Jumat, 02 Mei 2008

ruang kosong puisi sutardji

Melalui karya-karyanya, ia semakin intens ”menyuarakan” lingkungan sekitar, dibandingkan saat-saat awal ia berkarya di dunia sastra.

Veby Mega Indah
veby@jurnas.com

Dikelilingi para sahabat sesama seniman Taman Ismail Marzuki (TIM) dari era 70-an, Sutardji Calzoum Bachri menceritakan pemahaman kritis pribadinya akan negeri ini. Ia menjelaskan bagaimana sosoknya yang kini semakin relijius, justru mendorongnya lebih berperan kritis mengupas masalah sosial negeri ini.

Latar belakang kebudayaan Melayu, membuat Sutradji selalu mengembalikan segala sesuatu yang ia cermati dan rasakan pada perspektif metafisis. Namun, di balik pengertian itu ia semakin tak bisa menahan diri untuk tidak ”berteriak” melihat situasi sekelilingnya. Ia berpuisi bagaikan menyampaikan berbagai pertanda sosial, yang seharusnya dicermati para politikus negeri ini.

Berikut petikan wawancaranya.

Apa pernah keberatan dijuluki presiden penyair?

Presiden penyair…(Sutardji terkekeh). Julukan itu mulanya hanya guyon-guyonan kita saja di tahun 70-an dulu di sini (Taman Ismail Marzuki). Orang Indonesia ini kan senang benar menjuluki orang. Chairil Anwar ada julukannya, Amir Hamzah juga. Mereka yang hidup di zaman feodalis, biarlah julukan raja saja. HB Jassin julukannya Paus Sastra Indonesia. Kalau saya ini yang hidup di masa sekarang, biarlah julukannya presiden saja.

Kejadiannya, saya lagi mabuk saat itu. Saya bangun lalu teriak: Aku ini presiden puisi Indonesia! Ungkapan itu tahunya dipakai orang, terngiang-ngiang terus sampai sekarang. Entah maksudnya buat guyon entah serius. Terserah saja. Tapi yang namanya penyair-penyair tahun 70-an dulu kalau tampil pasti ada ucapan-ucapan gila seperti itu. Salah satunya, ya, presiden penyair itulah. Kalau ditanya saya ini presiden penyair, tapi republiknya mana, rakyatnya mana? Republik dan rakyatnya hati nurani sajalah.


Bagaimana situasi yang anda alami sebagai penyair muda di tahun 70-an?

Di tahun 70 itu banyak sajak-sajak, puisi, novel yang orang bilang sajak lokalisasi, sastra kembali ke daerah. Nah, sebenarnya itu pertanda, sinyal bagi orang-orang di luar sastra mengambil hikmah dari itu. Mengambil hikmah untuk membenahi negara dari sistem politiknya. Tapi tak ada yang melakukannya! Dibiarkan saja pertanda itu berlalu. Coba kalau yang namanya otonomi daerah itu dimulai dari situ. Kenapa baru sekarang setelah reformasi baru ada otonomi daerah. Jadi apa yang kelihatan sekarang, otonomi daerah ada bukan karena adanya tekanan kultural. Tapi selalu saja nampaknya oleh tekanan politik barulah ada politik bergerak.

Jadi selalu terlihat satu dimensi. Seharusnya apa-apa yang jadi tindakan politik itu harus ada landasan kulturalnya. Coba kayak waktu perjuangan Indonesia mau berdiri dulu. Ada landasan kulturalnya, ada misi kultural untuk menjadikan kita satu. Biarlah ada Jawa ada Sunda ada apalah tapi biarlah kita jadikan satu.

Coba perhatikan, kalau sajak yang di tahun 70-an itu pertanda kembalinya kedaerahan. Kalau Chairil Anwar itu tidak. Dia itu sajaknya universal, humanisme yang universal. Itu pertanda juga, hasil persatuan Indonesia. Suatu yang universal persatuan itu. Maka jadilah “aku ini binatang jalang.” Dan macam-macam lah. Dia itu (Chairil Anwar) tak ada kedaerahannya sama sekali. Dia (orang) Padang pun tak ada Padangnya sama sekali sajaknya.

Maksud ”Indonesia sebenarnya berdiri atas landasan kultural”?

Nah itu tadi, waktu Sumpah Pemuda itu diucapkan apa landasannya? Tak ada! Sumpah Pemuda itu mimpi saja, mimpi para pemuda saat itu yang ingin melihat negara ini bersatu. Satu bangsa, bangsa Indonesia. Bangsa mana yang namanya Indonesia saat itu? Tak ada. Yang ada baru juga Hindia Belanda! Satu bahasa, bahasa Indonesia. Mana ada bahasa persatuan Indonesia waktu itu. Waktu itu masih Melayu bahkan Belanda yang digunakan orang. Tapi atas dasar mimpi itu bangsa ini bisa berdiri. Sama saja seperti Tuhan waktu mau menciptakan dunia ini. Dia ada merindu yang kuat, ingin dikenal. Dalam kerinduan-Nya, Ia ingin menciptakan dunia ini dengan kata-kata. Ia berfirman: Kun Faya Kun! Barulah jadi dunia ini, bagian dari mimpinya Tuhan.

Kita ini manusia, juga bagian dari mimpinya Tuhan. Karena kita ini bagian mimpinya Tuhan maka tak kayak binatang, bolehlah kita bermimpi lagi. Kita pun menciptakan mimpi dengan kata-kata. Tuhan membuat mimpi lewat firman, begitu juga penyair. Dia (Tuhan) bilang ke para penyair itu: Hati-hati! Kau sudah jadikan apa yang tak kau kerjakan. Itulah hakekatnya puisi. Kau mencari hakekat puisi itu janganlah ke kubu barat. Semuanyalah ada di sini! Penyair itu menciptakan puisi tapi bukan buat merealisasikannya. Sudah mencipta, sudah. Sama seperti Tuhan. Ia mencipta dunia ini tapi realisasinya kaulah yang buat!

Kau bikin jadi berkelahi, kau bunuh orang, kau jadi kaya, silakan kau buat di dunia ini. Seperti itulah juga penyair. Ia menciptakan kata-katanya tapi yang merealisasikan kata-kata itu di dunia baiklah orang-orang lain. Seperti para pemuda yang membuat sajak Sumpah Pemuda itu. Baiklah mimpi itu ada Soekarno, Hatta atau Yamin yang merealisasikannya. Jadilah bangsa ini.

Mengapa landasan kultural yang demikian lebih sulit direalisasikan daripada di awal perjuangan dulu?

Dulu itu para pemuda yang membuat sajak Sumpah Pemuda itu sebagian besar juga aktivis. Jadi kata-kata apa yang mereka buat cepat pula ditanggapi ada. Sedangkan di tahun 70-an, yang bicara tentang otonomi daerah itu para penyair semua. Kepentingan kami pada lingkup estetika, selesai sudah. Tapi sayangnya tak ada ventilasi politiknya. Tak ada yang merealisasikannya.

Saat orang ribut soal otonomi daerah, kami para seniman ini bilang: itu sudah kami ucapkan 30 tahun yang lalu! Tapi dulu jawabannya tak mau, tak mau. Karena kita ini sudah jadi bangsa yang pikirannya pada politik dulu, ekonomi dulu. Jangan harapkan yang merealisasikan kata-kata ini jadi bagiannya penyair juga. Itulah tugas mereka.

Bukankah pemerintah dari dulu sudah sering mengapresiasi seni puisi?

Belum, belum lengkap apresiasinya itu. Kalau zaman Orde Baru dulu pemerintah juga sering adakan lomba baca puisi di Monas. Ada menteri yang baca itu, ada pejabat yang baca itu. Bahkan ada juga baca Tanah Air Mata. Terima kasih, Pak, saya bilang. Terima kasih sudah diniatkan. Tapi puisi itu jika tak dimasukkan dalam hati tak akan mengakar. Janganlah kita membaca satu fenomena yang nampak di depan kita begitu saja. Ada kaitannya dengan nilai-nilai lain.

Seperti Kennedy bilang: jika politik bengkok biarlah puisi yang meluruskannya. Lihatlah ketika Sumpah Pemuda itu realisasinya mulai bengkok, maka puisi juga yang berusaha meluruskannya. Sumpah Pemuda tentang persatuan itu tak salah tapi realisasinya yang bengkok. Persatuan saat itu terlalu ketat, maka timbul kedaerahan dalam sastra 70-an. Politik saat itu telalu homogen, coba diluruskan puisi yang heterogen, dengan munculnya heterogen itu. Politikus yang bengkok yang bisa diluruskan adalah mereka yang berhatinurani. Tapi kadang ada juga politikusnya bengkok, puisinya juga ikut-ikutan bengkok. Namanya juga manusia… (Sutardji tertawa).

Bagaimana dengan puisi yang banyak digunakan untuk kepentingan lain?

Memang pusi itu kayak pisau, kayak pistol. Jangan salahkan pisaunya. Jaga pisau itu jika menghasilkan yang baik. Di tangan tukang daging pisau ini membawa berkah buat dia dan keluarganya. Tapi di tangan penjahat lain lagi. Ada sajak Kerawang Bekasi itu: Sekali berarti sudah itu mati. Itu dipakai buat pejuang di perang Kerawang-Bekasi waktu itu. Tapi coba misalnya ada perampok yang pakai sajak itu. Dia masuk ke bank, sekali berarti setelah itu mati. Biarlah mati ditembak polisi. Lain pula arti sajak itu. Jadi puisi itu netral. Dia selalu memberikan ruang bagi keluhuran.

Jadi jangan minta penyair untuk merealisasikannya. Itulah hakekat puisi, ada ruang kosong di antara yang diciptakan untuk direalisasikan. Puisi itu juga berbahaya kecuali diapresiasi dengan iman. Apa pengertian iman secara sekuler? Iman itu ideologi, pengertian yang benar.

Setuju jika dikatakan seorang Sutardji kini lebih relijius sampai-sampai tak minum bir lagi?

Ya, itu terserah interprestasi masing-masing orang lah. Kalau Belanda bagi kita kolonial tapi bagi Swedia, Belgia, Belanda itu bawahan. Soal kenapa saya tak minum bir lagi sebelum naik panggung, memang ada juga pengaruh soal relijius.

Tapi pada intinya sekarang saya tak merasa perlu lagi minum bir sebelum naik panggung maka saya tak minum lagi. Dari dulu saya sudah relijius, sekarang juga. Dulu saya perlu minum pun untuk totalitas saja. Saat performance, penampilan itu harus berada di batas akal. Dulu saya perlu minum bir, sekarang tidak lagi, karena memang tak perlu. Tak bisa ditanya kenapa, karena itu pertanyaan untuk akal. Tapi masalah performance sudah dibatas akal sehat.

Inner saja, semuanya memang harus ada. Jangan lakukan yang artificial karena pasti akan ketahuan. Saya minum bir saat itu karena memang harus dilakukan. Bukan akting, bukan pura-pura. Jadi seniman itu jangan mempermalukan diri dengan berpura-pura. Jangan melakukan sesuatu untuk tujuan yang lain. Kalau sesuatu memang harus ada lakukan saja jangan dibuat-buat. Memalukan diri sendiri.

Sumber : harian Jurnal Nasional, Juli 2007

Tidak ada komentar: