Selasa, 22 April 2008

Ketabahan Ibu Cermin Hidupku

Sejatinya, perjalanan hidupku teramat berliku. Sejak kecil aku sudah dihadapkan pada kenyataan yang serba pahit. Melihat air mata ibu menetes hampir menjadi santapanku sehari-hari. Meski begitu, perilaku bapak yang gila judi tidak jua berubah. Aku begitu bangga terhadap ketegaran ibu, bahkan aku ingin ”perkasa” seperti ibu.


Aku terlahir sebagai anak gadis dari empat bersaudara. Kakak, aku, dan si kembar adikku. Dalam kenyataan, nasib kami bersaudara tidaklah seberuntung teman-teman sekampung. Kami lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang amburadul. Ekonomi pas-pasan, bahkan semakin hari semakin mencekik leher. Pemicunya: bapakku seorang penjudi.

Sejak kecil, di depan mataku, selalu kulihat bapak memarahi dan membentak-bentak ibu hanya untuk meminta uang belanja. Saat itu hanya ada tangis yang kulihat di ayu wajah ibu. Menyaksikan kekerasan seperti itu, hatiku hanya bisa berkata, ”Jangan menangis ibu. Aku sayang ibu.”

Jujur, aku salut dengan ketabahannya. Aku bangga memiliki seorang ibu yang tegar dan tabah dalam menghadapi sikap dan perilaku bapak yang kasar. Atau, mungkin benar karena cinta itu masih ada, sehingga ibu bisa (memaksakan diri) bertahan sampai saat itu.

Hingga aku besar kelakuan bapak tidak kunjung berubah. Malahan cenderung semakin menjadi-jadi. Gila judi serta merta membuat utang bapak kian menumpuk. Pendeknya, kemana pun bapak pergi berjudi, ujung-ujungnya selalu meninggalkan utang.

Lantaran prihatin melihat keadaan keluarga yang morat-marit, aku memutuskan pergi ke Surabaya dan masuk ke sebuah PT. Tentu saja aku membawa segenggam harapan: bisa segera diberangkatkan ke luar negeri, lalu bekerja dan mengirim uang buat keluarga.

Swear, aku ingin membuat ibu berhenti menangis. Aku juga ingin melepaskan bapak dari jeratan utang yang kian menumpuk. Aku bahkan ingin membiayai sekolah adik-adikku. Betapa besar harapan itu kugantang, begitu juga upayaku dalam mencapainya, tetapi Tuhan jualah yang menentukan segalanya.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, hingga tujuh bulan, aku belum juga diberangkatkan ke Singapura, negara tujuan pilihanku. Apa pasal? Usut punya usut, biodataku ternyata tak diproses. Alasannya, umurku masih terlalu muda. Sudah pasti aku geram. Jika umurku yang jadi alasan, kenapa mereka tidak menjelaskan sedari awal kalau aku tidak diterima atau tidak memenuhi syarat? Apakah mereka sengaja ”memelihara” aku di PT untuk membantu-bantu staf?

Saat itu aku ingin marah, kecewa, dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk dalam dada. Apalagi ketika mereka bilang, aku harus pulang karena tidak bisa diproses. Kalau sekadar suruh pulang sih tak apa-apa. Tetapi, eh, mereka meminta tebusan, ganti rugi selama aku tinggal di PT. Aneh bukan?

Sebenarnya itu semua bukan kesalahanku, tetapi mengapa malah minta tebusan sama aku? Dari mana pula aku mendapatkan uang sebanyak itu? Minta orangtua, jelas tidak mungkin. Keluargaku tergolong miskin, ketambahan pula bapak punya utang di mana mana. Namun pihak PT tetap ngotot, tidak mau tahu apapun alasan yang kusampaikan.

Mungkin, begitulah yang namanya bisnis. Tidak pakai perasaan. Tidak mau mendengarkan jeritan perempuan tak berdaya seperti aku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah sembari berdoa, mudah-mudahan didengar oleh Dia Yang Maha Kuasa.

Bersyukur. Doa hamba yang teraniaya ini agaknya didengar. Tak lama, aku diizinkan pulang dari penampungan dengan tebusan Rp 250.000. Meski uang segitu – bagi kami – sangat besar, tetapi aku tetap mensyukurinya. Aku bisa pulang ke Banyuwangi, kampung halamanku.

Rinduku kepada ibu begitu menggebu. Ya, dialah satu-satunya perempuan di dunia yang mampu memberiku kekuatan tanpa batas. Jika tanpa bercermin pada penderitaan ibu selama ini, mustahil aku menerima begitu saja perlakuan pihak PT.

Sejatinya, saat itu aku malu balik ke kampung dalam keadaan tangan hampa. Kuanggap, aku gagal memperjuangkan kehidupan keluarga. Tetapi apa boleh buat, keadaan telah memaksaku begitu.

Sesampai di rumah, hatiku hancur saat mendapati kenyataan: bapak pergi tanpa pamit pada keluarga. Sama sekali keluarga tak ada yang tahu di mana gerangan bapak. Yang kami tahu, bapak lari untuk menghindari para penagih utang.

Lagi-lagi aku melihat tangis ibuku. Tangis yang tak pernah kulihat selama aku tinggal di PT. Air mata itu terasa lebih mencabik-cabik perasaan. Aku begitu sayang pada ibu. Karenanya, aku nekat masuk lagi ke PT. Kali ini lewat sebuah PJTKI di Jember yang berencana memprosesku untuk bekerja ke Brunei Darussalam.

Tetapi, Tuhan tampaknya masih ingin menguji sampai sejauh mana kekuatanku dalam menghadapi ujian. Satu minggu sebelum keberangkatan ke negara tujuan, majikan membatalkan kontrak kerja yang sudah telanjur kami tanda tangani. Alasannya, aku terkena bronchitis alias batuk berdahak. Majikan khawatir, anaknya akan tertular oleh penyakit yang sebenarnya mudah disembuhkan itu.

Atas anjuran pihak PT, aku di-medical check up lagi. Hasilnya fit. Empat bulan setelah terlepas dari batuk, aku pun diberangkatkan. Di negeri jiran ini aku bekerja selama dua tahun. Ya, tepat pada Juni 2007, aku pulang ke tanah air. Harapanku saat itu, kehidupan keluargaku sudah berubah, utamanya menyangkut bapak.

Aku berpikir, bapakku pasti sudah kembali pulang setelah lunas membayari utang-utangnya. Tetapi perkiraanku ternyata salah. Bapak tetap belum pulang. Rumahku pun masih sama seperti dulu. Berdinding bambu dengan ”hiasan” lubang-lubang di sana- sini, atap bocor, bagian dapur miring bahkan hampir roboh.

Kepada ibu kuserahkan uangku dari hasil kerja di Brunei untuk merenovasi rumah. Tetapi ibuku keberatan. Katanya, uang itu lebih baik ditabung demi masa depanku nanti. Aku sempat protes dengan larangan ibu, tetapi sifat ibu memang begitu dan aku tidak bisa memaksa. Akhirnya, uang itu pun kubelikan tanah untuk ukuran satu rumah. Di atas tanah itulah aku punya cita-cita membangun rumah mungil buat keluargaku.

Tidak tahan menjadi bahan gunjingan tetangga kanan-kiri karena ulah bapak yang kebangetan, aku pun kembali masuk penampungan. Kali ini aku memproses keberangkatan ke negara Hong Kong.

Enam bulan di PT ARJ Malang, aku pun diberangkatkan. Mulanya aku sendiri tak yakin bisa berangkat ke negara ini, mengingat tinggi badanku cuma 145 cm. Tetapi kasih Tuhan telah ditunjukkan kepadaku. Meski target PT minimal 155 cm, aku tetap diberangkatkan dengan alasan telah memiliki pengalaman bekerja di luar negeri.

Setiba di Hong Kong, aku dipekerjakan di daerah Hung Hom, Kowloon. Namun, lagi-lagi Tuhan masih ingin mengujiku. Majikanku cerewetnya minta ampun. Apa pun yang aku kerjakan selalu dinilai tak benar. Makian, hinaan tak pernah berhenti terlontar dari mulut majikanku. Hampir-hampir aku tak sanggup menghadapi perlakuan majikan.

Tetapi jika mengingat ibu, mengingat tujuanku, seberat apa pun problem yang kuhadapi di sini menjadi tiada arti. Ya, aku masih ingat bagaimana ketika ibu dimarahi, dimaki, dipaksa, dikasari bapak. Sungguh, bayangan masa lalu itu telah membuatku ingin seperti ibuku. Menjadi sosok perempuan yang tabah, tegar, dan tidak ingin menangis karena cobaan hidup.

(Dituturkan Ucrit via surat dan disusun oleh Kristina Dian S dari Apakabar)

Tidak ada komentar: