari apa yang dilihat olehnya sehari-hari, sebuah kehidupan metropolitan yang konsumtif serta dikuasai benda-benda. “Afrizal berbicara tentang kesehariannya, nah keseharian Afrizal adalah keseharian dunia metropolitan pada umumnya,” kata Ribut.

Maman mengatakan, saat penyair lain tengah diliputi semangat kembali ke sumber dengan puisi tasawuf, Afrizal malah tidak mengungkap sisi religiusitas dalam puisinya. “Keberhasilan Afrizal mencuatkan hal tersebut membuat ia menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia,” papar Maman.

Senada dengan Maman, Ribut Wijoto menilai Afrizal sebagai salah satu tokoh yang memberikan tradisi baru dalam dunia sejarah puisi Indonesia. Ribut memandang, nama Afrizal layak disejajarkan dengan Amir Hamzah lewat puisi melayunya, Chairil Anwar yang merombak puisi menjadi bahasa keseharian dan Sutardji yang memasukkan mahzab mantra dalam puisi indonesia.

Tradisi baru

Menurut Ribut, puisi Afrizal sangat kosmopolit di mana ia memasukkan unsur pembaharuan yang sebelumnya sulit untuk diterima. “Kontribusinya dalam puisi indonesia sangat besar. Kalau Goenawan Mohamad maupun Sapardi hanya melakukan pendalaman dari tradisi puisi yang sudah, Afrizal menciptakan tradisi baru.” Nah, tradisi baru yang ditawarkan Afrizal itulah yang membuat munculnya Afrizalian. Sederet nama seperti Arief B. Prasetyo, Adi Wicaksono, Agus Sarjono, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Abdul Wahid, dan Diro Aritonang masuk di antaranya.

Ibnu memandang, Afrizalian sebagai sebuah epigonisme, bentuk keterpukauan terhadap gaya Afrizal yang memang berbeda dari yang lain. “Ada kecenderungan penulis untuk bergantung secara tidak langsung kepada penyair sebelumnya, sehingga muncullah Afrizalian, Chairilan atau Sapardian,” kata Ibnu.

Ia menilai Afrizalian adalah sebuah hal yang sehat sebagai proses sosialisasi sastra dan bagian dari pencarian jadi diri. “Kalaupun ada Afrizalian jumlahnya juga tidak dominan. Nah jika telah menjadi sesuatu yang dominan, dalam arti hampir semua penulis puisi Indonesia seperti Afrizal itu baru berbahaya dalam arti tidak sehat,” jelas Ibnu.

Ribut mengatakan, tradisi sosialisasi puisi di Indonesia menggunakan pola belajar dari pola puisi yang ada. “Biasanya penyair baru yang tidak belajar pada tradisi yang sudah ada susah untuk menulis puisi yang bagus,” kata dia.

Menurut Ribut, duplikatif pada awal proses penulisan adalah sesuatu yang wajar. “Setiap penyair punya pengalaman sendiri, ketika itu dimasukkan dalam puisi pasti ada perbedaan hasil” tukas Ribut.

Setelah munculnya Afrizal, Ribut melihat belum ada lagi penyair yang menciptakan tradisi baru di dunia sastra Indonesia. “Kalau saya perhatikan, saat ini banyak puisi bagus, namun yang memberikan kontribusi baru belum ada,” ujarnya.

Senada dengan Ribut, Ibnu juga melihat para penyair hanya membuat puisi, kemudian mempublikasikannya dan selesai. Hal itupun, kata dia, ditanggapi dingin oleh dunia pendidikan maupun pemerintah yang memandang sudah seharusnya seperti itu.

Ibnu membandingkan kenyataan tersebut dengan yang terjadi di negara lain, di mana puisi bisa didapati di kartu telepon bahkan di Brazil ada uang yang bertuliskan puisi seorang penyair terkenal. “Tapi kita tidak punya yang seperti itu.”

Jika meneropong lebih jauh, menurut Ibnu, hal itu mungkin disebabkan karena sastra tidak terpinggirkan di Indonesia, diam-diam orang masih membaca atau menulis sastra. Contohnya, kata dia, pelajaran sastra diajarkan di sekolah mulai dari tingkat SD sampai SMU. “Mungkin ada yg tidak begitu menyukai tapi setidaknya mereka mengenal sastra,” ujarnya.

Grathia Pitaloka
pitaloka@jurnas.com
Sumber : Jurnal Nasional, 20 April 08

Tidak ada komentar: