Selasa, 22 April 2008

Cerita Dingin tentang Tamborin

A segera memalingkan muka ketika pandang matanya menumbuk tamborin yang dipegang penyanyi dangdut itu. Hatinya miris teriris-iris dan jiwanya seperti terlempar kembali pada dua puluh tahun silam, saat ia masih suka mengulum kembang gula, saat ia baru terbata-bata mengeja huruf-huruf alfabet. Lalu ia mencoba beralih memandang atraksi pantat gadis penyanyi. Mungkin saja mampu menenangkan dirinya. Tapi tetap saja dadanya seperti dilabrak beribu peluru. Kenangannya yang mengerikan mengenai tamborin lebih kuat mencengkeram benaknya. Padahal tujuannya untuk melihat konser dangdut adalah untuk membuang kepenatan. Musik dangdut memang menjadi salah satu hobinya, sebab baginya, musik dangdut memunyai nuansa asyik dan mampu melambungkan pikirannya hingga pada kenikmatan hidup tertentu.


Tanpa menunggu selesai keramaian konser yang dihadiri ribuan orang tersebut, ia segera cabut dari kerumunan, keluar dari alun-alun kota yang menjadi ajang digelarnya hiburan musik. Ia tak mau batinnya lebih tersiksa dengan irama tamborin yang bergemerincing menggedor-gedor telinganya.


Semula, sebelum menyaksikan acara dangdut itu, ia mengira si penyanyi tak akan memegang tamborin. Biasanya, sungguh jarang terjadi, seorang penyanyi dangdut memegang tamborin untuk mengisi irama. Tapi kali ini lain. Ternyata penyanyinya ikut juga dalam mengiringi lagu. Ia sangat kesal dengan konser tersebut.


Dengan tergopoh dan penuh keringat, ia buru-buru masuk di kedai pinggir jalan, segera memesan es teh. Kaos birunya seperti baru saja dicuci. Kumisnya yang tipis juga sampai basah, seakan baru saja disengat terik matahari dalam waktu lama. Tapi kini bukan siang hari. Malam hampir mencapai sempurna. Beberapa orang yang bersantap di warung itu tidak melihat cucuran keringatnya sebagai keanehan. Mungkin mereka tahu, bahwa dirinya adalah salah satu penonton acara dangdut. Sehingga bisa jadi mereka berpikir, ia baru saja asyik berjoget gila-gilaan bersama para pengunjung lainnya.


Setelah penjual warung menyodorkan segelas es kepadanya, tanpa basa-basi ia menyeruput cepat, bahkan menenggaknya hingga habis. Beberapa pembeli di warung itu sempat melirik, tapi ia cuek saja.


Ia pun menenangkan dirinya setelah melewati trauma. Namun tak bisa dielak, saat ia duduk tertegun sembari mengatur napasnya, kesadarannya terseret jauh pada masa kecil yang suram tentang tamborin. Cerita di masa lalu yang sangat dibencinya. Silakan jika kalian mau membacanya.


Di masa kecilnya, tamborin lebih menakutkan dibanding hantu yang ditakuti anak kecil sepantaran usianya. Hal itu karena ibu kandungnya, Dalirah, telah membelenggu keindahan masa kecilnya dengan tamborin dari kayu, sejak ia berumur empat tahun. Waktu itu, ketika ia diasuh oleh ibunya, jika tak mau memegang tamborin, ia akan di-cablek pantatnya keras-keras. Bahkan pada saat tertentu, ketika ia berani menolak dengan menangis keras-keras, bapaknya yang selalu main kartu di lorong terminal akan turun tangan dan menampar pipinya beberapa kali, lalu memaksa agar ia diam dan tetap menuruti kemauan ibu. Jika ingin tidak tersiksa, pilihan satu-satunya adalah diam dan menurut.


Belenggu ke dua, yang memasung masa kecilnya dalam kelam, adalah masa kecilnya yang lumat dihajar dingin dan angin semenjak lahir di dunia. Kedua orangtuanya yang hanya hidup sebagai peminta-minta, tak pernah mengenalkannya pada rumah, pada bantal dan selimut hangat ketika malam merajam. Atap yang ia lihat sebelum tidur adalah langit luas tanpa batas, atau jika hujan turun, sekali dua tidur berpayung atap emperan toko milik orang Cina. Lebih getir lagi, membekas dalam dadanya, kebiasaan hidupnya yang tak teratur makan, tak teratur mandi-bahkan jarang, serta setelan kumal bajunya yang seminggu sekali dicuci.


Tapi dalam batinnya, yang paling menakutkan tetaplah tamborin.


Suatu kali ia pernah bertanya kepada ibunya, dalam nada yang takut dan ragu, dengan cara bicara yang masih cedal melafalkan kata-kata, "Ibu, kenapa aku setiap hari harus membiasakan memegang tamborin ini?"


"Kau nanti akan tahu apa manfaatnya setelah kau bisa menyanyi dan menggunakan tamborin ini dengan benar. Sekarang kau menurut saja sama ibu! Ndak usah banyak tanya."


"Tapi, Bu..."


"Sudah, diam!"


Ia bersungut dan terpaksa mengangguk dengan alasan dan kemauan ibunya mengenai tamborin. Tapi ia punya tekad, suatu waktu, ia akan mendapatkan jawaban atas misteri ini.


Sebenarnya, tamborin yang seperti membelenggu masa kecilnya itu bukan seperti yang dibawa oleh penyanyi dangdut. Pada genggaman tangan halus penyanyi itu, tamborin yang dibawa terbuat dari mika dan dijual luas di toko-toko alat musik. Sedangkan tamborin masa kecilnya adalah tamborin buatan ibunya sendiri. Yaitu sebuah tamborin sederhana yang terbuat dari kayu berbentuk balok, berukuran kecil, dan di pinggirnya ditancapi paku berisi tiga tumpuk uang logam yang sudah dilubangi pada bagian tengahnya. Sehingga jika dipukul-pukulkan pada pinggang dengan waktu yang teratur, maka akan bisa membentuk rangkaian irama untuk mengiringi seseorang dalam menyanyikan lagu.


Ada lagi ketakutan yang tak bisa dilupakan olehnya; adalah bagaimana ibunya setiap hari selalu memaksa agar ia bisa menyanyi salah satu lagu penyanyi cilik berjudul "Ibu Tiri". Lirik lagu itu didengungkan setiap hari oleh ibu, dan jika tak mau mendengar, ibunya akan membentak-bentak, bahkan tak jarang bertindak kasar. Dan bukan itu saja. Ibunya telah melatihnya dengan disertai ancaman, agar dalam menyanyikan lagu itu seharusnya menampilkan mimik wajah yang sedih. Ia belajar untuk bersikap sedih walaupun hatinya sedang gembira.


Lambat laun, entah dalam jangka berapa lama, ia tak begitu ingat, lagu itu merasuk secara paksa dalam batok kepalanya. Ia pun hapal dan mampu runtut menyanyikan lagu itu setiap kali ibunya menghendaki ia menyanyi. Setelah benar-benar hapal di luar kepala, ibunya kembali membelenggunya agar ia cepat bisa untuk memainkan tamborin dari kayu. Sebab menurut ibunya, jika menyanyikan lagu tanpa ada musik iringan, akan terasa tidak enak dinikmati.


***


Jawaban atas pertanyaannya mengenai tamborin akhirnya ditemukannya hari ini. Tepat pada suatu Senin, saat ia sedang terperangah heran mengamati kelereng pemberian temannya, ibunya datang setelah membelikannya es puter rasa coklat. Setelah memberikan padanya es lezat itu, lalu dinikmatinya dengan mantap, ibunya menerangkan apa yang harus dikerjakannya hari ini.


"Kita nanti akan ke perempatan. Kau harus ikut!"


"Ke sana mau ngapain, Bu?"


"Pokoknya nurut. Jangan banyak tanya! Kau mau kugampar lagi?"


Ia menggeleng segera. Lalu cepat menyusul langkah ibunya.


Di salah satu trotoar perempatan traffic light yang membara, yang disesaki asap knalpot dan bising mesin kendaraan, ia duduk di bawah pohon ketapang rindang bersama ibunya. Setelah berjalan jauh, mereka beristirahat.


"Rahmat, sekarang kamu pegang gelas plastik bekas Aqua ini!" seru ibunya, sembari menyodorkan barang itu. Padahal belum lega mereka menghela napas barusan. Mereka berdua masih ngos-ngosan.


"Ini diapakan, Bu?"


Tanpa dijawab, ibunya malah menyodorkan lagi tamborin dari kayu yang biasa dipegang olehnya. "Ini, pegang lagi. Sudah saatnya kau melaksanakan tugasmu."


"Tugas apa, Bu?"


"Turuti apa yang ibu perintahkan. Lihat Lampu merah itu!"


Ia tujukan pandangnya pada lampu merah. "Kenapa dengan lampu merah itu, Bu? Apa yang perlu saya lihat?" tanyanya heran.


"Jika pas lampu berwarna merah, kau segera menghampiri para pengendara motor atau mobil yang sedang berhenti. Lalu menyanyilah di sampingnya keras-keras lagu 'Ibu Tiri' yang telah kuajarkan kepadamu dengan sikap sedih, sembari menodongkan gelas plastik ini. Tetaplah mengiringi lagu itu dengan tamborin. Jangan ngawur cara membunyikan tamborinnya. Mintalah uang kepada mereka. Agar kita nanti siang bisa makan. Sana, cobalah untuk belajar mencari uang!"


"Tapi aku takut, Bu."


"Kau mau aku gampar sampai tak bisa berdiri! Atau kau mau aku buang ke sungai di bawah jembatan kuning itu!"


Ia menggeleng dengan keras, beserta isak tertahan di kerongkongan. "Hei, jangan nangis. Mau aku cekik?"


Ia berusaha menghentikan kesedihannya dengan susah payah. Tapi sebelum menunaikan ancaman ibunya, ia masih bertanya lagi. "Lalu Ibu mau ke mana sekarang?"


"Jangan banyak tanya lagi. Aku tunggu kau di sini sambil beristirahat. Aku sudah lelah menghidupi anak. Kamu sekarang yang harus memberi makan pada ibu. Tahu?"


Ia hanya mengangguk tanpa bisa menyangkal. Walaupun sebenarnya masih belum paham, dan merasa agak aneh dengan perkataan ibunya, ia segera bergegas ke perempatan itu.


Aspal yang terik dan hampir membakar kakinya yang mungil, membuatnya mendongkol. Dan pada saat lampu berwarna merah, ia mendekat pada salah satu motor, lalu masuk pada dunia tarik suara.


Kisah masa kecilnya kemudian, terus menerus menghuni perempatan tiap siang. Bertemu dengan banyak muka. Bertemu dengan banyak belas kasih dan cerca. Bertemu dengan banyak wajah welas asih maupun sinis. Atau di lain hari, sesekali disuruh ibunya nongkrong pada halte, lalu naik ke salah satu bus yang berhenti di sana. Ia mengamen kepada para penumpang bus kota.


***


Ketika usianya genap mencapai sepuluh tahun, di suatu akhir pekan dalam cuaca yang mendung, ia menyadari ia telah diperalat oleh ibunya untuk mencari uang. Sebab selama ini, ketika ia mendapatkan uang dalam jumlah yang lumayan, ia berkewajiban untuk menyetorkan seluruhnya kepada ibu. Dan ibu hanya leha-leha dengan setiap hari makan enak berlaukkan paha ayam goreng. Sedang nasibnya, setiap hari hanya diberi lauk tempe dan tahu bacem. Menurut ibu, tahu dan tempe lebih menyehatkan. Sedangkan daging ayam, kata ibu penuh virus dan penyakit. Sama sekali tak pernah ia disuruh mencicipi rasa daging ayam barang sekali.


Ia sadar telah ditipu oleh ibunya ketika di stasiun. Saat ia jalan-jalan, ia diberi ayam bakar oleh seorang waria yang berbincang dengannya. Namanya Venny. Parasnya tak begitu memukau, namun mampu memberikan kesejukan dengan sikapnya yang ramah dan suka berderma. Dalam lidahnya, daging ayam itu begitu enak. Seketika ia menyesal telah menurut dengan ibunya. Semenjak itu, ia telah menemukan kompas yang bagus, yang mampu menunjukkan arah angin yang baik bagi perjalanannya. Venny juga yang memberikan jalan keluar agar ia minggat saja dari belenggu ibunya.


Terjalinlah dalam kepalanya suatu rencana, cara agar ia bisa berpisah dengan ibunya yang menyebalkan dan bengis. Dan ia telah menemukan waktu yang tepat. Yaitu malam hari, ketika ibu dan bapaknya lelap di sudut kota. Saat itulah ia mengendap-endap, pergi ke stasiun, lalu meluncur ke kota lain dengan menyusup di sebuah gerbong, bersama Venny.


***


Ia tersadar dari lamunannya ketika mendengar beberapa orang lelaki berseragam polisi menanyakan kepada pemilik kedai, tentang seorang lelaki berkaos biru, berperawakan sedang, berkumis tipis, dengan celana kedodoran. Langsung ia tersentak. Ia sangat kenal wajah-wajah para lelaki itu.


"Apakah lelaki itu ke sini? Tolong jujur, Pak. Dia sangat berbahaya. Jika skizofrenianya kumat, ia suka membunuh orang! Ia baru saja lari dari ambulans dua jam lalu ketika kami akan membawanya ke pusat rehabilitasi," jelas salah satu polisi pada pemilik warung.


"Sebentar. Apakah yang kalian maksud adalah lelaki ini?" kata pemilik kedai sambil menunjuk pada hidungnya.


Ia semakin tersentak dan tanpa banyak cakap langsung melompat pergi dari kedai itu, tanpa membayar terlebih dulu.


Para lelaki itu langsung tersadar dan mengejarnya mati-matian. Mereka tak menyia-nyiakan mangsa buruannya. Sedang ia sendiri, yang merasa tak aman lagi hidupnya, berlari sekonyong-konyong. Ia menyesal ketika lolos dari belenggu para polisi, ia malah tertarik untuk melihat goyangan asoi sang penyanyi dangdut. Goyangan yang membuatnya malah terlena memasuki masa lalu yang miris tentang tamborin. Sungguh, ia telah bersumpah tak mau lagi hidupnya jatuh ke dalam belenggu.


Karena cepatnya ia berlari, salah satu polisi mengeluarkan pistol dari pinggangnya agar ia tertangkap. Pistol itu benar-benar sudah diarahkan ke kakinya yang terus berlari dalam laju yang tak berirama. Tak seperti tamborin miliknya, yang selalu ia perlakukan dalam ketukan tertib irama. Ia bertekad lari dari belenggu yang mengungkungnya di mana pun dan kapan pun. Tapi sedetik kemudian, pistol itu berdesing! ***

Tidak ada komentar: