Jumat, 02 Mei 2008

setengah abad sang penyair

Beragam penilaian terus mengiringinya menembus waktu. Dunia sekolah dan perguruan tinggi, seperti enggan mengakhiri apresiasi atas karyanya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika waktu berdentang pada setengah abad lebih kematiannya, orang tetap mengenang Chairil Anwar. Bagai sebuah dunia tanpa koma, berpuluh tahun setelah ruh terpisah dari raga, karya ”binatang jalang” itu terus diapresiasi, entah dalam bentuk esai, forum diskusi, deklamasi, skripsi, film, dll.

Chairil penyair terkuat di Indonesia yang hingga saat ini belum ada bandingannya, kata penyair sekaligus pendiri teater anak-anak Teater Tanah Airku, Jose Rizal Manua. Sehingga, walaupun bermunculan banyak penyair hebat, namun menurut Jose, Chairil telah memiliki lapak tersendiri. “Seperti Shakespeare yang telah memilki tempat tersendiri meskipun muncul penyair besar lainnya,” kata Jose saat dihubungi Jurnal Nasional.

Ia mengatakan, Chairil adalah salah seorang penyair Indonesia terkemuka yang menemukan bahasa. “Semangat dari puisinya memiliki personality sangat kuat, sehingga menggugah semangat untuk berontak,” ujar Jose.

Bagi Jose, individulitas dan pemberontakan dalam karya Chairil, menggugah semangat kepahlawanan untuk melawan penjajah. “Yang membuat saya berdecak, bagaimana karya Chairil bisa lolos dari sensor Jepang, padahal dia mengkritisi penjajah,” papar Jose.

Sekali berarti sudah itu mati

Pria kelahiran Padang 14 September 1954 ini mengacungkan dua jempol terhadap kepiawaian Chairil dalam memilih kata. “Seperti sekali berarti, setelah itu mati atau aku ingin hidup seribu tahu lagi, itu nggak ada yang menemukan kecuali Chairil,” tutur peraih juara pertama Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman ini.

Kata-kata Jose diamini Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia Ibnu
Wahyudi. Ia melihat Chairil dengan kesadaran yang amat jelas menempatkan kata-kata dalam berpuisi, bukan dalam kata-kata untuk kepentingan sehari-hari. “Jika orang biasa menuliskan hari ini, Chairil memilih menuliskan ini hari,” papar Ibnu.

Kesadaran mengolah kata pada Chairil itulah yang dianggap Ibnu luar biasa. “Dari karya-karya Chairil, tercermin wawasannya yang sangat luas, pada zaman itu jarang sekali orang yang bacaannya sebanyak Chairil,” kata penulis kumpulan puisi Masih Bersama Musim ini.

Pertanyaan yang muncul, apa yang membuat karya Chairil dapat memborong seluruh perhatian masyarakat sastra? Menurut Jose, apresiasi kepada semua penyair baik, hanya saja jumlah peminat puisilah yang kelihatannya tidak bergeser. “Tidak makin banyak, tetap mempunyai komunitas yang terbatas,” ujar Jose.

Jose melihat, kenyataan itu pada hampir seluruh negara berkembang di dunia. Berbeda dengan negara maju, di mana kesadaran akan sastra sudah tinggi, lanjutnya. “Mereka membaca karya sastra, membaca puisi di dalam bis, di kamar, di rumah, kalau kita hanya orang tertentu yang melakukan itu,” tutur lulusan Institut Kesenian Jakarta tahun 1986 ini.

Tak bisa dipungkiri, lanjut dia, sastra adalah lingkungan yang terabaikan, dunia yang seolah-olah sunyi dan hening, sehingga orang orang di dalamnya tak bisa berinteraksi dengan nyaman. Berbeda dengan yang ditawarkan oleh dunia musik, hingar bingar. “Puisi adalah dunia yang mengajak kita sendiri, berkontemplasi, nah itu bukan dunia yang banyak disukai anak muda.”

Jose juga mengagumi apa yang ditulis Chairil sebagai sesuatu yang amat manusiawi, rasional dan tidak terlalu genit. Menelisik lebih lanjut, karya Chairil dianggap begitu membumi dan mudah dipahami. Menurut Jose, itu menjadi salah satu alasan, mengapa kemudian karyanya banyak diapresiasi. “Banyak penyair hebat muncul, namun kemudian karyanya sulit dipahami, sehingga sulit ditangkap masyarakat awam yang tidak punya apresiasi terhadap puisi,” kata Jose.

Sedikit dosen melek sastra

Dari sudut lain Ibnu melihat “kecanduan” kampus terhadap karya Chairil tidak terlepas dari kondisi yang diciptakan oleh pengajar sastra di Indonesia itu sendiri. “Kita harus sedih, belum semua pengajar sastra melek sastra,” kata Ibnu.

Pria yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan ini berpandangan, masih sedikit dosen sastra yang mau mengembangkan dirinya. “Entah itu dengan memperkaya bacaannya, selain yang diperoleh di bangku kuliah,” ujar Ibnu.

Dampak dari itu semua, kata Ibnu, yang dikenal hanya itu-itu saja, padahal masih banyak penyair Indonesia yang belum dibicarakan. “Saya kira ada masalah dengan pengetahuan yang kurang luas dari dosen sastra, sehingga mahasiswanya tidak diarahkan untuk menulis yang lain,” tuturnya.

Tetapi Ibnu tak melihat “kecanduan” berlebih terhadap karya Chairil sebagai sebuah kenyataan dunia kampus saat ini. Bahkan, di UI Jakarta, katanya, Chairil malah sudah jarang dipergunjingkan, karena sudah terlalu banyak. “Kecendrungan mahasiswa malah mengambil pengarang yang sama sekali belum dikenal tapi dia mengarang ditahun 50-60an,” kata Ibnu.

Ia berpendapat, Chairil tetap dihormati sebagai seorang penyair yang dalam konteks tahun 1940-an boleh dibilang hampir tidak ada saingan. “Tetapi pada zaman sekarang jauh lebih banyak penyair yang secara tematik maupun linguistik pencapaiannya melebihi Chairil,” ujar Ibnu.

Pemimpin Redaksi Majalah Horison Jamal D Rahman membedah dengan pisau yang berbeda. Menurutnya, posisi Chairil sebagai penyair paling banyak dibaca oleh para siswa, tak lepas dari peran HB Jassin yang begitu gencar memperkenalkan karya-karya Chairil. “Siswa membaca Chairil sejak di bangku SMP hingga perguruan tinggi,” kata Jamal.

Namun, Jamal memiliki dugaan kuat tak semua karya Chairil dilahap oleh para siswa, hanya sebagian seperti Karawang-Bekasi dan Aku. Sementara yang lain tak begitu dikenal, ujarnya.

Dari perkenalan dengan Chairil melalui karyanya, kata Jamal, para siswa diharapkan dapat menyerap semangat sang penyair, entah itu melalui pelajaran maupun melalui lomba-lomba. “Selanjutnya tinggal mengambil apa yang bisa diambil setelah mengenal Chairil,” tutur Jamal.

Karya Chairil, kata Jamal, sangat relevan dengan keadaan saat ini baik untuk para penyair maupun untuk masyarakat awam. Bagi penyair, Chairil, lanjut dia, adalah sosok yang paling sukses mendobrak tata nilai tradisional dengan memasukkan nilai-nilai Barat. “Chairil menanamkan sebuah rasionalisme, ia memiliki apatisme fantasi yang mengagumkan dalam berkarya.”

Sementara bagi masyarakat awam, Jamal menggambarkan optimisme Chairil menjalani kehidupan sosial di tahun 1940-an yang dianggap Jamal lebih keras dari kondisi saat ini. “Belum lagi kondisi permasalahan pribadi Chairil, tapi dia tetap memandang hidup dengan optimis,” ujar Jamal.

Keoptimisan seorang Chairil, menurut Jamal tercermin dari puisi-puisinya seperti Aku dan Bung Karno. Keoptimisan Chairil sedikit melayu ketika ia berbicara tentang kematian di penghujung hayatnya. “Yang penting bagaimana kita bisa mengenal relevansi karya Chairil dengan realita sosial,” tandas Jamal.

Grathia Pitaloka

Sumber : Jurnal Nasional, 30 Maret 08

Tidak ada komentar: